"Bukan siapa-siapa, Pak. Saya juga tidak tahu," jawab Surti ketika ditanya ayahnya untuk yang kesekian kalinya.
"Aneh! Mosok kamu sendiri tidak tahu? Jono bukan, orang lain bukan. Lalu siapa Sur? Siapa?"Â
Pak Marto duduk lemas, sementara Surti tetap diam membisu. Hanya air matanya yang jatuh satu-satu. Sesekali hidungnya diusap dengan sapu tangan.
Pak Marto lemas, Jono lemas. Surti bingung karena dia sendiri tidak tahu  siapa yang menodainya.
"Begini Jono," tiba-tiba Pak Marto berkata memecah kebisuan.
"Bagaimana, Pak?"
"Demi nama baik kita bersama. Maukah kamu menikah dengan Surti?"
Jono diam. Sulit mulutnya untuk menjawab tawaran Pak Marto. Dia tidak mencintai Surti, pun sebaliknya. Selama ini, Surti dan Pak Marto adalah majikannya. Dia menerima upah dari pekerjaannya membantu keluarga Pak Marto, baik di ladang maupun mengawal Surti setiap kali ditanggap menari. Sementara Jono juga tidak mau namanya tercemar gara-gara Surti hamil di luar nikah. Sungguh sebuah pilihan yang sulit baginya. Ia tak kuasa menepis tuduhan orang-orang di kampungnya.
"Siapa lagi kalau bukan Jono? Bukankah dia yang paling dekat dengan keluarga Surti?" Paling-paling begitu kata mereka.
***
Akhirnya terwujud juga kesepakatan antara keluarga Pak Marto dengan Jono. Jono menikah dengan Surti. Pernikahan mereka tidak dirayakan. Hanya selamatan secara sederhana. Surti begitu gembira, karena bayi yang dikandungnya bakal memiliki ayah. Sebaliknya Jono justru menanggung beban berat. Mau tak mau dia harus menjadi ayah dari bayi yang dikandung Surti, meskipun tidak ada yang tahu benih siapa yang tumbuh di perut Surti.