Dengan berbagai alasan yang kubuat-buat, Aku pamit kepada Bu Roro. Tersirat kesedihan di mata wanita anggun tersebut.
Aku sengaja memilih pindah pada hari kerja, pukul 10,00 pagi. Mas Aldi tentunya sudah berangkat kerja. Aku tak ingin dia tahu, lalu mengejarku di tempat kost yang baru. Rencanaku bisa sia-sia.
Mbak Menur menunggu di ujung jalan, aku pura-pura pindah sendiri tak dibantu Mbak Menur. Alasan logisnya, jika mbak Menur ketahuan membantuku, tak ayal ia yang akan diinterogasi mas Aldi.
Alhamdulillah, kepindahan kostku berjalan lancar. Aku memeluk mbak Menur erat. Berterima kasih atas semua bantuannya.
Matanya sembab, jujur ia merasa sangat kehilangan. Tak ada lagi teman dekatnya di kostan. Tapi ia paham keputusanku memang yang terbaik.
Bapak dan ibu kukabari tentang kepindahan kostku, aku beralasan biaya kostnya naik. Sementara di tingkat terakhir aku butuh biaya kuliah yang tidak sedikit.
Kembali ditimbuni tugas-tugasnya semakin menumpuk. Skripsi yang menghabiskan pikiran, tenaga dan waktu. Membuatku sedikit melupakan bayangan mas Tito, bayangan tersebut semakin kabur. Tapi tidak hatiku, cinta itu masih penuh. Masih memenuhi lipatannya.
Bastian banyak membantuku saat skripsi dan praktikum. Perhatiannya intens khusus di berikan untukku. Namun, hatiku tak bergeming sedikitpun.
Alhamdulillah, skripsiku berjalan lancar. Tinggal menunggu pengumuman. Hari-hariku cukup senggang. Aku banyak menghabiskan waktu bersama Bastian. Ke toko buku, ke pameran kesehatan ataupun seminar-seminar kesehatan.
Aku hanya menganggap Bastian teman tak lebih. Dan Bastian pun seperti memahami kekerasan hatiku. Ia terus bersabar, tak berkurang sedikitpun perhatiannya.
Dua minggu sebelum pengumuman, sebuah surat dari Bapak memintaku lekas pulang kampung. Ada hal penting yang ingin Bapak sampaikan.