Mohon tunggu...
Naraya Syifah
Naraya Syifah Mohon Tunggu... Penulis - Perempuan Penggembala Sajak

Tidak ada yang istimewa dari Naraya Syifah, ia hanya seorang gadis kampung yang sederhana, putri sulung dari keluarga sederhana yang disimpan banyak harapan di pundaknnya. Ia memiliki kepribadian mengumpulkan sajak di pelataran rumahnya. Pernah tergabung dalam beberapa komunitas literasi dan alhamdullilah saat ini sebagai penggerak literasi di kabupaten Subang. Ia menjalankan komunitas Pena Cita bersama teman-teman sehobinya. Kecintaannya pada literasi menghantarkannya sampai di sini. Semoga awal yang baru ini dapat lebih mengembangkan tulisannya dan merubah hidupnya. Selain menulis ia juga tergila-gila dengan K-drama yang dapat menginspirasi nya dalam menulis.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Kado Terindah Bima

26 Juni 2022   18:54 Diperbarui: 26 Juni 2022   19:24 428
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
ilustrasi gambar: pinterest

Kedua pasang kaki telanjang itu bergerak dengan kecepatan cahaya di atas aspal bak sedang maraton. Bajunya yang compang-camping didapatinya hasil memulung pada tumpukan sampah yang mereka temui. 

Penampilannya yang semrawut, kumel dan dekil acap kali menjadi tontonan mata orang-orang penghuni jalan. Bahkan sering kali dianggap tidak waras.

"Adit capek, kak ...." ujar Adit dengan napas terengah-engah.

"Ayo, mereka sudah dekat!"

Bocah lelaki berumur 10 tahun itu menambah kecepatan berlarinya tanpa melepaskan cengkeramannya dari tangan Adit. Ia tidak mau keduanya ditangkap oleh para mafia jalanan. Mereka akan disekap dan dijadikan budak.

"Di situ ada pohon besar. Ayo, kita sembunyi di sana!" Adit mengangguk lemas.

Mereka bersembunyi di balik pohon, sementara di bawahnya terdapat sebuah jurang dengan bebatuan besar dan tajam. Selangkah saja Bimo dan Adit mundur, maka keduanya akan terjatuh ke dalam lubang jurang yang menganga itu.

"Shit! Kemana larinya bocah-bocah itu?"

Terdengar dengusan kesal dari seorang lelaki berambut gondrong berbadan kekar dengan kalung yang bertengger pada lehernya. Kulitnya yang gelap juga kedua matanya yang besar semakin menambah kebengisannya.

"Semua ini gara-gara kalian yang nggak becus kerja!" umpatnya lagi.

"Bos, sepertinya mereka bersembunyi di balik pohon besar itu."

Udin tertawa terbahak-bahak dengan nada mengejek. Dia menyentil kepala Ucup dengan kasar, "Dasar bego! Sudah tau di dekat pohon itu ada jurang. Mau nyari mati, lo...?"

"Kalian memang sama-sama bego! Ngurusin anak kecil aja nggak bisa!"

Lelaki gondrong itu melengos pergi meninggalkan kedua anak buahnya yang kemudian menyusul dari belakang.

Setelah merasa aman, Bimo memberanikan diri mengintip dari balik pohon. Akhirnya Bimo bisa bernapas lega setelah mengamati sekitar dan tak menemukan mereka di sini.

"Dit, kita selamat. Ayo, kita pergi dari sini!" Hening, tak ada jawaban.

Bimo tersentak kaget saat kedua kelopak matanya tak menemukan batang hidung Adit di sisinya. Dia mengedarkan pandangannya ke seluruh tempat,  namun tidak juga menemukan adiknya.

Tubuh ringkih itu terus berjalan di atas trotoar jalan. Ia tidak mempedulikan perutnya yang keroncongan karena belum terisi apapun sejak pagi. Hingga ekor matanya menangkap tubuh Adit di pinggir jalan dekat sebuah warung kecil. Tepatnya di depan sebuah tong sampah. Adit seperti tengah mencari sesuatu di sana. Lalu ia bergegas menemuinya.

Kedua matanya berbinar saat Adit menemukan apa yang  ia cari sedari tadi. Roti itu masih tersisa setengah. Lumayan, bisa mengganjal perut laparnya. Kejadian seperti ini sangat jarang ia temukan. Mereka lebih sering menahan lapar hingga petang kemudian tertidur di rumah kecilnya sampai pagi.

Adit membagi dua bagian sisa roti itu dan memberikannya kepada Bimo.

"Kakak tidak lapar. Buat kamu saja," jawab Bimo.

Bimo bukannya tidak lapar, ia hanya tidak ingin melihat adiknya lebih kelaparan. Sesekali Bimo mengusap perutnya yang melilit begitu perih seakan meringkus seluruh jantungnya.

Adit menghabiskan sepotong rotinya dengan lahap. Belum sampai satu menit, semua roti-roti itu sudah berkumpul di kerongkongannya.

Si jangkung sakti kini telah berubah menjadi merah. Bimo dan Adit bersegera melakukan aksinya. Mereka menghampiri kuda-kuda mewah yang sejenak mengistirahatkan dirinya dari kemacetan. Mereka mulai berceloteh dengan kedua bibirnya,  lewat lagu andalan mereka yang berjudul Ayah. 

Meskipun mereka tidak tau, di mana ayahnya saat ini. Mereka hanya hidup bertiga di jalanan, bersama seorang wanita tua yang mengaku sebagai ibunya. Namun setahun yang lalu, wanita tua itu pun pergi meninggalkan mereka untuk selamanya.

Mereka berpindah-pindah tempat dari mobil yang satu ke mobil yang lain. Hanya sepotong lagu yang menjadi mata pencahariannya, diiringi suara musik dari kedua telapak tangan yang saling beradu. Bukan gitar maupun ukulele seperti pengamen-pengamen yang lain.

Bimo tersenyum getir sembari membungkukan badan saat sekeping recehan itu dilemparkan ke hadapannya. Dalam hati ia mengumpat, dasar pelit! Padahal dia hanya meminta kepingan recehan saja.

"Mereka semua pelit-pelit," umpat Adit.
"Sekarang kita tawarkan jasa kita aja."

Adit dan Bimo berjalan menuju terminal. Tempat biasa mereka menawarkan jasa angkutan umum, atau membawakan barang belanjaan orang-orang menuju kendaraan yang ditumpanginya. Itupun sangat jarang keduanya beruntung. Hanya orang-orang berempati tinggi yang akan menolong mereka.

Di tengah jalan, mereka melihat gerombolan anak sekolah sedang berebut angkut. Keduanya ingin sekali memakai seragam itu. Tapi semua itu hanya menjadi mimpi yang mustahil akan sampai.

"Tulisan yang itu bacaannya apa, kak?" tanya Adit menunjuk papan nama yang terpasang di atas dada anak-anak sekolah dasar.

"Kakak tidak tau," jawab Bimo cepat.

"Kalau kakak sekolah pasti kakak tau."

Bimo tak mengindahkan pernyataan adiknya. Ia tetap berjalan di bawah sengatan matahari yang membakar tubuhnya. Kedua matanya menatap lurus ke depan, tangannya mengepal semangat, meski berselimutkan sedikit daging yang menempel pada tulang-tulangnya. 

Langkahnya semakin menyepat, seperti hendak menemui seseorang yang penting di sana. Ia tidak mau terlambat dan mengecewakan orang itu. Namun kali ini, mereka membenci Tuhan-Nya. Tuhan memperlakukannya begitu kejam, tak ada satu pun yang mau memakai jasa mereka.

Bimo mengusap peluh yang mengucur di kedua pelipisnya, perutnya yang lapar tak ia pedulikan. Ia sudah terbiasa berpuasa siang malam.

"Dek, bisa bantu bawain barang belanjaan ibu?" Bimo mengangkat wajahnya. 

Dilihatnya seorang wanita paruh baya tersenyum kepadanya menawarkan bantuan. Dengan bersemangat, Bimo menjalankan titahnya.

"Terima kasih ya, dek. Namanya siapa?"

"Bimo," jawab Bimo ramah. Ia masih mematung mengharapkan imbalan.

"Ini untuk Bimo." Wanita paruh baya itu memberikan selembar uang merah kepadanya.

Bimo mengernyitkan keningnya, ia tidak pernah menyentuh uang seperti itu. Hanya melihat di warung-warung atau toko-toko kelontong tempat biasa ia dan adiknya beristirahat sebelum akhirnya mereka diusir oleh pemiliknya.

"Ini terlalu besar bu," tolak Bimo.

"Tidak apa-apa. Besok Ibu ke sini lagi. Bimo bisa bantuin ibu lagi?"

"Bisa bu. Bisa!"

Sepanjang jalan ia tak henti-hentinya tersenyum. Tuhan-Nya tidak jahat seperti apa yang ia pikirkan selama ini.

Bimo membeli beberapa bungkus roti beserta tiga air mineral untuk ia bawa ke rumah kecilnya. Pemilik warung itu tidak percaya bahwa Bimo mampu membayarnya. Namun setelah Bimo memamerkan uang seratus ribu, pemilik warung itu baru memberikan pesanan Bimo. Kejamnya, dia mengatakan itu adalah hasil curian. Hidup memang terlalu keras bagi mereka.


****


Bimo dan Adit tiba pada sebuah tempat yang biasa mereka sebut rumah. Rumah itu terbuat dari susunan kardus yang menyerupai gubuk kecil. Sampah adalah kehidupannya. Mereka memang sudah terbiasa hidup dengan sampah, bahkan harus tidur dengannya.

 "Naya lapar, kak ...."

Naya mengucapkannya dengan bibir bergetar. Kedua matanya terpejam. Ia harus menerima kenyataan bahwa ia akan kembali berpuasa malam ini.

"Kakak punya banyak roti. Ayo, bangun!" ucapnya sumringah.

Perlahan Naya membuka kelopak matanya yang pucat, dalam hatinya ia begitu senang meski seluruh tubuhnya terasa sakit.

Keesokan harinya, saat arunika kembali menyapa, menyilaukan mata para puan lewat celah jendela kamarnya. Begitu juga dengan Bimo dan Adit yang mengintip fajar melalui jendela rumahnya. Jendela rumah kardus yang membuatnya terlelap setiap malam, walau tanpa sehelai selimut meliliti tubuh mereka.

"Adik demamnya naik lagi, kak. Wajahnya pucat, tubuh adik terus menggigil."

Bimo harus segera melakukan sesuatu. Ia teringat akan perkataan wanita paruh baya yang menolongnya kemarin. Sekarang, ia akan menunggunya kembali.

"Adit di sini jagain adik, ya? Kakak cari uang buat bawa adik ke dokter." Adit mengangguk tanda mengerti.

Dari terbit fajar hingga matahari telah kembali ke peraduannya, Bimo masih berdiri di trotoar jalan memegang beberapa keping recehan yang ia dapatkan. Kedua matanya memutar ke seluruh penjuru jalan, mencari seseorang yang sedari tadi ia tunggu.

Semburat langit merah muda kini telah berganti menjadi hitam pekat, pertanda malam akan segera datang. Dia tidak mungkin terus berdiri di sini, sementara adiknya dalam keadaan tidak baik.

"Mungkin ibu itu tidak akan datang lagi," gumamnya.

Bimo meninggalkan harapannya di trotoar jalan dengan mata berlinang kecewa. Tidak seharusnya dirinya berharap kepada siapapun.

Jalanan sudah mulai renggang, bahkan Bimo bisa dengan leluasa berjalan di tengah jalan jika ia mau. Namun seketika penampakan tiga pasang tubuh kekar berdiri di hadapannya, membuatnya ketakutan. Sorot ketiga pasang mata itu semakin terlihat menyeramkan dalam kegelapan.

Apa yang harus ia lakukan sekarang? 

Bahkan dirinya dikepung dari segala arah. Ketiga mafia itu berusaha untuk menyekapnya kembali. Laki-laki gondrong itu berkata bahwa ia akan membunuhnya dan menjual organ tubuhnya.


Bimo semakin takut, tidak ada seorang pun yang bisa ia mintai pertolongan. Jikalaupun ada, tidak akan ada yang berani menolongnya. Siapa yang mau berurusan dengan tiga mafia kejam itu? Bahkan Bimo menyebutnya pengawal iblis. Mereka hidup di muka bumi ini hanya untuk mencari kekacauan dan menghancurkan banyak orang.

Jika hidupnya harus berakhir saat ini, ia hanya meminta pada Tuhan untuk menyelamatkan kedua adiknya. Dan ia akan pergi dengan tenang menemui ibunya di sana.

Bimo sempat mendengar tawa yang menggelegar memantul ke dalam ruang dengarnya sebelum akhirnya sebilah belati merobek ulu hatinya. Dia sama sekali tidak merasakan sakit, hanya pandangan mata yang perlahan mengabur dan semakin gelap. Bibir yang terkunci dan semua indera yang mendadak tak berfungsi.

Inilah cara Tuhan menolongnya. Setelah ini, dia tidak akan merasa sakit lagi. Dia tidak akan kelaparan lagi. Dia tidak akan lagi menahan marah karena cacian, bahkan sering kali dianggap tidak waras. Dia akan bahagia di sana. Berkumpul dengan ayah dan ibunya yang sudah menantinya di surga.


****


Di tempat lain, bocah tujuh tahun itu menyadari bahwa Bimo belum juga pulang. Adit memutuskan untuk mencarinya dan meninggalkan Naya yang masih terbaring lemah di atas kasur berbahan kardus yang mereka tumpuk.

Adit mendatangi setiap tempat yang biasa ia dan Bimo lalui. Nihil! Ia tak menemukan jejak apapun. Tiba-tiba seorang kakek tua bertubuh tinggi berpakaian serba putih menghampirinya dan mengatakan bahwa kakanya berada di tepi jalan dekat sebuah pohon besar. Adit tak pernah melihat kakek tua itu di sini sebelumnya. Tapi ia tak peduli, ia hanya memikirkan kakaknya.

Adit teringat pada salah satu pohon besar di tepi jurang yang pernah menjadi tempat persembunyian dirinya dan Bimo dari kejaran mafia. Adit menggunakan kecepatan berlarinya, hanya perlu waktu kurang dari tiga menit dia sudah berada di sana. Kedua matanya terbelalak melihat tetesan darah di sekitar pohon. Lalu seketika tubuhnya ambruk memeluk jasad Bimo.

"Kak Bimo jahat...! Kenapa kakak tinggalin Adit...?"

Adit menangis meraung-meraung memeluk jasad Bimo yang sudah terbujur kaku. Bocah kecil itu tidak tau apa yang harus dilakukannya sekarang.

Apakah ia harus mengakhiri hidupnya?

Ia terus menjerit, kedua pipinya semakin memanas dihujam air mata tanpa henti, kerongkongannya memerih, dadanya sesak, seluruh tubuhnya bergetar hebat. Ia tak sanggup membayangkan hidupnya setelah ini.

"Di mana rumahmu, Nak?" tanya seorang wanita paruh baya yang entah sejak kapan bersamanya. Adit merasa tidak asing dengan ibu paruh baya itu.

"Apa kamu mau ikut sama ibu"

Wanita paruh baya itu mengusap puncak kepala Adit dengan lembut. Ia dapat merasakan penderitaannya. Dia masih sangat kecil, tetapi hidup memperlakukannya begitu keras. Wanita paruh baya itu mengutuk dirinya sendiri yang terlambat menemui Bimo. Hingga ia harus bertemu dengan Bimo untuk yang terakhir kalinya.

"Bagaimana dengan adik?" tanya Adit di sela tangisannya.

"Ayo, kita jemput adik kamu!"

Sampailah mereka di rumah kardus tempatnya mengistirahatkan tubuhnya. Wanita itu beberapa kali menghapus bias basah yang terus mengintip pada kelopak matanya. Ia tidak ingin terlihat lemah di depan anak malang itu.

Ia melihat seorang anak perempuan yang ditaksir berumur lima tahun tengah tertidur pulas di atas tumpukan kardus. Ia menghampiri anak perempuan itu dan menyentuh kedua tangannya. Anak perempuan itu begitu cantik walau tubuhnya kurus kering. Ia tersenyum di dalam tidurnya. Mungkin ia sedang bermimpi bertemu dengan kakaknya.

"Sayang, kita pergi berdua saja, ya? Adik sudah tenang bersama kak Bimo."

Wanita itu memeluknya erat. Kali ini, Adit tidak lagi menangis. Adik dan kakaknya telah bahagia di sana. Mereka tidak akan menderita lagi.

Wanita paruh baya itu membawa Adit keluar dari rumah kardusnya, sebelum itu sesuatu menarik perhatiannya. Di atas tumpukan pakaian lusuh yang sudah robek-robek itu terdapat sebuah kantong plastik hitam yang berisi. Ia membukanya dengan tangan gemetar. 

Sepasang sepatu baru, satu buah buku, dan dua buah pensil membuat Adit kembali menangis. Dia selalu iri pada anak-anak lain yang berpakaian seragam. Dia mengubur mimpinya untuk bisa sekolah. Ternyata, kakaknya ingin dia bersekolah seperti anak-anak yang lain. Bimo menyiapkannya diam-diam untuk adiknya dan sebelum malam itu, Bimo berencana memberikannya pada Adit.

Wanita paruh baya itu kembali memeluk Adit. Ia tak mampu lagi menyembunyikan air matanya. Di rumah kardus kecil itu, mereka sama-sama menangis. 

Wanita paruh baya itu berjanji, ia akan mengakhiri penderitaan Adit. Ia tidak akan membiarkan siapapun berani menyentuhnya lagi. Hanya cinta, kasih sayang, dan kebahagiaan yang akan selalu ia berikan kepadanya. Ia tidak akan pernah meninggalkan anak ini.

"Mulai sekarang, Adit tidak akan sedih lagi. Adit akan sekolah, punya banyak teman dan menjadi anak yang pintar."

Adit menatap wanita yang ada di hadapannya itu lekat-lekat, "Adit akan belajar dengan rajin dan jadi orang sukses."

Itulah janji Adit di rumah kardus yang sudah menaunginya selama ini. Untuk kakanya Bimo dan adik perempuannya, Adit berjanji akan hidup sukses sehingga tak ada lagi orang yang berani menyakitinya.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun