Ingin rasanya ia mengumbar mimpinya di depan sahabatnya. Menguras semua dari dalam rasa yang membara. Menepis segala anggapan sebagian orang tentang tak bakal anak semisal Rara untuk melanjutkan studi.Â
Jangankan kuliah, sekolah saja harus banting tulang sendiri. Rasa tahu diri itu selalu menggerogoti sukma.Â
Ia sadar dirinya bukan apa-apa bila dibanding dengan sahabatnya Margy atau Selly yang memiliki keluarga yang hampir setiap keinginannya terpenuhi
"Ra, kuncinya?" Seorang perempuan paruh baya  membuyarkan lamunannya.
Gemerincing seikat kunci menggantung dalam jemarinya. Diulurkan tangannya ke arah perempuan yang disayanginya.Â
Lalu langkahnya mengayun menuju ke arah bangku kosong. Dipandanginya sebelum meletakkan bokongnya di atas deretan kayu yang tertata rapi, walau sedikit usang. Seketika ia teringat masa sekolah.Â
Dulu. Di bangku kosong inilah Rara acap kali menghabiskan waktumya bersama teman-temannya.Â
Entah mengapa selalu saja ada kasak-kusuk agar bangku itu  tak akan  pernah lengang. Aksi bikin kolak kek, mau aksi bernyanyi ala vokal grup dengan gaya masing-masing kek, beradu argumen saat belajar kelompok atau sekadar kumpul-kumpul buat ngerumpi.  Waaauww...!
Sungguh masa-masa indah yang mustahil mudah terlupakan. Kocak, lucu, sedih membaur menjadi satu koleksi yang menggelikan. Terkadang mengiris perih.Â
Terbayang gelagat  Selly si mata sipit berwajah oriental. Tak ada garis keturunan darah China secuil pun. Rada pendiam namun condong agak sedikit angkuh.
Masih terngiang kata-kata Margy, "Selly beruntung! Ada khabar suaminya dosen di salah satu perguruan ternama di kota tempat ia kuliah." Kalimat itu masih melekat di telinga Rara.Â