Mohon tunggu...
Naraya Syifah
Naraya Syifah Mohon Tunggu... Penulis - Perempuan Penggembala Sajak

Tidak ada yang istimewa dari Naraya Syifah, ia hanya seorang gadis kampung yang sederhana, putri sulung dari keluarga sederhana yang disimpan banyak harapan di pundaknnya. Ia memiliki kepribadian mengumpulkan sajak di pelataran rumahnya. Pernah tergabung dalam beberapa komunitas literasi dan alhamdullilah saat ini sebagai penggerak literasi di kabupaten Subang. Ia menjalankan komunitas Pena Cita bersama teman-teman sehobinya. Kecintaannya pada literasi menghantarkannya sampai di sini. Semoga awal yang baru ini dapat lebih mengembangkan tulisannya dan merubah hidupnya. Selain menulis ia juga tergila-gila dengan K-drama yang dapat menginspirasi nya dalam menulis.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Kado Terindah Bima

26 Juni 2022   18:54 Diperbarui: 26 Juni 2022   19:24 428
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
ilustrasi gambar: pinterest

"Tidak apa-apa. Besok Ibu ke sini lagi. Bimo bisa bantuin ibu lagi?"

"Bisa bu. Bisa!"

Sepanjang jalan ia tak henti-hentinya tersenyum. Tuhan-Nya tidak jahat seperti apa yang ia pikirkan selama ini.

Bimo membeli beberapa bungkus roti beserta tiga air mineral untuk ia bawa ke rumah kecilnya. Pemilik warung itu tidak percaya bahwa Bimo mampu membayarnya. Namun setelah Bimo memamerkan uang seratus ribu, pemilik warung itu baru memberikan pesanan Bimo. Kejamnya, dia mengatakan itu adalah hasil curian. Hidup memang terlalu keras bagi mereka.


****


Bimo dan Adit tiba pada sebuah tempat yang biasa mereka sebut rumah. Rumah itu terbuat dari susunan kardus yang menyerupai gubuk kecil. Sampah adalah kehidupannya. Mereka memang sudah terbiasa hidup dengan sampah, bahkan harus tidur dengannya.

 "Naya lapar, kak ...."

Naya mengucapkannya dengan bibir bergetar. Kedua matanya terpejam. Ia harus menerima kenyataan bahwa ia akan kembali berpuasa malam ini.

"Kakak punya banyak roti. Ayo, bangun!" ucapnya sumringah.

Perlahan Naya membuka kelopak matanya yang pucat, dalam hatinya ia begitu senang meski seluruh tubuhnya terasa sakit.

Keesokan harinya, saat arunika kembali menyapa, menyilaukan mata para puan lewat celah jendela kamarnya. Begitu juga dengan Bimo dan Adit yang mengintip fajar melalui jendela rumahnya. Jendela rumah kardus yang membuatnya terlelap setiap malam, walau tanpa sehelai selimut meliliti tubuh mereka.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun