"Tidak apa-apa. Besok Ibu ke sini lagi. Bimo bisa bantuin ibu lagi?"
"Bisa bu. Bisa!"
Sepanjang jalan ia tak henti-hentinya tersenyum. Tuhan-Nya tidak jahat seperti apa yang ia pikirkan selama ini.
Bimo membeli beberapa bungkus roti beserta tiga air mineral untuk ia bawa ke rumah kecilnya. Pemilik warung itu tidak percaya bahwa Bimo mampu membayarnya. Namun setelah Bimo memamerkan uang seratus ribu, pemilik warung itu baru memberikan pesanan Bimo. Kejamnya, dia mengatakan itu adalah hasil curian. Hidup memang terlalu keras bagi mereka.
****
Bimo dan Adit tiba pada sebuah tempat yang biasa mereka sebut rumah. Rumah itu terbuat dari susunan kardus yang menyerupai gubuk kecil. Sampah adalah kehidupannya. Mereka memang sudah terbiasa hidup dengan sampah, bahkan harus tidur dengannya.
 "Naya lapar, kak ...."
Naya mengucapkannya dengan bibir bergetar. Kedua matanya terpejam. Ia harus menerima kenyataan bahwa ia akan kembali berpuasa malam ini.
"Kakak punya banyak roti. Ayo, bangun!" ucapnya sumringah.
Perlahan Naya membuka kelopak matanya yang pucat, dalam hatinya ia begitu senang meski seluruh tubuhnya terasa sakit.
Keesokan harinya, saat arunika kembali menyapa, menyilaukan mata para puan lewat celah jendela kamarnya. Begitu juga dengan Bimo dan Adit yang mengintip fajar melalui jendela rumahnya. Jendela rumah kardus yang membuatnya terlelap setiap malam, walau tanpa sehelai selimut meliliti tubuh mereka.