Kabut masih menyelimuti Gunung Sumbing, ketika Surti beranjak dari amben bambu tempat ia menikmati mimpinya semalam. Segera menjerang air. Seperti biasanya, Surti mandi pagi dengan air hangat. Kebiasaan itu baru berjalan sekitar tiga tahun lalu sejak Surti laris sebagai penari lengger.
Begitu tiap pagi ia lakukan. Seolah kini sudah menjadi suatu keharusan. Padahal sewaktu masih sekolah dulu, ia paling benci bila gurunya menyuruh untuk selalu mandi pagi sebelum ke sekolah.
"Sur, jadi tidak nanti malam menari di Pulosaren?" tanya ayah Surti setelah menikmati teh buatan anak semata wayangnya.
"Jadi, Pak!" jawab Surti dari dalam kamarnya.
"Jono sudah diberi tahu?"
"Sudah, Pak!"
Tak ada lagi pertanyaan dari Pak Marto, ayah Surti. Â Surti sedang merias diri di kamarnya. Kini ia terbiasa dengan berbagai kosmetik untuk menjaga kecantikan wajahnya berbeda dengan tetangganya yang masih gadis, mereka hanya merias diri bila akan ke pasar atau menonton kesenian. Untuk ke ladang mereka cukup cuci muka, tak perlu mandi pagi. Mereka sudah akrab dengan kebiasaan itu. Namun Surti memang beda, dia sangat rajin merawat tubuhnya agar selalu kelihatan bersih, semakin cantik dan menarik.
***
Matahari di batas langit. Jono sudah berada di rumah Surti untuk mengantar ke Pulosaren. Bukan saudara, bukan famili, juga bukan pacar Surti. Namun dari sekian banyak pemuda di desanya, hanya Jono yang dipercaya Pak Marto untuk mengantar Surti ke mana dia ditanggap.
Baru selepas isya' mereka berangkat ke Pulosaren. Motor tua Jono mulai bergerak melintasi jalan berbatu. Lampu motornya tak mampu menembus kabut yang mulai berarak menuju puncak Sumbing. Hal itu membuat Jono memperlambat laju motornya.
Surti mendekap tubuh Jono sambil memegangi tas pakaiannya. Dengan demikian, Surti merasa lebih hangat. Jono tak memberi reaksi apa pun atas ulah Surti. Dia merasa sudah biasa, karena tidak hanya baru sekali itu. Namun setiap Surti berada di boncengan motornya. Setiap pergi dan pulang menari. Jono hanya menjalankan tugas yang dipercayakan Pak Marto kepadanya. Menjaga Surti, penari lengger yang mulai naik daun di kawasan lereng gunung Sumbing.
Sesampai di rumah orang yang menyeleng-garakan 'lenggeran', Surti segera disambut oleh tuan rumah dan orang-orang yang hadir di situ. Jono membawakan tas pakaian Surti dan mengikuti di belakangnya. Di sekitar panggung para pemuda memanggil-manggil nama Surti sambil melambai-kan tangan. Surti pun membalas lambaian mereka. Surti benar-benar bagai artis ibukota yang sedang berkunjung ke desa. Segera Surti dan Jono dipersilakan masuk ke ruang tamu yang di sana sudah tersaji berbagai hidangan, tentu saja hidangan khas pegunungan.
Malam merambat semakin gelap dan dingin. Para penonton sudah berjubel. Berdesak-desakkan memadati sekitar panggung. Tua dan muda, laki-laki dan perempuan hingga anak-anak ingusan pun turut berdesakan. Tujuan mereka sama, ingin menikmati lengger yang ditampilkan oleh para penari yang cantik-cantik, terlebih salah satu penari itu adalah idola mereka, Surti sang primadona lengger saat ini.
Gamelan segera mengalun, kendang pun menyentak bertalu-talu. Para penari mulai tampil di pentas bergantian. Malam ini benar-benar istimewa, karena yang punya hajat mendatangkan empat penari sekaligus, termasuk Surti.
Satu, dua, tiga penari sudah tampil berturut-turut dan sangat memikat penonton. Lenggang tubuh gemulai membuat penonton betah berdiri di sekitar panggung.
"Ayo, Surti ... naik!" teriak seorang penonton seakan tak sabar.
"Ya, ayo Sur!" yang lain menimpali.
Jarum jam menunjukkan pukul setengah dua belas malam. Kabut mulai menusuk-nusuk kulit dan tulang. Namun tak membuat penonton meninggalkan tempat, justru mereka kelihatan gerah. Gerah karena tak sabar ingin segera melihat gemulai tubuh Surti menarikan lengger. Bahkan kalau untung mereka dapat menari berdua di atas panggung dengan sang idola.
Hentakan kendang mengawali tampilnya sang primadona lengger. Riuh penonton menyambut dengan siulan-siulan panjang, tepuk tangan, dan teriakan-teriakan memuji.
Sementara Jono justru mulai merebahkan tubuhnya di ranjang tempat Surti ganti pakaian. Jono tahu, paling tidak Surti akan tampil sekitar dua jam di panggung. Jadi dia bisa istirahat sambil menunggu Surti turun dari panggung.
***
Jono tersentak ketika Surti membangunkan tidurnya. Matahari telah bertengger di langit timur, tepat di punggung Merapi. Jono segera meninggalkan ruangan dan mencuci mukanya. Bingung sekali dia. Baru kali ini dia terlelap sampai pagi. Biasanya dia terbangun saat Surti turun dari panggung.
"Kenapa bisa jadi begini?" tanyanya dalam hati.
Berkali-kali Jono mengumpat diri sendiri. Kata-kata kesal meluncur dari mulutnya yang belum sempat gosok gigi.
"Bagaimana Sur, kita kesiangan?"
"Tak apa Kang. Aku juga kesiangan kok," jawab Surti sembari mengemasi pakaian.
"Kenapa bisa begitu?"
"Mbohlah, Kang," jawab Surti datar.
Jono semakin bingung. Biasanya Surti turun panggung terus membangunkannya. Tapi kali ini tidak. Surti pun kelihatannya tak terlalu resah karena kesiangan. Tapi Jono tak begitu mempedulikan hal itu. Meskipun dari roman muka Surti, Jono melihat ada suatu ketidakberesan. Entah perasaan apa yang ada di hati Surti. Kali ini ia tidak berbagi rasa dengan Jono, ia simpan sendiri perasaan di hatinya.
***
"Apa?"
"Betul Kang Jono, Surti hamil!"
Bagai petir yang menyambar, berita yang didengar Jono dari mulut Suli, adik kandungnya.
"Kamu mendengar dari siapa, Suli?"
"Ya dari orang-orang. Bahkan mereka ngrasani bahwa kamu yang menghamili Surti, Kang."
"Edan!"
"Siapa Kang?"
"Semuanya!"
"Aku?"
"Mboh!" kata Jono sembari menunjuk jidat Suli.
Semakin hari kian ramai orang membicarakan sang primadona lengger yang kini hamil meski belum menikah. Jono dibuat pusing. Dia benar-benar tak melakukan perbuatan tercela itu, tapi orang-orang kampung menuduh dia yang melakukannya.
"Saya bersumpah Pak. Saya tidak melakukannya," kata Jono kepada Pak Marto.
Sore itu Jono memang sedang diinterogasi oleh Pak Marto di hadapan Surti. Hanya ada tiga orang di ruang tamu itu. Pak Marto, Surti, dan Jono. Sementara Bu Marto sedang sibuk di dapur.
"Bukan siapa-siapa, Pak. Saya juga tidak tahu," jawab Surti ketika ditanya ayahnya untuk yang kesekian kalinya.
"Aneh! Mosok kamu sendiri tidak tahu? Jono bukan, orang lain bukan. Lalu siapa Sur? Siapa?"Â
Pak Marto duduk lemas, sementara Surti tetap diam membisu. Hanya air matanya yang jatuh satu-satu. Sesekali hidungnya diusap dengan sapu tangan.
Pak Marto lemas, Jono lemas. Surti bingung karena dia sendiri tidak tahu  siapa yang menodainya.
"Begini Jono," tiba-tiba Pak Marto berkata memecah kebisuan.
"Bagaimana, Pak?"
"Demi nama baik kita bersama. Maukah kamu menikah dengan Surti?"
Jono diam. Sulit mulutnya untuk menjawab tawaran Pak Marto. Dia tidak mencintai Surti, pun sebaliknya. Selama ini, Surti dan Pak Marto adalah majikannya. Dia menerima upah dari pekerjaannya membantu keluarga Pak Marto, baik di ladang maupun mengawal Surti setiap kali ditanggap menari. Sementara Jono juga tidak mau namanya tercemar gara-gara Surti hamil di luar nikah. Sungguh sebuah pilihan yang sulit baginya. Ia tak kuasa menepis tuduhan orang-orang di kampungnya.
"Siapa lagi kalau bukan Jono? Bukankah dia yang paling dekat dengan keluarga Surti?" Paling-paling begitu kata mereka.
***
Akhirnya terwujud juga kesepakatan antara keluarga Pak Marto dengan Jono. Jono menikah dengan Surti. Pernikahan mereka tidak dirayakan. Hanya selamatan secara sederhana. Surti begitu gembira, karena bayi yang dikandungnya bakal memiliki ayah. Sebaliknya Jono justru menanggung beban berat. Mau tak mau dia harus menjadi ayah dari bayi yang dikandung Surti, meskipun tidak ada yang tahu benih siapa yang tumbuh di perut Surti.
Sebulan sudah berlalu sejak pernikahan mereka. Namun Jono belum bisa menerima Surti sepenuhnya sebelum tahu siapa sesungguhnya laki-laki yang menghamili Surti. Sejak pernikahan mereka tetap hidup terpisah. Jono pun masih menganggap Surti sebagai majikannya, bahkan Jono masih tetap bekerja seperti biasanya.
"Sur, tolong katakan siapa yang telah berani berbuat padamu?"
Yang ditanya tetap diam. Namun setelah didesak dengan berbagai pertanyaan, Surti menceritakan apa yang pernah dialaminya.
"Begini Kang, ketika di Pulosaren dan kita bangun kesiangan itu mungkin kejadiannya, Kang."
"Jadi Pak Noto atau si Gento?"
"Aku tidak tahu persis, Kang."
"Tak tahu bagaimana? Bukankah yang nanggap Pak Noto? Bukankah si Gento itu anaknya?"
"Iya, tapi ...."
"Tapi apa Su?"
"Selesai menari, aku ganti pakaian. Aku lihat Kang Jono begitu pulas tidurnya. Belum sempat aku membangunkan Kang Jono untuk pulang, Gento memanggilku dan mengajak ngobrol sambil minum teh hangat. Tak berapa lama kepalaku pening dan aku tak ingat apa-apa. Ketika terjaga, tahu-tahu sudah siang dan aku membangunkan Kang Jono," papar Surti.
"Waktu bangun kamu tak merasakan apa-apa?"
"Tidak, Kang."
Jono manggut-manggut. Entah mengerti siapa pelakunya atau malah tambah bingung.
"Aku hanya merasakan badan ini ringan sekali. Aku merasa seolah-olah terbang ke langit, Kang," kata Surti kemudian.
"Ya, Tuhan!"
"Kenapa, Kang?"
"Kamu telah diberi obat tidur oleh Gento, dan ketika kamu setengah sadar Gento telah berbuat tak senonoh kepadamu Surti!"
"Jadi yang menghamili aku, Gento, Kang?"
"Siapa lagi? Gento sudah kondang gendheng. Memang dia anak Pak Noto yang kaya dan terhormat itu. Namun kelakuannya sama sekali tak mencerminkan sebagai pemuda desa yang ramah dan memiliki rasa hormat. Dasar Gento!" umpat Jono.
"Apakah Kang Jono akan membalasnya?"
"Tidak, Sur! Percuma saja. Paling dia akan mengelak. Karena dia paling pintar untuk memutarbalikkan persoalan."
***
Kini terjawab sudah teka-teki sang penari lengger selama ini. Betapa lugunya gadis itu. Saking lugunya, sampai-sampai dia tidak tahu siapa yang menghamilinya. Betapa malang nasib sang primadona lengger lereng Sumbing ini. Kini dia menanggung beban yang mestinya dia belum siap. Kini hanya kepada Jono dia berharap dapat melindunginya dan menjadi ayah dari bayi yang ada di perutnya.
Praktis, sejak Surti hamil order menarinya berhenti. Tak ada yang mau nanggap. Kalau pun ada, Jono melarangnya menerima tanggapan.
"Biarlah yang lain yang menggantikanmu, Sur. Di lereng Sumbing ini masih banyak penari sepertimu. Berilah mereka kesempatan untuk menjadi terkenal dalam melestarikan kesenian kita," kata Jono kepada Surti.
"Iya, Kang. Biar lengger tetap lestari. Â Tapi Kang, aku berharap jangan mereka seperti aku," kata Surti sambil merebahkan kepalanya di pelukan Jono.
Berkat keterusterangan Surti, kini sesuatu yang mengganjal di hati Jono sirna sudah. Hingga Jono membiarkan Surti bersandar di pelukannya. Jono memaklumi, bahwa kejadian itu karena 'kecelakaan' akibat keluguan Surti sebagai anak dusun yang hanya tamat SD. Kini perasaan antara majikan dan buruh di hati Jono telah hilang. Kini dia melihat Surti sebagai istrinya yang wajib dia cintai dan dia lindungi. (*)
Â
Gunung Sumbing Agustus 2019
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H