"Ratu... bapakmu?" tanyaku pada mbarepku.
"Lintang, Langit ...." Kupanggil satu persatu buah hati kami. Dan kami menangis bersama. Kupeluk mereka bertiga. Tak pernah kubayangkan akan berujung begini.
Terdengar pintu kamar diketuk seseorang. Dani dan istrinya masuk ke dalam kamar. Wajah sembab mereka membuatku kembali tersedu.
"Mbak Wik, mau lihat mas Heri." Kata Dani.
Istri Dani memapahku, anak-anakku mengikuti kami. Mataku menangkap beberapa teman kami, beberapa teman suamiku, saudara-saudaranya. Mereka menatap kami. Beberapa teman suamiku yang aku kenal segera mendekat dan memelukku. Mereka mencoba menenangkanku. Meskipun mereka juga tahu itu akan sia-sia.
Di ruang tengah terbujur 2 orang. Satu suamiku. Satunya lagi tampaknya seorang anak. Entah siapa.
"Ratu, Lintang, Langit, yuk berdoa untuk Bapak. Maafkan Bapak ya. Biar Bapak damai di surga!"
Kutatap wajah beku itu. Pucat pasi. Mas Heri, lelaki yang 20 tahu lalu kupilih untuk menjadi pasangan hidupku. Lelaki yang telah memberiku 3 orang gadis yang teramat hebat. Lelaki yang telah dengan sabar menapaki hidup rumah tangga kami. Tak putus asa berusaha membangun rumah tangga. Mengumpulkan sedikit demi sedikit. Membuatkan kami rumah yang nyaman dan menyenangkan. Memberikan kebebasan kepadaku untuk ikut bekerja.
Kami sedang menikmati buah atas kerja keras kami. Anak-anak mulai remaja. Semua sudah tertata ketika prahara itu datang. Suamiku tergoda seorang perempuan muda. Ketika posisi dan jabatan penting disandangnya, ternyata dia tak bisa menahan untuk tetap setia. Alasan-alasan gak masuk akal bermunculan. Aku menangis mendengar pengakuan jujurnya.
Segala cara sudah kulakukan untuk bertahan, namun dia tidak bergeming. Bahkan dia gugat pernikahan kami. Selama 3 bulan aku wara wiri ke Pengadilan Negara. Tak berhasil menahannya untuk menyerah dan kembali menata semuanya. Mas Heri naik banding bahkan sampai ke MK namun tetap, gagal.
Air meleleh lagi membasahi pipiku. Aku menatap bocah kecil yang terbaring di sebelah suamiku.