"Jadi kalau Pak Lil ngantuk ya minggir saja. Kita cari warung atau caf atau minimarket plus, trus istirahat disitu Pak Lil." Kata mbarepku. Dia paling sayang dengan Pak Jalil dan keluarganya.
"Hahaha, apa Mbak Ratu sudah pengen ngopi." Tanya Pak Jalil pada Ratu, mbarepku yang hobi makan dan minum kopi.
"Kalau itu sih tergantung Bunda permaisuri Pak Lil." Jawab Ratu. Semua lantas tertawa. Tawa kami rupanya terlalu keras sehingga membuat si kecil membuka mata, namun hanya sebentar dan terlelap lagi.
Mobil mulai berbelok ke sebuah gang kecil. Perlahan lajunya karena memang gangnya sempit dan kendaraan yang lewat lumayan rame.
"Ibu sudah beli bunga?" Tanya Pak Jalil kepadaku.
"Belum. Biasanya di pintu gerbang makan banya orang berjualan. Nanti beli disitu saja." Kataku sambil membetulkan letak tidur si kecil.
"Baik Bu." Jawab Pak Jalil sambil terus melajukan mobil.
Pak Jalil, lelaki muda yang rela mengabdikan diri padaku. Tepatnya pada kami. Sejak anak-anak sekolah, dia sudah membantu kami mengurus anak-anak. Istrinya membantuku menyelessaikan pekerjaan di rumah. Pak Jalil bagian antar jempur anak-anak ke sekolah. Dulu dia menggunakan becak untuk antar jemput anak-anak. Dan ketika kami memiliki mobil, Pak Jalil kami kursuskan nyetir. Sekarang dia menjadi sopir andalanku. Kemanapun kami pergi bersama-sama selalu Pak Jalil yang mengantar.
"Bu, itu banyak penjual bunga." Katanya membuyarkan lamunanku.
"Kamu belikan Pak, 10 bugkus ya." Kataku sambil menyerahkan selembar lima puluh ribuan. Sebentar kemudian Pak Jalil sudah masuk kembali ke mobil dan membawanya bergerak menuju pemakaman umum tempat mertuaku dimakamkan.
Pemakaman umum itu sudah mulai ramai. Mendekati lebaran selalu banyak yang mengirim doa ke makam. Kami turun. Si kecil digendong belakang oleh Pak Jalil. Bunga tabur ditenteng anak-anakku. Kami berjalan menuju tempat mama dan papa mertuaku dimakamkan.