Bunda memeluk Andrea sambil terus menangis. Andrea berusaha menenangkan bunda meskipun jauh di lubuk hatinya kesedihan menerpanya. Betapa tidak, adik yang sangat dicintainya itu terbaring lemah tak berdaya.
"Apa diagnosa dokter, Bun?" tanya Andrea hari-hati. Dia tidak mau membuat bundanya bertambah sedih.
"Dokter masih harus melakukan observasi lebih teliti lagi untuk menentukan sakitnya Fiska. Diagnosa awal penyakit lama adikmu kambuh lagi," jelas ayah sambil menahan suaranya. Andrea tahu ayah sangat sedih dengan sakitnya Fiska.
Seluruh rumah dilanda kesedihan dan kecemasan melihat kondisi Fiska yang kini terbaring lemah di ruang ICU. Tubuh Fiska yang mungil dipenuhi dengan selang infus dan kabel. Hidungnya diberi selang oksigen.
Bunda menangis terus menerus. Dia pasti sangat khawatir dengan kondisi Fiska. Sejak tadi, bunda belum makan apa-apa. Andrea khawatir pada kesehatan bunda.
"Ayah, lebih baik bunda pulang dulu. Andrea tak tega melihat tubuh bunda yang lemas. Biarkan Andrea yang menunggu Fiska," ujar Andrea pada ayah.
Ayah mengangguk dan mengajak bunda untuk pulang dan istirahat dulu. Awalnya bunda menolak namun ayah gigih membujuknya sehingga mau diajak pulang duluan.
Andrea menunggu di sofa yang terletak di depan ruang ICU. Sofa itu memang dikhususkan bagi keluarga pasien. Keluarga pasien tidak boleh masuk ke ruang ICU sehingga hanya melihat dari jendela.
Dret...dret...suara getar handphone disertai suara ringtone terdengar dari saku Andrea. Andrea segera mengambil HP-nya dan rupanya Roni yang menelepon.
"Assalamualaikum, Ron," jawab Andrea pelan. Dia tak.mau mengganggu keluarga pasien lain yang juga sedang istirahat di sofa.
"Bro, kemana saja. Kok belum datang. Jangan lupa kita ada perform di kafe Kenanga," kata Roni.