"Bos, sepertinya mereka bersembunyi di balik pohon besar itu."
Udin tertawa terbahak-bahak dengan nada mengejek. Dia menyentil kepala Ucup dengan kasar, "Dasar bego! Sudah tau di dekat pohon itu ada jurang. Mau nyari mati, lo...?"
"Kalian memang sama-sama bego! Ngurusin anak kecil aja nggak bisa!"
Lelaki gondrong itu melengos pergi meninggalkan kedua anak buahnya yang kemudian menyusul dari belakang.
Setelah merasa aman, Bimo memberanikan diri mengintip dari balik pohon. Akhirnya Bimo bisa bernapas lega setelah mengamati sekitar dan tak menemukan mereka di sini.
"Dit, kita selamat. Ayo, kita pergi dari sini!" Hening, tak ada jawaban.
Bimo tersentak kaget saat kedua kelopak matanya tak menemukan batang hidung Adit di sisinya. Dia mengedarkan pandangannya ke seluruh tempat, Â namun tidak juga menemukan adiknya.
Tubuh ringkih itu terus berjalan di atas trotoar jalan. Ia tidak mempedulikan perutnya yang keroncongan karena belum terisi apapun sejak pagi. Hingga ekor matanya menangkap tubuh Adit di pinggir jalan dekat sebuah warung kecil. Tepatnya di depan sebuah tong sampah. Adit seperti tengah mencari sesuatu di sana. Lalu ia bergegas menemuinya.
Kedua matanya berbinar saat Adit menemukan apa yang  ia cari sedari tadi. Roti itu masih tersisa setengah. Lumayan, bisa mengganjal perut laparnya. Kejadian seperti ini sangat jarang ia temukan. Mereka lebih sering menahan lapar hingga petang kemudian tertidur di rumah kecilnya sampai pagi.
Adit membagi dua bagian sisa roti itu dan memberikannya kepada Bimo.
"Kakak tidak lapar. Buat kamu saja," jawab Bimo.