"Di mana rumahmu, Nak?" tanya seorang wanita paruh baya yang entah sejak kapan bersamanya. Adit merasa tidak asing dengan ibu paruh baya itu.
"Apa kamu mau ikut sama ibu"
Wanita paruh baya itu mengusap puncak kepala Adit dengan lembut. Ia dapat merasakan penderitaannya. Dia masih sangat kecil, tetapi hidup memperlakukannya begitu keras. Wanita paruh baya itu mengutuk dirinya sendiri yang terlambat menemui Bimo. Hingga ia harus bertemu dengan Bimo untuk yang terakhir kalinya.
"Bagaimana dengan adik?" tanya Adit di sela tangisannya.
"Ayo, kita jemput adik kamu!"
Sampailah mereka di rumah kardus tempatnya mengistirahatkan tubuhnya. Wanita itu beberapa kali menghapus bias basah yang terus mengintip pada kelopak matanya. Ia tidak ingin terlihat lemah di depan anak malang itu.
Ia melihat seorang anak perempuan yang ditaksir berumur lima tahun tengah tertidur pulas di atas tumpukan kardus. Ia menghampiri anak perempuan itu dan menyentuh kedua tangannya. Anak perempuan itu begitu cantik walau tubuhnya kurus kering. Ia tersenyum di dalam tidurnya. Mungkin ia sedang bermimpi bertemu dengan kakaknya.
"Sayang, kita pergi berdua saja, ya? Adik sudah tenang bersama kak Bimo."
Wanita itu memeluknya erat. Kali ini, Adit tidak lagi menangis. Adik dan kakaknya telah bahagia di sana. Mereka tidak akan menderita lagi.
Wanita paruh baya itu membawa Adit keluar dari rumah kardusnya, sebelum itu sesuatu menarik perhatiannya. Di atas tumpukan pakaian lusuh yang sudah robek-robek itu terdapat sebuah kantong plastik hitam yang berisi. Ia membukanya dengan tangan gemetar.Â
Sepasang sepatu baru, satu buah buku, dan dua buah pensil membuat Adit kembali menangis. Dia selalu iri pada anak-anak lain yang berpakaian seragam. Dia mengubur mimpinya untuk bisa sekolah. Ternyata, kakaknya ingin dia bersekolah seperti anak-anak yang lain. Bimo menyiapkannya diam-diam untuk adiknya dan sebelum malam itu, Bimo berencana memberikannya pada Adit.