Entah dari mana datangnya motor itu. Melaju begitu kencang dan mendadak sehingga tak terelakkan. Dan Brak....mobil putih itu oleng lantas menabrak tiang reklame yang berdiri kokoh di pinggir jalan. Bagian depan mobil ringsek tak berbentuk. Suara klakson dari mobil tak terhenti. Mungkin bagian tubuh sopir menekannya sehingga berbunyi tak berhenti.
Sesudahnya banyak orang berkerumun. Teriakan kengerian dan jeritan tertahan ibu-ibu yang sangaja berhenti dan mendekat, bergantian terdengar. Dari wajah mereka terkirim kabar sedih dan ngeri. Entah apa yang terjadi dengan penghuni mobil nahas itu. Kabarnya tak ada yang bisa diselamatkan.
Entahlah, aku tidak tertarik untuk turun dan ikut berkerumun. Mobil yang membawaku dan anak-anak perlahan mendekati kerumunan itu. PaK Jalil mencoba bertanya kepada orang yang berdesakan disamping kiri-kanan mobil kami yang melaju teramat pelan.
"Semua nya Pak. Papa, mama dan anaknya." Jawaban pertama itu terdengar juga oleh telingaku.
"Jadi semua ..... kasihan ya Bu." Kata anak pertamaku.
"Kasihan ya? Mana anaknya masih kecil lagi."
"Sepertinya habis merayakan ulang tahun, dibelakang ada kue tart."
Suara riuh itu bergantian dan berulang-ulang mampir di telinga kami. Kami hanya diam. Pak Jalil juga diam karena konsentrasi penuh mengemudi mobil diantara begitu banyak manusia yang hendak melihat tragedi sore itu.
Hampir 500 meter jalan kami terganggu oleh kejadian itu. Akhirnya kami bisa bernafas lega.
"Makanya Pak Lil, kalau nyetir harus konsentrasi ya." Kata Langit, anak keduaku. Dia memang paling akrab dengan Pak Jalil.
"Siap Mbak Lang." Kata Pak Jalil.
"Jadi kalau Pak Lil ngantuk ya minggir saja. Kita cari warung atau caf atau minimarket plus, trus istirahat disitu Pak Lil." Kata mbarepku. Dia paling sayang dengan Pak Jalil dan keluarganya.
"Hahaha, apa Mbak Ratu sudah pengen ngopi." Tanya Pak Jalil pada Ratu, mbarepku yang hobi makan dan minum kopi.
"Kalau itu sih tergantung Bunda permaisuri Pak Lil." Jawab Ratu. Semua lantas tertawa. Tawa kami rupanya terlalu keras sehingga membuat si kecil membuka mata, namun hanya sebentar dan terlelap lagi.
Mobil mulai berbelok ke sebuah gang kecil. Perlahan lajunya karena memang gangnya sempit dan kendaraan yang lewat lumayan rame.
"Ibu sudah beli bunga?" Tanya Pak Jalil kepadaku.
"Belum. Biasanya di pintu gerbang makan banya orang berjualan. Nanti beli disitu saja." Kataku sambil membetulkan letak tidur si kecil.
"Baik Bu." Jawab Pak Jalil sambil terus melajukan mobil.
Pak Jalil, lelaki muda yang rela mengabdikan diri padaku. Tepatnya pada kami. Sejak anak-anak sekolah, dia sudah membantu kami mengurus anak-anak. Istrinya membantuku menyelessaikan pekerjaan di rumah. Pak Jalil bagian antar jempur anak-anak ke sekolah. Dulu dia menggunakan becak untuk antar jemput anak-anak. Dan ketika kami memiliki mobil, Pak Jalil kami kursuskan nyetir. Sekarang dia menjadi sopir andalanku. Kemanapun kami pergi bersama-sama selalu Pak Jalil yang mengantar.
"Bu, itu banyak penjual bunga." Katanya membuyarkan lamunanku.
"Kamu belikan Pak, 10 bugkus ya." Kataku sambil menyerahkan selembar lima puluh ribuan. Sebentar kemudian Pak Jalil sudah masuk kembali ke mobil dan membawanya bergerak menuju pemakaman umum tempat mertuaku dimakamkan.
Pemakaman umum itu sudah mulai ramai. Mendekati lebaran selalu banyak yang mengirim doa ke makam. Kami turun. Si kecil digendong belakang oleh Pak Jalil. Bunga tabur ditenteng anak-anakku. Kami berjalan menuju tempat mama dan papa mertuaku dimakamkan.
"Bu, ada orang meninggal ya?" Tanya Ratu sambil menggerakkan pandangan matanya ke arah orang-orang yang sedang menggali kubur.
"Lubangnya besar amat." Timpal Langit. Aku memberi isyarat agar mereka tidak berisik.
Sampai di makam mama dan papa mertuaku, kami bersimpuh. Mendaraskan doa bersama. Memohonkan ampun dari yang Kuasa agar papa dan mama mertuaku dirahmati surga. Bunga perlahan kami taburkan secara bergantian. Pak Jalil membantu membersihkan rumput-rumput liar yang tumbuh disekitar makam.
"Yuk, kita pulang."Kataku sambil berdiri.
"Bu. Lihat ... bukankah itu Om Dani?" Tiba-tiba Ratu menunjuk kepada seseorang yang berdiri didekat para penggali kubur yang tadi kami lewati. Aku mengangguk mengiyakan.
"Om Dani." Si kecil yang sudah terbangun memanggil adik suamiku itu dengan lantang. Semua menoleh ke arahnya. Dani tampak terkejut dan segera menuju kepada kami.
"Eh, ... keponakan Om Dani yang cantik-cantik. Mau jalan-jalan ya.?"
"Minta ke Trans studio Dan." Kataku memberi penjelasan.
Dani memeluk mereka satu per satu. Hampir setahun kami tidak bertemu. Setelah menyalami Pak Jalil, Dani mengulurkan tangannya padaku.
"Bagaimana kabarmu, Le?"Tanyaku padanya.
"Baik Mbak. Mbak Wik bagaimana?" Tanyanya setelah mencium takjim telapak tanganku.
Aku tersenyum memberi isyarat bahwa aku dan anak-anak baik -- baik saja.
"Terima kasih ya Mbak, masih selalu mengunjungi mama dan papa." Ucapnya lagi dan aku hanya tersenyum menjawabnya.
"Mereka kan kakek dan nenek ponakanmu, Le."
Kami berjalan menuju gerbang pemakaman umum. Pak Jalil masih menggendong si kecil.
"O, iya Le. Siapa yang meninggal?" Tanyaku ketika kami sudah sampai di mobil.
Dani terdiam, menatap kami bergantian. Anak-anak sudah masuk mobil. Mereka paham jika aku dan Dani butuh suasana berdua.
Aku terkejut melihat Dani mendadak sedih.
"Mbak Wik, belum tahu kah?"
"Tahu apa Dan?"
"Belum ada yang memberitahu mbak Wik?"
"Dan, jangan berbelit ada apa sebenarnya?" Aku menarik tangan adik iparku itu. Kubawa dia ketempat yang teduh.
"Dan, ada apa sebenarnya. Orang yang meninggal itu siapa?" Tanyaku mendera dia.
"Mbak Wik, coba buka hp. Barangkali sudah ada yang memberitahu Mbak." Aku memelototi adik bungsu suamiku itu. Tanpa disuruh dua kali aku mengambil hp dari dalam tas. Memang sejak berangkat tadi hp ku silent. Aku sengaja melakukannya karena ingin menikmati waktu bersama anak-anak.
Ketika kunyalakan, di layar tertera berpuluh panggilan dari beberapa teman suamiku. Beratus wa pun menunggu dibuka.
"Dan, jangan bilang lubang kubur itu untuk masmu." Kataku mengeja fellingku sendiri.
Sebelum Dani menjawab, panggilan dari Hilmi teman sejawat suamiku masuk.
"Mbak wik, haloo. Mbak.... Dimana sampean?" mendengar suara gugupnya aku semakin yakin akan tebakan rasaku.
"Iya Hil, aku di Malang."
"Mbak... mas Heri kecelakaan, dan ...." Suara Hilmi terasa semakin menjauh dari telingaku. Aku sudah tak kuasa menahan tubuhku. Dani sudah tersedu didepanku. Pak Jalil dan anak-anak sudah mengerumuni kami.
Dani menahan tubuhku yang limbung.
"Ratu, Langit, adik, bapakmu ...." Dan semua gelap, semakin gelap. Masih kudengar suara Dani, Pak Jalil dan anak-anakku memanggil namaku, namun semua semakin gelap dan aku tak ingat apapun.
Suara tangis dan riuhnya banyak orang membangunkan sadarku. Perlahan kubuka mata. Bukankah ini salah satu kamar di rumah mertuaku. Mas Heri. Aku melihat sekeliling. Anak-anakku terlihat tersedu disebelah ranjangku. Si kecil juga menangis. Aku mencoba duduk.
"Ratu... bapakmu?" tanyaku pada mbarepku.
"Lintang, Langit ...." Kupanggil satu persatu buah hati kami. Dan kami menangis bersama. Kupeluk mereka bertiga. Tak pernah kubayangkan akan berujung begini.
Terdengar pintu kamar diketuk seseorang. Dani dan istrinya masuk ke dalam kamar. Wajah sembab mereka membuatku kembali tersedu.
"Mbak Wik, mau lihat mas Heri." Kata Dani.
Istri Dani memapahku, anak-anakku mengikuti kami. Mataku menangkap beberapa teman kami, beberapa teman suamiku, saudara-saudaranya. Mereka menatap kami. Beberapa teman suamiku yang aku kenal segera mendekat dan memelukku. Mereka mencoba menenangkanku. Meskipun mereka juga tahu itu akan sia-sia.
Di ruang tengah terbujur 2 orang. Satu suamiku. Satunya lagi tampaknya seorang anak. Entah siapa.
"Ratu, Lintang, Langit, yuk berdoa untuk Bapak. Maafkan Bapak ya. Biar Bapak damai di surga!"
Kutatap wajah beku itu. Pucat pasi. Mas Heri, lelaki yang 20 tahu lalu kupilih untuk menjadi pasangan hidupku. Lelaki yang telah memberiku 3 orang gadis yang teramat hebat. Lelaki yang telah dengan sabar menapaki hidup rumah tangga kami. Tak putus asa berusaha membangun rumah tangga. Mengumpulkan sedikit demi sedikit. Membuatkan kami rumah yang nyaman dan menyenangkan. Memberikan kebebasan kepadaku untuk ikut bekerja.
Kami sedang menikmati buah atas kerja keras kami. Anak-anak mulai remaja. Semua sudah tertata ketika prahara itu datang. Suamiku tergoda seorang perempuan muda. Ketika posisi dan jabatan penting disandangnya, ternyata dia tak bisa menahan untuk tetap setia. Alasan-alasan gak masuk akal bermunculan. Aku menangis mendengar pengakuan jujurnya.
Segala cara sudah kulakukan untuk bertahan, namun dia tidak bergeming. Bahkan dia gugat pernikahan kami. Selama 3 bulan aku wara wiri ke Pengadilan Negara. Tak berhasil menahannya untuk menyerah dan kembali menata semuanya. Mas Heri naik banding bahkan sampai ke MK namun tetap, gagal.
Air meleleh lagi membasahi pipiku. Aku menatap bocah kecil yang terbaring di sebelah suamiku.
"Anakmukah itu Mas?" tanyaku dalam hati.
"Anak Mas Heri Mbak Wik. Mbak Ayun juga meninggal tapi dimakamkan di Surabaya." Dani sudah disebelahku memberi jawab atas tanyaku.
Sudah jelas kini mas. Kamu melanggar keputusan hukum. Dan Pelanggaranmu menghasilkan seorang anak laki-laki itu. Aku masih duduk bersila di sudut rumah-ku sendiri. Ini adalah malam 7 hari suamiku. Orang-orang masih berkumpul. Teman-teman suamiku belum juga pulang.
Hilmi, yang selama ini menjadi penghubung antara aku dan suamiku mendekat.
"Mbak, sabar ya." Katanya.
Tiba-tiba dia menyodorkan hp dan menunjukkan sebuah status. Aku menatapnya.
"Ini status mbak Wik 1 minggu sebelum kejadian. Waktu itu aku sampai menanyakan ke Mbak Wik, dimana itu terjadi. Tetapi Mbak Wik bilang itu khayalan."
"Tidak hanya kamu Hil. Banyak yang koment status itu."
"Dan, kini menjadi nyata mbak...."
"Karma akan mencari jalannya, Hil." Jawabku dalam tanya besar. Aku menuliskan sebuah kejadian yang seminggu kemudian menimpa suamiku beserta istri dan anaknya. Entahlah. (Mei 2019)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H