Mohon tunggu...
Neng Yayas Ismayati
Neng Yayas Ismayati Mohon Tunggu... Guru - Menulis, menjejakkan sejarah

Seorang Ibu Guru Penulis

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Mami adalah Ibuku

24 Januari 2019   11:14 Diperbarui: 24 Januari 2019   14:46 37
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

"Serius, Mam? Ok!" Aku melonjak sambil menyambar handuk dan berlari ke kamar mandi.

***

Sejak kecil aku punya kebiasaan menyendiri. Tak ingin rasanya ada orang lain di sekitarku. Hanya ada aku. Apalagi jika Mami tak ada, puaslah aku dengan duniaku. Tak banyak yang kulakukan. Hanya ada aku, dan buku bacaan. Mami menyimpan setampuk buku cerita di meja belajarku. Oleh-oleh yang Mami bawakan untukku setiap kali dari luar kota adalah buku bacaan. Oleh-oleh lain hanya pelengkap. Maka benda yang rutin bertambah kapan saja adalah koleksi bacaanku. Hingga suatu saat aku sendirian dan  kehabisan bahan baca, kumasuki ruang kerja Mami yang berdekatan dengan kamarku.

            Berjinjit kubuka pelan pintu ruang kerja Mami. Sebelum ini, aku tak pernah sendirian masuk ruangan ini. Mami selalu mengajak aku kalau memang diperlukan di ruangan ini. Kutangkap satu set meja kerja yang mengkilap, buku kerja Mami yang sengaja ditinggalkan di atas meja. Yang paling menarik perhatianku adalah keempat dinding ruangan ini tertutup rak buku tinggi sampai ke langit-langit yang selama ini tak pernah masuk ke dalam perhatianku. Reflek tanganku menyusuri barisan buku yang tertata rapi dan bebas dari debu, yang menunjukkan pemilik nya begitu perhatian dan menyayangi koleksinya.

            Satu persatu kubaca judul buku-buku itu. Tentu saja aku hanya bisa menelusurinya sampai batas kepalaku. Aku yakin buku-buku itu Mami koleksi bertahun-tahun. Tapi baru sekarang aku menyadari dari siapa kebiasaan aku terwarisi. Ruang kerja Mami tak begitu besar juga tak begitu kecil. Bagi aku, ruangan ini menyenangkan. Isinya hanya buku, buku, dan buku. Tak ada hiasan dinding, bunga, atau pajangan lain. Hanya ada satu foto berbingkai indah di atas meja, didalamnya ada aku yang tertawa riang di atas punggung Mami. Aku tak ingat lagi kapan gambar itu diambil, yang jelas di suatu pantai.

            Aku tersenyum sendiri menatap gambar kami. Kebahagiaan terpancar di bening mata Mami. Kalau mataku? Jangan tanya! Kebahagiaan aku adalah selalu dekat dan penuh dekapan Mami. Namun, tiba-tiba ada yang tersentak dalam benakku. Sakit. Selama ini aku tak pernah menyadari bahwa seharusnya ada orang ketiga di antara kami. Ya...benar. Aku sering melihat teman-temanku yang diantar atau dijemput oleh seorang laki-laki yang mereka panggil ayah, bapak, papah, atau papi. Sedangkan aku? Hanya ada aku dan Mami.

Bingkai foto kami kuletakkan kembali pelan-pelan di atas meja kerja Mami. Air mataku mengiringinya.

***

"Apa yang ingin kamu tanyakan, Sayang?" Tanya Mami sambil menatap lembut suatu hari saat rasa ingin tahuku memuncak.

"Mam, kenapa aku tak seperti Lena, Silmi, Veni, atau Cinta, yang pernah ditemani ayah mereka pada acara kenaikan kelas?" tanyaku hati-hati.

Mami diam.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun