Mohon tunggu...
Naraya Syifah
Naraya Syifah Mohon Tunggu... Penulis - Perempuan Penggembala Sajak

Tidak ada yang istimewa dari Naraya Syifah, ia hanya seorang gadis kampung yang sederhana, putri sulung dari keluarga sederhana yang disimpan banyak harapan di pundaknnya. Ia memiliki kepribadian mengumpulkan sajak di pelataran rumahnya. Pernah tergabung dalam beberapa komunitas literasi dan alhamdullilah saat ini sebagai penggerak literasi di kabupaten Subang. Ia menjalankan komunitas Pena Cita bersama teman-teman sehobinya. Kecintaannya pada literasi menghantarkannya sampai di sini. Semoga awal yang baru ini dapat lebih mengembangkan tulisannya dan merubah hidupnya. Selain menulis ia juga tergila-gila dengan K-drama yang dapat menginspirasi nya dalam menulis.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Kado Terindah Bima

26 Juni 2022   18:54 Diperbarui: 26 Juni 2022   19:24 428
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
ilustrasi gambar: pinterest

"Kalau kakak sekolah pasti kakak tau."

Bimo tak mengindahkan pernyataan adiknya. Ia tetap berjalan di bawah sengatan matahari yang membakar tubuhnya. Kedua matanya menatap lurus ke depan, tangannya mengepal semangat, meski berselimutkan sedikit daging yang menempel pada tulang-tulangnya. 

Langkahnya semakin menyepat, seperti hendak menemui seseorang yang penting di sana. Ia tidak mau terlambat dan mengecewakan orang itu. Namun kali ini, mereka membenci Tuhan-Nya. Tuhan memperlakukannya begitu kejam, tak ada satu pun yang mau memakai jasa mereka.

Bimo mengusap peluh yang mengucur di kedua pelipisnya, perutnya yang lapar tak ia pedulikan. Ia sudah terbiasa berpuasa siang malam.

"Dek, bisa bantu bawain barang belanjaan ibu?" Bimo mengangkat wajahnya. 

Dilihatnya seorang wanita paruh baya tersenyum kepadanya menawarkan bantuan. Dengan bersemangat, Bimo menjalankan titahnya.

"Terima kasih ya, dek. Namanya siapa?"

"Bimo," jawab Bimo ramah. Ia masih mematung mengharapkan imbalan.

"Ini untuk Bimo." Wanita paruh baya itu memberikan selembar uang merah kepadanya.

Bimo mengernyitkan keningnya, ia tidak pernah menyentuh uang seperti itu. Hanya melihat di warung-warung atau toko-toko kelontong tempat biasa ia dan adiknya beristirahat sebelum akhirnya mereka diusir oleh pemiliknya.

"Ini terlalu besar bu," tolak Bimo.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun