Mohon tunggu...
NINA KARINA ZAI
NINA KARINA ZAI Mohon Tunggu... Mahasiswa - MAHASISWA MAGISTER AKUNTANSI

NIM : 55523110029 | Program Studi : Magister Akuntansi | Fakultas : Ekonomi dan Bisnis | Universitas Mercu Buana | Pajak Internasional | Dosen : Prof. Dr, Apollo, M.Si.Ak

Selanjutnya

Tutup

Ruang Kelas

Memahami Peluang dan Tantangan Perpajakan Controlled Foreign Corporation (CFC) di Indonesia Pendekatan Teori Pierre Bourdieu

25 November 2024   13:59 Diperbarui: 25 November 2024   14:11 374
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber : https://www.college-de-france.fr/fr/actualites/hommage-pierre-bourdieu

Pierre Félix Bourdieu

Pierre Félix Bourdieu lahir pada 1 Agustus 1930 di Denguin, sebuah desa kecil di wilayah Béarn, Prancis barat daya. Ia adalah anak tunggal dari keluarga sederhana. Ayahnya bekerja sebagai petani kecil sebelum beralih menjadi pejabat pos, sementara ibunya berasal dari keluarga petani yang memiliki pendidikan lebih tinggi dibandingkan sang ayah. Latar belakang keluarga yang sederhana ini memengaruhi perspektif Bourdieu tentang ketimpangan sosial dan akses ke modal budaya.

Bourdieu menunjukkan kecerdasan luar biasa sejak usia dini, yang membawanya diterima di Lycée Louis-Barthou, Pau, dan kemudian Lycée Louis-le-Grand, Paris—sekolah-sekolah elite yang melatih banyak intelektual Prancis. Di sana, ia mengembangkan minat pada filsafat dan akhirnya diterima di École Normale Supérieure (ENS), salah satu institusi pendidikan paling prestisius di Prancis.

Karier awal Pierre Félix Bourdieu dimulai setelah ia lulus dari École Normale Supérieure (ENS) pada tahun 1954 dengan fokus pada filsafat. Meskipun latar belakangnya berakar pada filsafat, ia segera beralih ke sosiologi setelah pengalaman profesionalnya di Aljazair, yang memainkan peran penting dalam membentuk pendekatan intelektual dan karya-karya awalnya.

1. Pengalaman di Aljazair (1955–1960)

Pada akhir 1950-an, Bourdieu mengajar di Aljazair selama perang kemerdekaan melawan Prancis. Selama tinggal di sana, ia terlibat dalam penelitian tentang perubahan sosial yang dihadapi masyarakat Aljazair akibat kolonialisme.

  • Ia mengamati bagaimana modernisasi dan dominasi kolonial mengubah struktur tradisional masyarakat Aljazair.
  • Penelitian ini kemudian dituangkan dalam buku Sociologie de l’Algérie (1958), salah satu karya awalnya yang memberikan perspektif tentang dampak kolonialisme terhadap stratifikasi sosial. Buku ini memperkenalkan pendekatan empirisnya, memadukan observasi lapangan dengan analisis teoritis

2. Beralih ke Sosiologi

https://mengeja.id/2021/02/03/pierre-bourdieu-menyikapi-kuasa-simbol-mengkonstruksi-realitas/
https://mengeja.id/2021/02/03/pierre-bourdieu-menyikapi-kuasa-simbol-mengkonstruksi-realitas/

Pengalaman di Aljazair membentuk minat Bourdieu terhadap fenomena sosial seperti struktur kekuasaan, budaya, dan perubahan sosial. Ia mulai mengembangkan konsep-konsep seperti habitus dan kapital untuk menjelaskan dinamika kekuasaan di masyarakat. Penelitiannya mencerminkan kombinasi unik antara pendekatan kuantitatif (data statistik) dan kualitatif (etnografi), yang menjadi ciri khas karya-karya akademiknya di kemudian hari.

3. Akademisi Awal di Prancis

Sekembalinya dari Aljazair, Bourdieu bekerja sebagai peneliti di Centre de Sociologie Européenne yang dipimpin oleh sosiolog ternama Raymond Aron. Selama periode ini:

  • Ia berkolaborasi dalam proyek-proyek yang mengintegrasikan teori dengan metodologi empiris.
  • Fokusnya termasuk analisis pendidikan, budaya, dan stratifikasi sosial di Prancis, yang kemudian menjadi tema utama dalam karya-karyanya.

4. Periode Awal Penelitian tentang Pendidikan

Pada tahun 1960-an, Bourdieu mulai mengeksplorasi peran sistem pendidikan dalam mereproduksi ketidaksetaraan sosial. Penelitian ini menghasilkan karya penting seperti The Inheritors (1964), yang ditulis bersama Jean-Claude Passeron. Buku ini menyoroti bagaimana pendidikan sering kali memperkuat dominasi kelas menengah atas dengan menyamarkan modal budaya sebagai “bakat alami”

Karier awal Bourdieu memperlihatkan peralihannya dari filsafat ke sosiologi, didorong oleh pengamatan langsung terhadap perubahan sosial yang dramatis di Aljazair. Pengalaman ini memberi dasar bagi teori-teorinya yang mencerminkan ketertarikannya pada interaksi antara individu, struktur sosial, dan kekuasaan.

5. Konsep-Kosep Utama

  1. Habitus
    Habitus adalah serangkaian disposisi yang terbentuk melalui pengalaman hidup seseorang, terutama melalui interaksi sosial. Habitus menentukan bagaimana seseorang bertindak, berpikir, dan merasakan, namun tidak sepenuhnya bersifat deterministik.
  2. Modal (Capital)
    Bourdieu memperluas konsep modal dari ekonomi ke dimensi sosial dan budaya:
    • Modal Ekonomi: Kekayaan material.
    • Modal Sosial: Jaringan dan hubungan sosial yang dapat dimanfaatkan.
    • Modal Budaya: Pengetahuan, pendidikan, dan preferensi budaya yang menjadi sumber kekuasaan.
    • Modal Simbolik: Reputasi atau penghormatan yang seseorang miliki dalam masyarakat.
  3. Arena Sosial (Field)
    Arena adalah ruang sosial di mana aktor bersaing untuk mendapatkan sumber daya atau modal tertentu. Setiap arena memiliki aturan main yang berbeda, seperti arena pendidikan, seni, atau politik.
  4. Kekerasan Simbolik
    Kekerasan simbolik mengacu pada cara kekuasaan dilegitimasi dan diterima tanpa disadari oleh mereka yang berada dalam posisi subordinat. Hal ini sering terjadi melalui lembaga seperti pendidikan atau budaya

 

6. Karya – Karya Utama

1. Distinction: A Social Critique of the Judgement of Taste (1979)

Buku ini dianggap sebagai salah satu karya paling penting Bourdieu.

  • Isi Utama: Bourdieu menganalisis bagaimana selera budaya (seperti preferensi terhadap seni, musik, atau gaya hidup) mencerminkan dan mereproduksi struktur kelas sosial.
  • Kontribusi: Ia memperkenalkan konsep habitus dan menunjukkan bagaimana modal budaya menjadi alat reproduksi ketimpangan sosial.
  • Pengaruh: Buku ini menjadi referensi utama dalam studi budaya dan sosiologi kelas.

2. Outline of a Theory of Practice (1972)

Karya ini merupakan pengantar penting terhadap teori-teori Bourdieu, khususnya konsep habitus, kapital, dan arena (field).

  • Isi Utama: Bourdieu menyoroti bagaimana tindakan manusia tidak sepenuhnya bebas (agensi), tetapi juga tidak sepenuhnya dikendalikan oleh struktur sosial (determinisme).
  • Signifikansi: Buku ini memadukan teori strukturalisme dengan pendekatan praksis.

3. The Logic of Practice (1980)

  • Isi Utama: Dalam karya ini, Bourdieu memperluas gagasan tentang hubungan antara struktur sosial dan tindakan individu melalui konsep logika praktik.
  • Kontribusi: Buku ini menjadi panduan teoretis untuk memahami tindakan sosial dalam konteks budaya dan struktur.

4. Homo Academicus (1984)

  • Isi Utama: Buku ini membahas dinamika kekuasaan dan stratifikasi dalam dunia akademik Prancis.
  • Pendekatan: Bourdieu menggunakan analisis empiris untuk menunjukkan bagaimana universitas menjadi ruang reproduksi simbolik kekuasaan.
  • Kontribusi: Buku ini membuka diskusi kritis tentang otonomi institusi akademik.

5. The Field of Cultural Production (1993)

  • Isi Utama: Karya ini mengeksplorasi bagaimana seni dan budaya diproduksi dalam konteks sosial tertentu, seperti hubungan antara seniman, institusi seni, dan pasar.
  • Kontribusi: Buku ini mengembangkan konsep arena sosial dan kapital budaya.

6. The Weight of the World: Social Suffering in Contemporary Society (1993)

  • Isi Utama: Buku ini adalah hasil kolaborasi dengan peneliti lain yang mendokumentasikan pengalaman ketidakadilan sosial di berbagai kelompok masyarakat.
  • Kontribusi: Buku ini menunjukkan kepedulian Bourdieu terhadap isu-isu sosial yang konkret.

7. Pascalian Meditations (1997)

  • Isi Utama: Buku ini mengeksplorasi dasar filosofis dari konsep-konsep kunci Bourdieu, terutama mengenai bagaimana pengalaman hidup membentuk habitus.
  • Signifikansi: Karya ini memperlihatkan refleksi mendalam Bourdieu tentang hubungan antara filsafat dan sosiologi.

Kontribusi Lain

Bourdieu juga menulis artikel dan esai yang menantang kapitalisme neoliberal, termasuk Acts of Resistance: Against the Tyranny of the Market (1998), yang mengkritik globalisasi dan ketidaksetaraan ekonomi. Ia juga berkontribusi pada studi pendidikan dengan buku seperti The Inheritors (1964) dan Reproduction in Education, Society, and Culture (1977), yang menyoroti bagaimana sistem pendidikan memperkuat struktur kelas.

7. Akhir Hayat Pierre Félix Bourdieu

Sumber : PPT dokpri Prof Apollo
Sumber : PPT dokpri Prof Apollo

Pierre Bourdieu meninggal pada 23 Januari 2002 di Paris setelah berjuang melawan kanker. Saat meninggal, ia telah menjadi salah satu sosiolog paling berpengaruh di dunia, dengan banyak karya yang terus relevan di bidang ilmu sosial. Bourdieu tidak hanya terkenal karena kontribusi teoritisnya, tetapi juga karena keterlibatannya dalam isu-isu sosial dan politik. Ia sering mengkritik ketidaksetaraan sosial, terutama yang terkait dengan pendidikan, kekuasaan, dan dominasi budaya.

8. Warisan dan Pengaruh

Warisan Bourdieu sangat luas dan mempengaruhi berbagai bidang, mulai dari sosiologi, antropologi, pendidikan, hingga teori budaya dan politik. Beberapa aspek penting dari warisannya termasuk:

  1. Pengaruh dalam Sosiologi dan Ilmu Sosial
    Bourdieu mengembangkan metode yang memadukan pendekatan empiris dengan teori sosiologis yang mendalam, menjadikannya referensi utama dalam analisis struktur sosial. Konsep seperti habitus, modal sosial, kapital budaya, dan kekerasan simbolik telah menjadi dasar penting dalam berbagai kajian sosiologi, pendidikan, dan studi budaya.
  2. Kritik terhadap Neoliberalisme dan Kapitalisme
    Bourdieu adalah kritikus vokal terhadap kebijakan neoliberalisme yang ia anggap memperburuk ketidaksetaraan sosial. Dalam karya seperti Acts of Resistance: Against the Tyranny of the Market (1998), ia menentang globalisasi ekonomi yang menguntungkan sebagian kecil elite sambil menekan kelompok-kelompok sosial yang lebih miskin.
  3. Pemikiran tentang Pendidikan dan Kelas Sosial
    Kontribusinya terhadap teori pendidikan sangat penting, khususnya dengan karya seperti Reproduction in Education, Society, and Culture (1977), yang menunjukkan bagaimana sistem pendidikan tidak hanya mendidik tetapi juga mereproduksi ketimpangan sosial dan ekonomi.
  4. Pengaruh pada Studi Budaya
    Buku Distinction (1979) adalah salah satu karya penting yang mengubah cara kita memahami hubungan antara budaya, kelas sosial, dan kekuasaan. Ia menunjukkan bahwa preferensi estetika dan budaya, seperti selera terhadap seni atau gaya hidup, sering kali mencerminkan dan mempertahankan status sosial tertentu.

9.  Legasi Akademik dan Sosial

Sebagai seorang intelektual, Bourdieu tetap aktif berpartisipasi dalam diskusi politik dan sosial, bahkan setelah ia menjadi tokoh terkenal di dunia akademik. Ia tidak hanya mengajarkan di universitas, tetapi juga terlibat dalam gerakan sosial dan berkomentar secara kritis tentang isu-isu seperti globalisasi dan ketidakadilan sosial.

Sebagai contoh, melalui pengaruhnya, Bourdieu telah membentuk pemikiran generasi baru ilmuwan sosial dan menjadi tokoh yang dihormati di berbagai disiplin ilmu, termasuk studi kelas, budaya, dan pendidikan. Karya-karyanya, seperti Distinction dan The Logic of Practice, masih digunakan sebagai referensi utama dalam memahami bagaimana masyarakat berfungsi dan bagaimana kekuasaan bekerja dalam kehidupan sehari-hari.

Bourdieu meninggalkan warisan pemikiran yang kuat dan terus berpengaruh hingga hari ini. Karyanya tentang hubungan antara struktur sosial, budaya, dan kekuasaan tetap relevan, menginspirasi banyak akademisi dan aktivis untuk memahami dan mengatasi ketidaksetaraan dalam masyarakat.

 

Memahami Peluang dan Tantangan Perpajakan Controlled Foreign Corporation (CFC) di Indonesia

Sumber : PPT dokpri Prof Apollo
Sumber : PPT dokpri Prof Apollo

Pendahuluan

Controlled Foreign Corporation (CFC) merupakan entitas asing yang dikendalikan oleh wajib pajak dalam negeri. Dalam konteks perpajakan, perusahaan ini sering dimanfaatkan untuk menghindari pajak dengan cara memanfaatkan yurisdiksi tax haven yang menawarkan tarif pajak rendah atau bahkan nihil. Indonesia, seperti negara lain, menghadapi tantangan dalam mengatur CFC untuk memaksimalkan penerimaan pajak tanpa menghalangi investasi.

Pendekatan teori Pierre Bourdieu—yang menekankan konsep habitus, kapital, dan arena—dapat digunakan untuk memahami peluang dan tantangan dalam pengelolaan perpajakan CFC. Analisis ini melibatkan dinamika sosial, budaya, dan ekonomi yang memengaruhi aktor utama seperti pemerintah, perusahaan multinasional, dan konsultan pajak.

1. Konsep Habitus, Kapital, dan Arena dalam Perpajakan CFC

Untuk memahami perpajakan CFC dalam kerangka teori Pierre Bourdieu, kita perlu mendalami tiga konsep utama: habitus, kapital, dan arena. Konsep-konsep ini menjelaskan bagaimana aktor-aktor (perusahaan multinasional, konsultan pajak, dan pemerintah) berinteraksi dan memengaruhi kebijakan perpajakan.

A. Habitus dalam Perpajakan Controlled Foreign Corporation (CFC)

Sumber : PPT dokpri Prof Apollo
Sumber : PPT dokpri Prof Apollo

Sumber : PPT dokpri Prof Apollo
Sumber : PPT dokpri Prof Apollo

Habitus, dalam konsep Pierre Bourdieu, adalah seperangkat pola pikir, nilai, kebiasaan, dan cara bertindak yang secara tidak sadar dibentuk melalui pengalaman sosial dan budaya seseorang atau kelompok. Habitus bersifat tahan lama, tetapi tidak kaku; ia dapat berubah seiring waktu ketika individu atau kelompok menghadapi situasi sosial baru. Dalam konteks perpajakan Controlled Foreign Corporation (CFC), habitus membantu menjelaskan bagaimana perusahaan multinasional, konsultan pajak, dan pemerintah membangun pola perilaku yang terkait dengan kepatuhan atau penghindaran pajak.

Habitus Perusahaan Multinasional

Perusahaan multinasional memiliki habitus yang terbentuk melalui praktik bisnis global yang sangat kompetitif. Dalam logika mereka, pajak bukan hanya kewajiban negara, melainkan bagian dari "biaya operasional" yang perlu diminimalkan untuk meningkatkan laba. Habitus ini mencerminkan pemikiran strategis yang menempatkan penghindaran pajak (tax avoidance) dalam koridor legal sebagai langkah wajar.

Dalam kerangka ini, perusahaan multinasional memanfaatkan struktur Controlled Foreign Corporation (CFC) untuk menahan penghasilan di yurisdiksi dengan pajak rendah atau nihil (tax haven). Misalnya, perusahaan-perusahaan besar sering kali memindahkan laba dari negara-negara dengan tarif pajak tinggi ke negara-negara seperti Singapura, Bermuda, atau Panama melalui mekanisme transfer pricing atau subsidiaris. Habitus ini diperkuat oleh keberadaan penasihat pajak internasional yang membantu mereka memanfaatkan celah regulasi yang ada.

Habitus Konsultan Pajak dan Ahli Hukum

Para konsultan pajak memiliki habitus yang sangat teknis, yaitu fokus pada pengetahuan mendalam tentang regulasi perpajakan internasional. Mereka terlatih untuk menemukan kelemahan hukum yang dapat digunakan demi keuntungan klien mereka. Dalam hal ini, habitus mereka mendorong praktik yang meskipun secara hukum sah (legal loopholes), bertentangan dengan semangat keadilan dalam kebijakan pajak. Peran mereka memperkuat habitus perusahaan multinasional untuk menghindari pajak secara legal.

Habitus Pemerintah dan Otoritas Pajak

Di sisi lain, pemerintah dan otoritas pajak memiliki habitus yang berorientasi pada perlindungan basis pajak domestik. Regulasi CFC di Indonesia, seperti yang diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor 93/PMK.03/2019, mencerminkan upaya pemerintah untuk menyeimbangkan kebutuhan akan penerimaan pajak dengan menjaga daya tarik investasi. Pemerintah Indonesia, melalui Direktorat Jenderal Pajak, memiliki kebiasaan menggunakan mekanisme pengawasan berbasis teknologi, seperti sistem Automatic Exchange of Information (AEOI), untuk mendeteksi penghasilan luar negeri yang belum dilaporkan oleh wajib pajak.

Namun, habitus pemerintah sering kali terkendala oleh persepsi publik yang skeptis terhadap transparansi dan efisiensi lembaga pajak. Hal ini menciptakan kesenjangan antara kebijakan yang dirancang dan kepatuhan wajib pajak di lapangan.

Habitus Wajib Pajak dan Masyarakat

Wajib pajak di Indonesia—baik individu maupun perusahaan—memiliki habitus yang dipengaruhi oleh budaya dan pengalaman sosial mereka. Dalam banyak kasus, pajak masih dianggap sebagai beban, bukan sebagai kontribusi moral kepada negara. Persepsi ini diperparah oleh kurangnya kepercayaan terhadap pengelolaan pajak yang transparan dan akuntabel. Habitus semacam ini menghambat upaya pemerintah untuk menegakkan regulasi CFC dengan lebih efektif.

Namun, dengan adanya kebijakan baru seperti BEPS (Base Erosion and Profit Shifting) dan kerjasama internasional melalui OECD, pemerintah berupaya mengubah habitus wajib pajak, terutama melalui edukasi tentang pentingnya kepatuhan pajak sebagai bentuk tanggung jawab sosial.

Perubahan Habitus Melalui Kebijakan

Habitus tidak bersifat statis. Ia dapat berubah melalui interaksi dengan arena sosial baru dan kebijakan yang memaksa atau memotivasi aktor untuk menyesuaikan pola pikir dan tindakannya. Kebijakan CFC di Indonesia dirancang untuk memengaruhi habitus perusahaan dengan cara:

  • Menciptakan Transparansi Pajak: Melalui implementasi AEOI, pemerintah dapat melacak aset luar negeri, sehingga wajib pajak merasa lebih sulit untuk menyembunyikan penghasilan mereka.
  • Sanksi dan Insentif: Regulasi CFC memberikan sanksi bagi wajib pajak yang tidak melaporkan penghasilan dari anak perusahaan asing, sekaligus menawarkan insentif untuk kepatuhan, seperti tarif pajak yang lebih rendah dalam kondisi tertentu.
  • Edukasi Pajak: Pemerintah berupaya membangun kesadaran baru di kalangan wajib pajak bahwa pajak bukan hanya kewajiban hukum, tetapi juga bagian dari kontribusi terhadap pembangunan nasional.

B. Kapital dalam Perpajakan Controlled Foreign Corporation (CFC)

Dalam pendekatan teori Pierre Bourdieu, kapital mencakup berbagai bentuk modal yang tidak hanya berwujud ekonomi, tetapi juga sosial, budaya, dan simbolik. Kapital ini menjadi alat yang menentukan posisi aktor dalam arena tertentu, termasuk arena perpajakan CFC. Dalam konteks perpajakan, kapital memengaruhi bagaimana perusahaan multinasional, otoritas pajak, dan konsultan perpajakan bertindak dan merespons kebijakan perpajakan, termasuk regulasi yang berkaitan dengan Controlled Foreign Corporation (CFC).

Kapital Ekonomi

Kapital ekonomi dalam perpajakan CFC mencerminkan sumber daya finansial yang dimiliki perusahaan untuk mendukung aktivitas bisnisnya, termasuk optimalisasi struktur pajak. Perusahaan multinasional memanfaatkan kapital ekonomi untuk membangun anak perusahaan di yurisdiksi pajak rendah (tax havens) sebagai strategi untuk meminimalkan kewajiban pajak.

Contoh penerapan kapital ekonomi dalam skema CFC adalah penggunaan transfer pricing, pengalihan laba (profit shifting), dan memanfaatkan insentif pajak di negara tertentu. Dengan kapital ekonomi yang besar, perusahaan mampu:

  • Menyewa konsultan pajak internasional yang ahli dalam merancang struktur perpajakan yang kompleks.
  • Mengakses yurisdiksi dengan regulasi pajak yang menguntungkan melalui investasi besar.
  • Melakukan litigasi hukum jika kebijakan perpajakan dianggap tidak menguntungkan.

Namun, kapital ekonomi ini sering kali menimbulkan ketidakseimbangan dalam sistem perpajakan. Negara-negara berkembang, seperti Indonesia, sering kali kehilangan potensi penerimaan pajak akibat praktik penghindaran pajak yang dilakukan perusahaan dengan kapital ekonomi besar.

Kapital Budaya

Kapital budaya mencakup pengetahuan, keahlian, dan pemahaman terhadap regulasi perpajakan internasional. Dalam konteks CFC, kapital budaya menjadi aset penting baik bagi perusahaan multinasional maupun otoritas pajak.

Perusahaan multinasional memanfaatkan kapital budaya melalui:

  • Pemahaman mendalam tentang celah hukum yang memungkinkan optimalisasi pajak.
  • Kemampuan untuk merancang struktur perusahaan yang sesuai dengan regulasi di berbagai yurisdiksi.
  • Adaptasi terhadap perubahan regulasi global, seperti Base Erosion and Profit Shifting (BEPS) dari OECD.

Sementara itu, otoritas pajak juga membutuhkan kapital budaya untuk melawan praktik penghindaran pajak. Regulasi CFC di Indonesia, misalnya, dirancang untuk menutup celah pengalihan laba ke yurisdiksi pajak rendah. Namun, implementasi regulasi ini sering terkendala oleh keterbatasan kapital budaya, seperti:

  • Kurangnya keahlian teknis dalam melacak aliran dana lintas negara.
  • Keterbatasan sumber daya untuk memahami struktur perusahaan yang kompleks.
  • Ketergantungan pada kerja sama internasional, seperti melalui Automatic Exchange of Information (AEOI).

Kapital Sosial

Kapital sosial mencerminkan jaringan dan hubungan yang dimiliki aktor dalam arena perpajakan. Dalam skema CFC, perusahaan multinasional sering kali memiliki kapital sosial yang kuat melalui koneksi dengan konsultan pajak, firma hukum, dan pejabat pemerintah.

Kapital sosial ini memungkinkan perusahaan:

  • Mengakses informasi eksklusif tentang kebijakan perpajakan yang akan diterapkan.
  • Melakukan negosiasi atau lobbying untuk mengurangi dampak kebijakan terhadap bisnis mereka.
  • Membentuk opini publik bahwa penghindaran pajak adalah bagian dari "strategi bisnis sah."

Di sisi lain, otoritas pajak Indonesia berupaya membangun kapital sosial melalui kerja sama internasional dengan organisasi seperti OECD dan World Bank untuk meningkatkan transparansi dan pertukaran informasi. Program seperti BEPS dan AEOI bertujuan memperkuat kapital sosial negara-negara berkembang dalam menangani penghindaran pajak.

Kapital Simbolik

Kapital simbolik mencerminkan legitimasi dan reputasi yang dimiliki aktor dalam arena perpajakan. Perusahaan multinasional sering kali menggunakan kapital simbolik untuk membenarkan praktik penghindaran pajak mereka. Dengan memproyeksikan citra sebagai "perusahaan global yang taat hukum," mereka dapat menghindari kritik atas praktik pengalihan laba.

Sebaliknya, otoritas pajak juga berusaha meningkatkan kapital simbolik mereka dengan menegaskan posisi sebagai penjaga keadilan fiskal. Implementasi regulasi CFC adalah salah satu langkah untuk membangun kepercayaan publik bahwa sistem perpajakan nasional melindungi kepentingan masyarakat luas.

Pengaruh Kapital terhadap Kebijakan CFC

Kapital yang dimiliki perusahaan multinasional sering kali memberikan mereka keunggulan dalam arena perpajakan. Regulasi CFC, yang bertujuan untuk mencegah penghindaran pajak, sering kali menghadapi tantangan dari perusahaan dengan kapital ekonomi, budaya, sosial, dan simbolik yang besar. Mereka dapat memanfaatkan kapital tersebut untuk:

  • Menghindari deteksi melalui struktur keuangan yang kompleks.
  • Menekan pemerintah melalui lobbying agar regulasi CFC tidak terlalu ketat.
  • Menggunakan jalur hukum untuk menunda atau membatalkan implementasi regulasi.

Di sisi lain, otoritas pajak Indonesia berupaya meningkatkan kapital mereka melalui:

  • Peningkatan kapasitas sumber daya manusia untuk memahami perpajakan internasional.
  • Kerja sama dengan negara lain dalam inisiatif global seperti BEPS dan AEOI.
  • Peningkatan legitimasi publik melalui edukasi dan transparansi dalam implementasi regulasi.

C. Arena dalam Perpajakan Controlled Foreign Corporation (CFC)

Dalam konteks teori Pierre Bourdieu, arena atau field merujuk pada ruang sosial yang terdiri dari berbagai aktor yang bersaing untuk memperoleh atau mempertahankan posisi dan sumber daya tertentu. Arena ini beroperasi dengan aturan yang spesifik dan terkadang berubah seiring dinamika kekuatan antar aktor. Dalam perpajakan, terutama terkait dengan aturan mengenai Controlled Foreign Corporation (CFC), arena ini mencakup interaksi yang terjadi antara pemerintah, perusahaan multinasional, konsultan pajak, serta lembaga-lembaga internasional.

Arena perpajakan CFC menjadi kompleks karena melibatkan banyak aktor dengan tujuan yang berbeda-beda, serta berbagai lapisan hukum dan kebijakan yang saling tumpang tindih. Masing-masing aktor dalam arena ini berusaha untuk memperoleh keuntungan atau mempertahankan posisi dominan dalam hal kepatuhan pajak, peraturan perpajakan lintas negara, serta penghindaran pajak. Arena ini bukan hanya tentang kompetisi antara negara, tetapi juga melibatkan interaksi strategis antara perusahaan besar, regulator nasional, dan lembaga internasional.

Karakteristik Arena Perpajakan CFC

  1. Kompleksitas Hukum Perpajakan Lintas Negara Arena perpajakan CFC beroperasi di tingkat global, dengan banyak negara memiliki kebijakan perpajakan yang saling bersaing. Dalam praktiknya, perusahaan multinasional (MNC) sering kali mendirikan anak perusahaan di negara dengan pajak rendah (tax haven) untuk mengalihkan laba (profit shifting) dan menghindari kewajiban pajak yang tinggi di negara asal mereka. Di sinilah kebijakan CFC muncul sebagai upaya negara untuk menjaga agar pajak tetap dikenakan pada penghasilan luar negeri yang dikendalikan oleh wajib pajak domestik.

Contoh: Perusahaan besar yang berbasis di Indonesia dapat mendirikan anak perusahaan di Singapura atau Bermuda, yang memiliki tarif pajak lebih rendah. Dengan demikian, keuntungan yang dihasilkan oleh anak perusahaan ini tidak sepenuhnya dikenakan pajak di Indonesia, melainkan di negara tempat perusahaan tersebut didirikan.

  1. Pertarungan Kepentingan Antar Aktor Setiap aktor dalam arena CFC memiliki tujuan yang berbeda. Pemerintah, misalnya, berusaha untuk melindungi basis pajaknya dan mencegah penghindaran pajak oleh perusahaan multinasional. Mereka berupaya memastikan bahwa pajak tetap terutang atas penghasilan yang diperoleh oleh perusahaan luar negeri yang dikendalikan oleh perusahaan domestik. Sementara itu, perusahaan multinasional berusaha untuk mengoptimalkan beban pajak mereka, menggunakan strategi penghindaran pajak yang sah namun sering kali kontroversial.

Dalam arena ini, aktor lain seperti konsultan pajak dan firma hukum juga memainkan peran penting. Mereka bertindak sebagai perantara antara perusahaan dan pemerintah, membantu perusahaan merancang struktur yang memanfaatkan celah-celah hukum yang ada.

  1. Dinamika Perubahan Kebijakan Global Arena ini juga sangat dinamis, dengan regulasi yang sering berubah seiring upaya negara-negara di dunia untuk menghadapi tantangan penghindaran pajak. Misalnya, inisiatif Base Erosion and Profit Shifting (BEPS) yang diprakarsai oleh OECD bertujuan untuk menanggulangi pengalihan laba dan penghindaran pajak yang tidak adil. Selain itu, perjanjian internasional tentang Automatic Exchange of Information (AEOI) juga memberikan peluang bagi negara untuk melacak transaksi lintas negara dengan lebih efektif.
  2. Peran Otoritas Pajak Nasional Otoritas pajak nasional, seperti Direktorat Jenderal Pajak Indonesia, berada dalam posisi yang sulit karena keterbatasan sumber daya dan akses informasi internasional. Mereka bertugas menegakkan hukum CFC, namun sering kali dihadapkan pada tantangan dalam melacak transaksi yang melibatkan banyak yurisdiksi dengan aturan yang berbeda-beda. Hal ini membuat arena perpajakan CFC menjadi sangat kompleks, dengan ketimpangan yang jelas antara kemampuan negara-negara maju dan negara-negara berkembang dalam menanggulangi penghindaran pajak.

Negara-negara maju memiliki kapasitas yang lebih besar untuk mengumpulkan data, memantau perusahaan multinasional, dan bernegosiasi dalam kerangka internasional. Sementara itu, negara berkembang sering kali menghadapi kesulitan dalam hal kapasitas administratif dan teknis.

Struktur Arena Perpajakan CFC

  1. Hubungan Antar Negara (Global Tax Competition) Negara asal perusahaan (home country) dan negara tempat anak perusahaan berada (host country) berinteraksi dalam konteks pengaturan pajak internasional. Negara asal ingin memastikan bahwa perusahaan yang beroperasi di luar negeri tetap membayar pajak, sementara negara tuan rumah ingin menarik investasi asing dengan menawarkan tarif pajak yang lebih rendah.

Contoh: Negara-negara dengan tarif pajak rendah seperti Singapura atau Hong Kong menarik perusahaan besar untuk mendirikan anak perusahaan. Ini menciptakan ketegangan antara negara-negara tersebut dan negara asal yang berusaha memungut pajak lebih tinggi atas laba yang diperoleh oleh perusahaan multinasional.

  1. Hubungan antara Pemerintah dan Perusahaan Multinasional Dalam arena CFC, perusahaan multinasional berusaha mencari cara untuk meminimalkan kewajiban pajak melalui strategi seperti penghindaran pajak dan pengalihan laba. Oleh karena itu, mereka menggunakan kapital sosial, kapital budaya, dan kapital ekonomi untuk mempengaruhi kebijakan perpajakan atau bahkan melobi untuk perubahan aturan yang lebih menguntungkan.

Pemerintah berusaha untuk menjaga keseimbangan antara memberikan insentif untuk menarik investasi dan menghindari kerugian fiskal akibat penghindaran pajak yang dilakukan oleh perusahaan-perusahaan ini.

  1. Kerja Sama Internasional Arena ini melibatkan kerja sama antar negara dan lembaga internasional, terutama dalam hal pertukaran informasi dan pengawasan aktivitas perpajakan lintas negara. Inisiatif seperti OECD's BEPS dan AEOI menciptakan kerangka untuk memantau dan mengontrol penghindaran pajak lintas negara. Di sinilah negara-negara berkembang seperti Indonesia dapat berkolaborasi dengan negara-negara maju untuk meningkatkan kapasitas mereka dalam memerangi penghindaran pajak dan memastikan bahwa pajak tetap diterima secara adil.

Tantangan dan Peluang dalam Arena Perpajakan CFC

  1. Tantangan Asimetri Informasi Perusahaan multinasional yang memiliki sumber daya yang lebih besar sering kali dapat memperoleh informasi dan memanfaatkan celah hukum untuk menghindari pajak. Hal ini menimbulkan ketimpangan kekuatan di arena perpajakan, di mana negara berkembang sering kali kesulitan untuk melacak dan mengawasi aktivitas perusahaan besar yang beroperasi lintas negara.
  2. Ketidaksetaraan dalam Implementasi Regulasi Implementasi kebijakan CFC menghadapi tantangan karena ketidakseimbangan dalam kemampuan negara-negara untuk menegakkan aturan. Negara dengan sumber daya terbatas mungkin kesulitan untuk melaksanakan regulasi CFC dengan efektif.
  3. Peluang Kerja Sama Internasional Salah satu peluang terbesar dalam arena perpajakan CFC adalah kerja sama internasional yang lebih baik. Melalui kerangka seperti BEPS dan AEOI, negara-negara dapat meningkatkan transparansi dan mengurangi penghindaran pajak. Indonesia, sebagai bagian dari sistem perpajakan global, dapat memperkuat posisinya dalam arena ini dengan meningkatkan kapasitas lembaga pajak dan memperkuat kerja sama internasional.

2. Dampak Doxa dan Dominasi Simbolik dalam Perpajakan 

Sumber : PPT dokpri Prof Apollo
Sumber : PPT dokpri Prof Apollo

Pierre Bourdieu menggunakan konsep doxa dan dominasi simbolik untuk menjelaskan bagaimana pandangan dan struktur sosial yang dominan dapat memengaruhi tindakan dan persepsi masyarakat tanpa disadari. Dalam konteks perpajakan, kedua konsep ini dapat diterapkan untuk memahami bagaimana kebijakan pajak, regulasi, dan praktik penghindaran pajak sering kali diterima begitu saja oleh masyarakat atau dianggap sebagai sesuatu yang wajar, bahkan ketika itu tidak adil atau merugikan.

1. Doxa dalam Perpajakan

Doxa adalah pandangan dominan yang diterima oleh masyarakat tanpa kritik atau refleksi. Dalam dunia perpajakan, doxa bisa dilihat sebagai norma-norma dan asumsi yang mengatur bagaimana masyarakat memandang kewajiban pajak, baik sebagai beban maupun sebagai kontribusi sosial.

  • Penerimaan Kebijakan Tanpa Kritik
    Dalam beberapa kasus, kebijakan perpajakan diterima masyarakat tanpa banyak pertanyaan, bahkan ketika kebijakan itu menguntungkan kelompok tertentu. Misalnya, masyarakat mungkin menganggap normal bahwa perusahaan multinasional memiliki tingkat pajak efektif yang lebih rendah dibandingkan usaha kecil-menengah. Hal ini terjadi karena doxa telah membingkai perusahaan besar sebagai penggerak ekonomi yang harus diberi insentif.

  • Ketimpangan yang Tidak Disadari
    Doxa juga membentuk pandangan bahwa penghindaran pajak oleh individu kaya atau perusahaan besar adalah bagian dari praktik bisnis biasa. Misalnya, skema pajak yang rumit sering kali dianggap sebagai keahlian perusahaan, bukan sebagai manipulasi yang merugikan negara.

2. Dominasi Simbolik dalam Perpajakan

Dominasi simbolik adalah bentuk kekuasaan yang terjadi ketika penguasa memengaruhi cara berpikir, berbicara, dan bertindak orang lain melalui simbol-simbol sosial, seperti bahasa, hukum, dan nilai-nilai budaya. Dalam konteks perpajakan, dominasi simbolik bekerja dengan cara membuat struktur yang tidak adil tampak wajar atau bahkan tak terelakkan.

  • Bahasa dan Narasi dalam Perpajakan
    Bahasa menjadi alat dominasi simbolik yang kuat. Istilah seperti "optimalisasi pajak" digunakan untuk menggantikan "penghindaran pajak" sehingga praktik ini terlihat profesional dan sah. Narasi ini membentuk pemahaman masyarakat bahwa praktik tersebut tidak bermasalah.

  • Legitimasi Ketimpangan Pajak
    Ketika perusahaan multinasional atau individu kaya berhasil menghindari pajak menggunakan celah hukum, masyarakat sering kali tidak menganggapnya sebagai tindakan ilegal. Dominasi simbolik melalui institusi-institusi seperti firma hukum dan konsultan pajak menciptakan ilusi bahwa praktik ini sah dan bahkan diperlukan untuk keberlanjutan ekonomi.

  • Pengabaian terhadap Wajib Pajak Kecil
    Dominasi simbolik juga dapat meminggirkan suara wajib pajak kecil, yang cenderung diperlakukan dengan lebih ketat dan langsung oleh otoritas pajak. Ketika dominasi simbolik bekerja, wajib pajak kecil sering kali tidak menyadari bahwa mereka adalah korban dari sistem yang lebih besar yang memberikan keistimewaan pada kelompok tertentu.

3. Efek Negatif pada Kebijakan dan Keadilan Pajak

a. Legitimasinya Penghindaran Pajak
Dominasi simbolik melalui doxa membuat praktik penghindaran pajak tampak normal. Misalnya, perusahaan yang mendirikan entitas di negara surga pajak sering kali dilihat sebagai "efisiensi pajak," bukan sebagai penggerusan basis pajak negara asal.

b. Resistensi Publik yang Lemah
Karena doxa membuat masyarakat menerima ketidakadilan tanpa kritik, resistensi terhadap kebijakan pajak yang tidak adil menjadi lemah. Ketika masyarakat tidak menyadari bagaimana mereka dirugikan, sulit untuk mendorong reformasi pajak yang progresif.

c. Reproduksi Ketimpangan Sosial
Dominasi simbolik memastikan bahwa ketimpangan dalam sistem perpajakan terus berlanjut. Orang kaya yang memiliki akses ke konsultan pajak elit cenderung lebih diuntungkan dibandingkan kelas bawah, yang berkontribusi lebih besar secara proporsional terhadap pendapatan pajak.

4. Studi Kasus: Implementasi Doxa dan Dominasi Simbolik

Salah satu contoh konkret adalah implementasi kebijakan pajak dalam konteks perusahaan multinasional di Indonesia:

  • Skema Transfer Pricing
    Perusahaan multinasional sering menggunakan skema transfer pricing untuk memindahkan keuntungan ke yurisdiksi dengan pajak rendah. Narasi yang dibangun adalah bahwa skema ini merupakan kebutuhan bisnis global. Doxa membuat publik mengabaikan dampak praktik ini terhadap pendapatan negara.

  • Tax Holiday untuk Investor Asing
    Kebijakan seperti tax holiday sering kali dijustifikasi dengan narasi bahwa insentif tersebut menarik investasi asing. Namun, efek jangka panjangnya adalah pengurangan pendapatan negara, yang akhirnya membebani wajib pajak domestik.

5. Cara Mengatasi Doxa dan Dominasi Simbolik dalam Perpajakan

Untuk melawan dampak negatif doxa dan dominasi simbolik, diperlukan langkah-langkah berikut:

a. Pendidikan Pajak yang Progresif
Pemerintah harus mengedukasi masyarakat tentang pentingnya keadilan pajak dan bahaya penghindaran pajak. Kampanye publik dapat mematahkan narasi yang membenarkan praktik-praktik manipulatif.

b. Transparansi Kebijakan Pajak
Transparansi dalam pengelolaan pajak dapat membantu masyarakat memahami bagaimana dana pajak digunakan dan mengurangi ketidakpercayaan terhadap sistem pajak.

c. Reformasi Hukum Pajak
Menghilangkan celah dalam regulasi pajak yang memungkinkan penghindaran pajak akan mengurangi ketimpangan. Selain itu, hukuman yang lebih tegas untuk praktik ini dapat memperkuat sistem.

d. Membentuk Narasi Baru
Pemerintah dan masyarakat sipil dapat menciptakan narasi alternatif yang menyoroti pentingnya kontribusi pajak sebagai bentuk solidaritas sosial.

3. Konsep Pendidikan dan Reproduksi Dominasi Sosial (Diagram)

Sumber : PPT dokpri Prof Apollo
Sumber : PPT dokpri Prof Apollo
 

Dalam diagram, pendidikan digambarkan sebagai proses reproduksi dominasi sosial. Pendidikan tidak netral, tetapi alat untuk melanggengkan kekuasaan melalui tiga mekanisme utama:

  • Kapital: Pendidikan menutup pintu bagi mereka yang tidak memiliki kapital (ekonomi, budaya, atau simbolik), sehingga hanya kelompok tertentu yang diuntungkan.
  • Habitus: Orang-orang yang terbiasa dengan cara kerja sistem pendidikan (melalui pengalaman hidup atau nilai-nilai sosial mereka) lebih mudah beradaptasi dan sukses.
  • Lingkungan: Pendidikan moral dibentuk oleh lingkungan sosial yang mengajarkan nilai-nilai tertentu, tetapi sering kali bias terhadap kelompok dominan.

Dalam konteks teori Pierre Bourdieu, pendidikan adalah arena (field) di mana kekuasaan diatur oleh mereka yang memiliki kapital besar, dengan menggunakan simbol-simbol yang tampaknya adil (seperti kurikulum atau ujian nasional), tetapi pada kenyataannya mendukung kepentingan kelompok tertentu.

Hubungan dengan Controlled Foreign Company (CFC)

Kebijakan Controlled Foreign Company (CFC) di Indonesia adalah bagian dari sistem perpajakan internasional yang bertujuan untuk mencegah penghindaran pajak oleh perusahaan-perusahaan besar melalui anak perusahaan di luar negeri (offshore subsidiaries). Kebijakan ini sebenarnya juga mencerminkan reproduksi dominasi sosial, yang relevan dengan konsep pendidikan di dalam diagram. Berikut adalah bagaimana keduanya berhubungan:

a. Kapital dan Akses terhadap Kebijakan

  • Kebijakan perpajakan, seperti CFC, sering kali hanya dapat dipahami dan dimanfaatkan oleh perusahaan atau individu dengan kapital yang cukup, terutama kapital ekonomi (akses ke konsultan pajak internasional) dan kapital budaya (pengetahuan tentang hukum perpajakan global).
  • Sebaliknya, perusahaan kecil atau wajib pajak yang kurang memiliki kapital ini cenderung tidak bisa memanfaatkan kebijakan tersebut secara maksimal. Bahkan, mereka mungkin tidak memahami risiko sanksi akibat ketidakpatuhan.
  • Sama seperti pendidikan, kebijakan perpajakan menjadi "tertutup" bagi mereka yang tidak memenuhi syarat sosial dan ekonomi tertentu, sehingga ketimpangan sosial semakin terpelihara.

b. Habitus dalam Perpajakan

  • Habitus, atau pola pikir dan tindakan yang terbentuk berdasarkan pengalaman sosial, juga sangat relevan. Dalam dunia perpajakan internasional, perusahaan multinasional sering kali sudah terbiasa (habituated) dengan praktik penghindaran pajak (tax avoidance), termasuk menggunakan negara-negara tax haven untuk menyimpan keuntungan.
  • Dalam konteks kebijakan CFC, hanya perusahaan dengan habitus tertentu (misalnya, terbiasa dengan lingkungan hukum dan finansial global) yang dapat beradaptasi. Sementara itu, perusahaan kecil di Indonesia yang baru berkembang tidak memiliki pengalaman serupa sehingga tertinggal dalam arena global.

c. Lingkungan Perpajakan dan Dominasi Simbolik

  • Dalam diagram, pendidikan moral diasosiasikan dengan lingkungan sosial yang membentuk kebiasaan dan nilai. Hal yang sama terjadi dalam perpajakan: lingkungan global yang permisif terhadap penghindaran pajak, serta lemahnya penegakan hukum di negara-negara berkembang, menciptakan budaya yang memengaruhi kepatuhan perpajakan.
  • Dominasi simbolik juga hadir dalam kebijakan CFC: pemerintah menggunakan kebijakan ini untuk menunjukkan kedaulatan di mata internasional, tetapi pada kenyataannya, kebijakan ini lebih bermanfaat bagi perusahaan besar yang memiliki kapital untuk mematuhinya daripada bagi perusahaan kecil yang terkena beban administratif.

Analogi Pendidikan dengan Kebijakan CFC

Poin-poin dalam diagram tentang pendidikan memberikan analogi langsung terhadap kebijakan CFC, sebagai berikut:

a. Pendidikan Mereproduksi Dominasi Sosial = Kebijakan CFC Mereproduksi Ketimpangan Ekonomi

  • Dalam pendidikan, sistem cenderung menguntungkan kelompok dengan kapital besar. Sama halnya, kebijakan CFC, meskipun bertujuan baik untuk mencegah penghindaran pajak, sering kali memperkuat ketimpangan antara perusahaan besar dan kecil.
  • Perusahaan besar yang sudah berpengalaman dalam arena global dapat menavigasi kebijakan ini dengan mudah, sementara perusahaan kecil menghadapi kesulitan untuk memahaminya atau mematuhi peraturan yang rumit.

b. Habitus dalam Pendidikan = Habitus dalam Perpajakan

  • Individu dengan habitus yang sesuai dengan sistem pendidikan memiliki peluang lebih besar untuk sukses. Demikian pula, perusahaan dengan habitus internasional (terbiasa dengan pengelolaan pajak lintas batas dan struktur perusahaan multinasional) memiliki kemampuan lebih besar untuk mematuhi kebijakan CFC dan memanfaatkan celah hukum.

c. Lingkungan Moral dalam Pendidikan = Lingkungan Regulasi Perpajakan

  • Pendidikan moral dalam diagram menekankan pentingnya lingkungan sebagai pembentuk perilaku. Lingkungan perpajakan global yang tidak konsisten menciptakan insentif bagi perusahaan besar untuk menghindari pajak.
  • Lingkungan regulasi di Indonesia juga penting: pemerintah harus memastikan bahwa kebijakan CFC menciptakan insentif bagi kepatuhan, bukan hanya hukuman yang membebani perusahaan kecil.

4. Implikasi dalam Kebijakan Controlled Foreign Company (CFC) di Indonesia

Kebijakan Controlled Foreign Company (CFC) adalah aturan perpajakan yang bertujuan untuk mencegah penghindaran pajak dengan cara mendeklarasikan pendapatan perusahaan luar negeri yang dimiliki oleh wajib pajak dalam negeri. Di Indonesia, kebijakan ini didasarkan pada Pasal 4 ayat (1) huruf h Undang-Undang Pajak Penghasilan (PPh) dan peraturan pelaksananya, seperti PMK No. 93/PMK.03/2019. Berikut adalah analisis implikasi kebijakan CFC di Indonesia, yang dapat dilihat dari berbagai perspektif: 

1. Implikasi Positif Kebijakan CFC

Kebijakan ini memiliki beberapa manfaat potensial, terutama dalam memperkuat penerimaan pajak negara dan menciptakan sistem perpajakan yang lebih adil:

a. Mengurangi Penghindaran Pajak

  • Kebijakan CFC mencegah praktik profit shifting (memindahkan laba ke negara dengan tarif pajak rendah) oleh perusahaan multinasional.
  • Dengan mendeklarasikan pendapatan dari perusahaan luar negeri yang terafiliasi, wajib pajak tidak bisa lagi memanfaatkan celah untuk mengurangi kewajiban pajak di Indonesia.

b. Peningkatan Penerimaan Pajak

  • Kebijakan ini memperluas basis pajak Indonesia dengan memasukkan pendapatan pasif dari perusahaan luar negeri yang dikuasai oleh wajib pajak Indonesia.
  • Dengan kontrol yang efektif, kebijakan ini dapat meningkatkan penerimaan negara secara signifikan.

c. Keadilan dalam Sistem Perpajakan

  • Kebijakan CFC menciptakan kesetaraan di antara wajib pajak. Perusahaan yang memanfaatkan tax haven untuk menghindari pajak tidak lagi mendapatkan keuntungan yang tidak adil dibandingkan dengan perusahaan yang beroperasi sepenuhnya di dalam negeri.

d. Keselarasan dengan Standar Internasional

  • Kebijakan ini menunjukkan komitmen Indonesia untuk mengikuti standar internasional seperti Base Erosion and Profit Shifting (BEPS) Action Plan dari OECD, khususnya terkait dengan Action 3: Strengthening CFC Rules. Hal ini meningkatkan reputasi Indonesia dalam komunitas perpajakan global.

2. Implikasi Negatif Kebijakan CFC

Meskipun kebijakan ini bertujuan baik, penerapannya juga dapat menimbulkan berbagai tantangan dan dampak negatif:

a. Beban Kepatuhan yang Tinggi

  • Wajib pajak yang memiliki kepemilikan di luar negeri harus melaporkan pendapatan dengan aturan yang kompleks. Hal ini menciptakan beban administratif yang signifikan, terutama bagi perusahaan kecil dan menengah.
  • Proses pelaporan membutuhkan pemahaman mendalam tentang regulasi internasional dan keuangan perusahaan luar negeri, yang tidak selalu dimiliki oleh semua wajib pajak.

b. Resiko Pajak Berganda

  • Jika negara tempat anak perusahaan berada juga mengenakan pajak atas pendapatan yang sama, risiko pajak berganda (double taxation) dapat terjadi. Meskipun terdapat perjanjian penghindaran pajak berganda (Double Taxation Avoidance Agreement/DTA), implementasinya sering kali rumit.

c. Kesenjangan Akses Informasi

  • Perusahaan multinasional besar dengan akses terhadap penasihat pajak internasional dapat dengan mudah memahami dan mematuhi aturan CFC, sementara perusahaan kecil sering kali kesulitan mengakses informasi yang memadai.
  • Ini memperbesar ketimpangan antara perusahaan besar dan kecil dalam hal pemanfaatan aturan perpajakan.

d. Kemungkinan Relokasi Usaha

  • Aturan CFC yang terlalu ketat dapat mendorong wajib pajak untuk memindahkan kegiatan usaha mereka ke negara lain yang memiliki regulasi lebih longgar. Ini dapat berdampak buruk pada iklim investasi dalam negeri.

3. Implikasi dalam Perspektif Sosial dan Ekonomi

Dari sudut pandang sosial dan ekonomi, kebijakan ini memiliki efek yang meluas, baik dalam hal redistribusi pendapatan maupun persepsi masyarakat tentang keadilan sistem pajak.

a. Distribusi Pendapatan

  • Kebijakan ini membantu mengurangi praktik penghindaran pajak oleh kelompok kaya atau perusahaan besar, sehingga pendapatan negara dapat dialokasikan untuk pembangunan yang lebih merata.
  • Namun, jika implementasi kebijakan ini hanya efektif untuk perusahaan besar sementara perusahaan kecil kesulitan mematuhinya, ketimpangan distribusi pendapatan tetap akan terjadi.

b. Kepercayaan terhadap Sistem Pajak

  • Jika kebijakan ini diterapkan dengan baik, masyarakat akan melihat pemerintah serius dalam menangani penghindaran pajak, sehingga dapat meningkatkan kepercayaan terhadap sistem pajak.
  • Sebaliknya, jika kebijakan ini hanya menghasilkan penerimaan dari wajib pajak kecil sementara perusahaan besar tetap dapat menghindari pajak, kepercayaan terhadap pemerintah dapat menurun.

4. Implikasi dalam Perspektif Teori Pierre Bourdieu

Sumber : PPT dokpri Prof Apollo
Sumber : PPT dokpri Prof Apollo

Berdasarkan pendekatan Pierre Bourdieu, kebijakan ini dapat dilihat dari tiga elemen utama: kapital, habitus, dan dominasi simbolik.

a. Kapital

  • Kapital Ekonomi: Kebijakan CFC lebih mudah dimanfaatkan oleh perusahaan besar dengan kapital ekonomi tinggi, yang memiliki sumber daya untuk menyewa konsultan pajak internasional.
  • Kapital Budaya: Pemahaman tentang regulasi perpajakan global adalah bentuk kapital budaya yang lebih sering dimiliki oleh kelompok elit ekonomi. Perusahaan kecil sering kali tidak memiliki akses yang sama terhadap pengetahuan ini.

b. Habitus

  • Kebijakan ini mengasumsikan bahwa semua wajib pajak memiliki habitus yang sama dalam memahami dan mematuhi aturan perpajakan. Namun, kenyataannya, hanya kelompok tertentu yang terbiasa dengan arena perpajakan internasional, sementara wajib pajak kecil menghadapi hambatan yang lebih besar.

c. Dominasi Simbolik

  • Kebijakan CFC dapat menjadi alat dominasi simbolik pemerintah untuk menunjukkan kedaulatan pajak di hadapan masyarakat dan komunitas internasional. Namun, jika penerapannya tidak inklusif, kebijakan ini malah dapat dianggap sebagai simbol ketidakadilan, terutama oleh wajib pajak kecil.

5. Rekomendasi untuk Peningkatan Kebijakan CFC

Agar kebijakan CFC di Indonesia dapat berjalan dengan optimal dan mengurangi dampak negatifnya, beberapa langkah berikut perlu diambil:

  1. Peningkatan Edukasi dan Sosialisasi:
    • Pemerintah harus memberikan pelatihan dan informasi yang mudah diakses bagi wajib pajak kecil dan menengah untuk meningkatkan pemahaman mereka tentang kebijakan ini.
  2. Penyederhanaan Prosedur:
    • Proses pelaporan pendapatan CFC perlu disederhanakan agar tidak menjadi beban administratif yang berlebihan bagi wajib pajak.
  3. Kerja Sama Internasional:
    • Indonesia perlu memastikan perjanjian pajak berganda (DTA) dengan negara-negara lain berjalan efektif untuk mengurangi risiko pajak berganda.
  4. Insentif bagi Kepatuhan:
    • Memberikan insentif bagi wajib pajak yang secara sukarela melaporkan pendapatan dari anak perusahaan di luar negeri.
  5. Peningkatan Kapasitas Pengawasan:
    • Pemerintah harus meningkatkan kemampuan pengawasan untuk memastikan bahwa kebijakan ini diterapkan secara adil, terutama kepada perusahaan besar yang cenderung memiliki akses terhadap tax haven.

5. Strategi Menuju Efektivitas Kebijakan CFC

Sumber : PPT dokpri Prof Apollo
Sumber : PPT dokpri Prof Apollo

Strategi menuju efektivitas kebijakan Controlled Foreign Company (CFC) di Indonesia adalah hal yang penting untuk memastikan tujuan kebijakan ini tercapai, yakni menghindari penghindaran pajak internasional dan mendukung transparansi dalam laporan keuangan perusahaan yang beroperasi lintas negara. Kebijakan CFC bertujuan untuk mengatur dan mengawasi perusahaan-perusahaan yang memiliki anak perusahaan atau afiliasi di luar negeri, yang mungkin menggunakan struktur internasional untuk menghindari kewajiban pajak di Indonesia. Di bawah ini adalah beberapa strategi yang bisa diterapkan untuk mencapai efektivitas kebijakan CFC:

1. Peningkatan Pengawasan dan Penegakan Hukum

  • Audit dan Pemantauan Aktif: Pemerintah Indonesia harus memperkuat mekanisme audit untuk memastikan bahwa perusahaan-perusahaan yang terdaftar dan beroperasi secara internasional mematuhi regulasi CFC. Hal ini bisa melibatkan pemeriksaan laporan keuangan yang lebih ketat dan penggunaan teknologi untuk memantau transaksi lintas batas.
  • Kolaborasi Internasional: Mengingat perusahaan multinasional beroperasi di banyak negara, kerja sama internasional dalam hal pertukaran informasi pajak akan sangat penting. Indonesia bisa meningkatkan kerja sama dengan otoritas pajak dari negara-negara mitra untuk memastikan pengawasan yang lebih efektif terhadap aktivitas perusahaan di luar negeri.

2. Penyempurnaan Regulasi CFC

  • Peraturan yang Lebih Terperinci dan Jelas: Regulasi yang ada perlu disesuaikan untuk mengatasi celah-celah yang dapat dimanfaatkan oleh perusahaan dalam struktur bisnis internasional mereka. Hal ini termasuk peraturan tentang threshold pendapatan, kontrol yang dapat dilakukan oleh perusahaan Indonesia terhadap anak perusahaan asing, dan kriteria lain yang relevan untuk menentukan apakah suatu perusahaan memenuhi definisi CFC.
  • Penyesuaian dengan Standar Internasional: Peraturan CFC harus konsisten dengan standar internasional yang dikeluarkan oleh organisasi seperti OECD (Organisation for Economic Co-operation and Development) mengenai penghindaran pajak dan transparansi. Indonesia perlu memastikan bahwa kebijakan CFC yang diterapkan sesuai dengan komitmen global, sehingga tidak ada penghalang bagi investasi asing.

3. Transparansi dan Pelaporan yang Lebih Baik

  • Perbaikan dalam Pelaporan Keuangan: Meningkatkan standar pelaporan yang harus dipenuhi oleh perusahaan-perusahaan yang memiliki anak perusahaan di luar negeri. Pelaporan yang lebih transparan mengenai pendapatan, pajak yang dibayar, serta struktur kepemilikan akan memudahkan pemerintah untuk menilai apakah perusahaan tersebut mematuhi ketentuan CFC.
  • Penggunaan Teknologi untuk Verifikasi Data: Memanfaatkan sistem teknologi informasi yang lebih canggih untuk mendeteksi kemungkinan penghindaran pajak melalui pergerakan dana lintas negara atau penggunaan struktur perusahaan yang kompleks.

4. Peningkatan Kapasitas dan Pengetahuan Sumber Daya Manusia (SDM)

  • Pelatihan untuk Pejabat Pajak: Meningkatkan kapasitas aparat pajak di Indonesia mengenai mekanisme kebijakan CFC dan penghindaran pajak internasional. Pengetahuan yang lebih mendalam tentang struktur perusahaan internasional dan transaksi lintas batas sangat penting untuk mengidentifikasi potensi pelanggaran.
  • Edukasi untuk Perusahaan: Pemerintah dapat mengadakan seminar atau workshop untuk memberikan pemahaman kepada perusahaan-perusahaan Indonesia mengenai kewajiban mereka di bawah kebijakan CFC. Edukasi ini juga bisa memberikan penjelasan tentang risiko hukum dan keuangan jika perusahaan gagal memenuhi regulasi.

5. Mekanisme Pemberian Insentif dan Sanksi

  • Insentif untuk Kepatuhan: Memberikan insentif bagi perusahaan yang mematuhi ketentuan CFC secara sukarela, seperti pengurangan tarif pajak atau pengakuan di pasar internasional atas reputasi kepatuhan mereka. Hal ini dapat mendorong perusahaan untuk beroperasi secara lebih transparan.
  • Sanksi yang Tegas bagi Pelanggaran: Memberikan sanksi yang tegas bagi perusahaan yang terbukti melanggar ketentuan CFC, termasuk denda yang besar atau pembatasan terhadap aktivitas bisnis mereka di Indonesia. Sanksi yang jelas akan memberikan efek jera dan mencegah praktik penghindaran pajak.

6. Penguatan Kepatuhan Pajak Secara Umum

  • Kebijakan Anti-Evasi Pajak yang Komprehensif: Untuk mendukung kebijakan CFC, Indonesia perlu memperkuat kebijakan anti-evasi pajak secara keseluruhan. Ini melibatkan penerapan peraturan yang menutup celah hukum yang bisa digunakan untuk penghindaran pajak, serta meningkatkan sistem pelaporan dan transparansi yang lebih baik untuk menindak kegiatan penghindaran pajak.

7. Evaluasi dan Revisi Berkala

  • Evaluasi Efektivitas Kebijakan: Pemerintah harus melakukan evaluasi berkala terhadap kebijakan CFC untuk melihat apakah kebijakan tersebut efektif dalam mengurangi penghindaran pajak internasional. Evaluasi ini harus memperhitungkan dampak ekonomi serta keadilan fiskal dalam perekonomian Indonesia.
  • Penyesuaian Berdasarkan Perkembangan Global: Mengingat peraturan pajak global sering kali berkembang, Indonesia harus siap untuk menyesuaikan kebijakan CFC sesuai dengan tren internasional, terutama terkait dengan perjanjian internasional atau standar yang ditetapkan oleh organisasi seperti OECD.

8. Kolaborasi dengan Sektor Swasta

  • Kerja Sama dengan Lembaga Keuangan dan Konsultan Pajak: Kerja sama dengan pihak ketiga yang memiliki pemahaman yang mendalam tentang kebijakan CFC dan penghindaran pajak dapat membantu pemerintah untuk mendeteksi masalah lebih cepat dan memberikan solusi yang tepat bagi perusahaan.
  • Dialog dengan Asosiasi Pengusaha: Mengadakan dialog dengan asosiasi pengusaha dan perusahaan-perusahaan besar untuk memahami tantangan yang mereka hadapi dalam mematuhi kebijakan CFC, serta mencari cara untuk meningkatkan kepatuhan secara sukarela.

 Referensi

https://www.newworldencyclopedia.org/entry/Pierre_Bourdieu

https://www.britannica.com/biography/Pierre-Bourdieu

https://www.sociologygroup.com/

Bourdieu, Pierre. Outline of a Theory of Practice. Cambridge University Press, 1977.

Peraturan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor 93/PMK.03/2019

Swartz, David. Culture and Power: The Sociology of Pierre Bourdieu. University of Chicago Press, 1997.

Braithwaite, Valerie. Taxing Democracy: Understanding Tax Avoidance and Evasion. Routledge, 2002.

PPT Memahami Peluang dan Tantangan Perpajakan Controlled Foreign Company di Indonesia Pendekatan Teori Pierre Bourdieu oleh Prof. Dr. Apollo Daito, S.E., Ak., M.Si., CIFM., CIABV., CIABG 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
  11. 11
  12. 12
  13. 13
  14. 14
  15. 15
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ruang Kelas Selengkapnya
Lihat Ruang Kelas Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun