Bapak tak menyampaikan sepenting apa berita yang in gin di sampaikan padaku di suratnya. Ia hanya meminta aku segera pulang.
Tiba di rumah segera aku mencium tangan Bapak dan Ibu. Aku selalu kangen rumah. Kangen masakan Ibu.
Aku segera membersihkan badan, bersantap makanan yang di masak Ibu. Ngobrol bersama Ibu, membantu Ibu memotongi daun-daun mawarnya yang kering.
Sudah lama aku tak sesantai ini. Tumpukan tugas yang bertubi-tubi menyita waktu yang bergulir.
Tak lama Bapak memanggilku di ruang makan. Kulihat mata Bapak menyiratkan duka yang dalam.
“Rene cah Ayu, Bapak mau ngomong sesuatu yang penting buat masa depanmu“, Bapak terlihat kuyu, matanya menyimpan sendu.
“Nggih pak, Laras siap mendengarkan apa pun“ Aku bertanya-tanya, menyimpan rasa penasaran.
Bapak menarik nafasnya berat, seperti melepas beban berton – ton. Diteguknya teh manis dalam gelas besar yang biasa Bapak minum.
“Nduk, mas Seto membatalkan rencana pernikahan kalian. Mas Seto memilih menikah dengan pacarnya yang dulu“, Bapak berkata sembari menahan amarah.
Bless, seperti ada beban yang terbang dari pundakku. Hatiku seolah lepas oleh batu-batu berat yang menghimpit.
Aku menahan diri untuk tidak berteriak girang di hadapan Bapak. Aku tak tega melukai Bapak.