"Dan, ada apa sebenarnya. Orang yang meninggal itu siapa?" Tanyaku mendera dia.
"Mbak Wik, coba buka hp. Barangkali sudah ada yang memberitahu Mbak." Aku memelototi adik bungsu suamiku itu. Tanpa disuruh dua kali aku mengambil hp dari dalam tas. Memang sejak berangkat tadi hp ku silent. Aku sengaja melakukannya karena ingin menikmati waktu bersama anak-anak.
Ketika kunyalakan, di layar tertera berpuluh panggilan dari beberapa teman suamiku. Beratus wa pun menunggu dibuka.
"Dan, jangan bilang lubang kubur itu untuk masmu." Kataku mengeja fellingku sendiri.
Sebelum Dani menjawab, panggilan dari Hilmi teman sejawat suamiku masuk.
"Mbak wik, haloo. Mbak.... Dimana sampean?" mendengar suara gugupnya aku semakin yakin akan tebakan rasaku.
"Iya Hil, aku di Malang."
"Mbak... mas Heri kecelakaan, dan ...." Suara Hilmi terasa semakin menjauh dari telingaku. Aku sudah tak kuasa menahan tubuhku. Dani sudah tersedu didepanku. Pak Jalil dan anak-anak sudah mengerumuni kami.
Dani menahan tubuhku yang limbung.
"Ratu, Langit, adik, bapakmu ...." Dan semua gelap, semakin gelap. Masih kudengar suara Dani, Pak Jalil dan anak-anakku memanggil namaku, namun semua semakin gelap dan aku tak ingat apapun.
Suara tangis dan riuhnya banyak orang membangunkan sadarku. Perlahan kubuka mata. Bukankah ini salah satu kamar di rumah mertuaku. Mas Heri. Aku melihat sekeliling. Anak-anakku terlihat tersedu disebelah ranjangku. Si kecil juga menangis. Aku mencoba duduk.