Mohon tunggu...
NikenDe
NikenDe Mohon Tunggu... Guru - Vinsensia Niken Devi Intan Sari

Lahir di sebuah desa yang terletak ditengah hutan jati. Desa tersebut berada di wilayah kabupaten Banyuwangi. Daerah yang terlanjur terkenal kembali dengan sebutan Desa Penari. Niken kecil hidup diantara orang tua yang berprofesi sebagai guru. Guru jaman OLD. Dengan segala kekurangannya, namun tetap dan terus mensyukuri dan menyemangati anak-anaknya untuk berpendidikan tinggi. Dengan satu semboyan Ajaib dari mereka bahwa "Pasti ada jalan jika itu untuk biaya pendidikan." That is TRUE. Benarlah adanya. Kami, anak-anak guru SD di sebuah desa kecil tersebut mampu melanjutkan sekolah sampai lulus Sarjana. Mimpi Bapak Ibu terkabul. Hobi menulis menjadi sebuah kegiatan yang selalu memhadirkan CANDU. Menekuninya menghadirkan kegembiraan tersendiri. Semoga menjadikan manfaat bagi banyak orang.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Karma

23 Oktober 2019   11:45 Diperbarui: 23 Oktober 2019   12:11 143
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

"Dan, ada apa sebenarnya. Orang yang meninggal itu siapa?" Tanyaku mendera dia.

"Mbak Wik, coba buka hp. Barangkali sudah ada yang memberitahu Mbak." Aku memelototi adik bungsu suamiku itu. Tanpa disuruh dua kali aku mengambil hp dari dalam tas. Memang sejak berangkat tadi hp ku silent. Aku sengaja melakukannya karena ingin menikmati waktu bersama anak-anak.

Ketika kunyalakan, di layar tertera berpuluh panggilan dari beberapa teman suamiku. Beratus wa pun menunggu dibuka.

"Dan, jangan bilang lubang kubur itu untuk masmu." Kataku mengeja fellingku sendiri.

Sebelum Dani menjawab, panggilan dari Hilmi teman sejawat suamiku masuk.

"Mbak wik, haloo. Mbak.... Dimana sampean?" mendengar suara gugupnya aku semakin yakin akan tebakan rasaku.

"Iya Hil, aku di Malang."

"Mbak... mas Heri kecelakaan, dan ...." Suara Hilmi terasa semakin menjauh dari telingaku. Aku sudah tak kuasa menahan tubuhku. Dani sudah tersedu didepanku. Pak Jalil dan anak-anak sudah mengerumuni kami.

Dani menahan tubuhku yang limbung.

"Ratu, Langit, adik, bapakmu ...." Dan semua gelap, semakin gelap. Masih kudengar suara Dani, Pak Jalil dan anak-anakku memanggil namaku, namun semua semakin gelap dan aku tak ingat apapun.

Suara tangis dan riuhnya banyak orang membangunkan sadarku. Perlahan kubuka mata. Bukankah ini salah satu kamar di rumah mertuaku. Mas Heri. Aku melihat sekeliling. Anak-anakku terlihat tersedu disebelah ranjangku. Si kecil juga menangis. Aku mencoba duduk.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun