"Kalau kakak sekolah pasti kakak tau."
Bimo tak mengindahkan pernyataan adiknya. Ia tetap berjalan di bawah sengatan matahari yang membakar tubuhnya. Kedua matanya menatap lurus ke depan, tangannya mengepal semangat, meski berselimutkan sedikit daging yang menempel pada tulang-tulangnya.Â
Langkahnya semakin menyepat, seperti hendak menemui seseorang yang penting di sana. Ia tidak mau terlambat dan mengecewakan orang itu. Namun kali ini, mereka membenci Tuhan-Nya. Tuhan memperlakukannya begitu kejam, tak ada satu pun yang mau memakai jasa mereka.
Bimo mengusap peluh yang mengucur di kedua pelipisnya, perutnya yang lapar tak ia pedulikan. Ia sudah terbiasa berpuasa siang malam.
"Dek, bisa bantu bawain barang belanjaan ibu?" Bimo mengangkat wajahnya.Â
Dilihatnya seorang wanita paruh baya tersenyum kepadanya menawarkan bantuan. Dengan bersemangat, Bimo menjalankan titahnya.
"Terima kasih ya, dek. Namanya siapa?"
"Bimo," jawab Bimo ramah. Ia masih mematung mengharapkan imbalan.
"Ini untuk Bimo." Wanita paruh baya itu memberikan selembar uang merah kepadanya.
Bimo mengernyitkan keningnya, ia tidak pernah menyentuh uang seperti itu. Hanya melihat di warung-warung atau toko-toko kelontong tempat biasa ia dan adiknya beristirahat sebelum akhirnya mereka diusir oleh pemiliknya.
"Ini terlalu besar bu," tolak Bimo.