Menurut Hearson (2016) negosiasi dalam perjanjian perpajakan sangat dibutuhkan oleh negara berkembang karena melibatkan pendapatan kedaulatan atau negara. Disini dapat diambil makna bahwa inovasi tehnologi dan perkembangan informasi global sebagai tolak ukur negara-negara maju dalam menerima negosiasi perjanjian perpajakan.Â
Pendapatan yang diperoleh dari data kinerja pajak adanya ketergantungan perpajakan terhadap pendapatan perusahaan di negara pengimport modal atau negara sumber.Â
Negara maju atau negara domisili atau disebut juga dengan pengeksport modal memiliki kecenderungan bersikap subjective dengan memandang tingkat efektifitas perpajakan di negara berkembang. Seperti Indonesia untuk rasio pajak masih rendah dibawah standar atau dibawah 15% sampai dengan 17% dan belum maksimal sehingga dipandang tidak adanya kepatuhan pajak di diri Wajib Pajak di Indonesia.
Ada rasa skeptisisme yang berkembang mengenai keefektifannya terutama dalam beberapa tahun terakhir (Kysar,2019; Brooks dan Krever, 2015). Model dikembangkan ketika transaksi international telah berubah secara signifikan dan dalam menghadapi percepatan globalisasi dan digitalisasi, peran perusahaan multinasional yang tumbuh dan menjamur di berbagai belahan dunia mendapatkan dampak positifnya.
OECD atau Organization economic Cooperation Development dibawah G20 turut andil dalam menengahi masalah perpajakan dengan menerbitkan Undang-Undang Harmonisasi. UU ini lebih menekankan pada mengatasi tantangan atas penghindaran pajak. Salah satu implementasi dari UU tersebut yang ada di Indonesia adalah PMK no.35 / PMK.03/ 2019 tentang penentuan BUT, antara lain;
1. Orang asing tinggal kurang dari 183 hari tidak dikenai pertanggungjwaban atas kewajiban perpajakannya.
2. Badan Asing yang tidak didirikan di negara Indonesia
3. Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda dikhususkan antara pemerintahan Indonesia dengan pemerintahan asing atau negara lain atau yurisdiksi mitra untuk mencegah pengenaan pajak berganda.
Pada point pertama diharapkan Undang-Undang No.36 tahun 2008 tentang Pajak Penghasilan pasl 26 berlaku pada orang asing sebagai tamu atau konsultan di sebuah lembaga atau perusahaan dari penghasilan yang diperoleh.Â
Sehingga efektivitas Pajak Penghasilan dipergunakan dengan baik. Point kedua dengan adanya pelarangan Badan Asing didirikan di Indonesia menurunkan fungsi Badan Koordinasi Penanaman Modal Asing Indonesia yang sebenarnya membantu dalam menjaga penertiban arus masuk dan keluar investasi asing atau lebih terkendali.Â
Point ketiga disini ada campur tangan OECD dalam menerapkan prinsip-prinsipnya seperti: tariff pemotongan pajak, adanya consensus atas penghapusan selisih pajak berganda dengan memberikan insentif berupa jaminan, pension, gaji dan tunjangan kepada penduduk dari negara sumber.Â