Jika hidupnya harus berakhir saat ini, ia hanya meminta pada Tuhan untuk menyelamatkan kedua adiknya. Dan ia akan pergi dengan tenang menemui ibunya di sana.
Bimo sempat mendengar tawa yang menggelegar memantul ke dalam ruang dengarnya sebelum akhirnya sebilah belati merobek ulu hatinya. Dia sama sekali tidak merasakan sakit, hanya pandangan mata yang perlahan mengabur dan semakin gelap. Bibir yang terkunci dan semua indera yang mendadak tak berfungsi.
Inilah cara Tuhan menolongnya. Setelah ini, dia tidak akan merasa sakit lagi. Dia tidak akan kelaparan lagi. Dia tidak akan lagi menahan marah karena cacian, bahkan sering kali dianggap tidak waras. Dia akan bahagia di sana. Berkumpul dengan ayah dan ibunya yang sudah menantinya di surga.
****
Di tempat lain, bocah tujuh tahun itu menyadari bahwa Bimo belum juga pulang. Adit memutuskan untuk mencarinya dan meninggalkan Naya yang masih terbaring lemah di atas kasur berbahan kardus yang mereka tumpuk.
Adit mendatangi setiap tempat yang biasa ia dan Bimo lalui. Nihil! Ia tak menemukan jejak apapun. Tiba-tiba seorang kakek tua bertubuh tinggi berpakaian serba putih menghampirinya dan mengatakan bahwa kakanya berada di tepi jalan dekat sebuah pohon besar. Adit tak pernah melihat kakek tua itu di sini sebelumnya. Tapi ia tak peduli, ia hanya memikirkan kakaknya.
Adit teringat pada salah satu pohon besar di tepi jurang yang pernah menjadi tempat persembunyian dirinya dan Bimo dari kejaran mafia. Adit menggunakan kecepatan berlarinya, hanya perlu waktu kurang dari tiga menit dia sudah berada di sana. Kedua matanya terbelalak melihat tetesan darah di sekitar pohon. Lalu seketika tubuhnya ambruk memeluk jasad Bimo.
"Kak Bimo jahat...! Kenapa kakak tinggalin Adit...?"
Adit menangis meraung-meraung memeluk jasad Bimo yang sudah terbujur kaku. Bocah kecil itu tidak tau apa yang harus dilakukannya sekarang.
Apakah ia harus mengakhiri hidupnya?
Ia terus menjerit, kedua pipinya semakin memanas dihujam air mata tanpa henti, kerongkongannya memerih, dadanya sesak, seluruh tubuhnya bergetar hebat. Ia tak sanggup membayangkan hidupnya setelah ini.