Mohon tunggu...
Radian A
Radian A Mohon Tunggu... Full Time Blogger - Belajar jadi manusia

Karena "bio harus diisi" maka ingin ku ceritakan tentangku kepadamu, namun nanti ... saat kita bersua di dalam kedai, bertemankan bergelas-gelas kopi. Akan ku isi bio-ku di hatimu, tanpa terkecuali, jujur dan apa-adanya. :p

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerpen | Gadis di Keremangan Malam

11 Maret 2020   19:07 Diperbarui: 11 Maret 2020   19:10 199
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Malam merayap menuju pagi, dan kini, sudah pukul setengah lima. Mataku masih terbuka meski tubuhku telah terbujur ke utara. Tetesan darah segar masih mengalir dari sela-sela rongga dadaku dari sela-sela pisau yang dia tusukkan tadi.

Siapa yang tidak menginginkan pagi? Ketika malam terlalu mencekam untuk dilalui. Namun siapa perduli, hingar-bingar mata kota masih menyala. Kadang gelap dan berkedap-kedip.

Di sudut Cihampelas Kota Bandung yang tak lagi dingin, malam terasa lebih hangat. Beberapa jam yang lalu kita bertemu, pukul setengah dua belas tepatnya. Di sudut sebuah pusat perbelanjaan yang telah tutup. Di sana ada satu tempat yang justru sengaja baru beroperasi. Berlambang seperti bola dunia dengan bulatan-bulatan berwarna ungu sebagai logo tempat hiburan malam itu.

Aku masih bersandar di pintu mobil Yaris berwarna putih yang terparkir di halamannya. Sesekali jemariku mengecek layar ponsel menunggu kabar. Di hadapanku, beberapa perempuan berdandan cantik dan seksi berseliweran. Beberapa diantaranya mengerlingkan mata seolah menggoda.

Di sudut taman yang agak sepi, tiga orang lelaki mengeluarkan sebuah botol bekas air mineral dengan cairan berwarna kuning, sepertinya minuman beralkohol murahan. Dengan gelas plastik bekas pula mereka bergiliran meminumnya. Aku rasa mereka sengaja meminumnya sebelum masuk ke dalam tempat itu. Wajar saja, harga minuman di dalam sangatlah mahal.

Sebuah Honda jazz berwarna merah mengalihkan perhatianku. Dadang, seorang lelaki duda berusia belum tiga puluh gegas menyapaku setengah berteriak,

"Halo, Mas Bro!"

Aku hanya membalasnya dengan senyuman dan mengangkat sebelah tangan. Di belakang Dadang ada Arif, yang tingginya tidak jauh berbeda denhan dua orang perempuan yang tidak aku kenal di belakangnya.

"Maaf, Bro. Agak telat karena harus menjemput mereka , habis manggung di kafe sebelah dulu," jelas Arif santai tanpa perduli aku hampir satu jam menunggu mereka.

Aku berjalan mendekat, lalu menyeret tangan Arif sedikit menjauh sambil berbisik, "mereka masih anak SMA kan, Bro!"

"Tenang aja, aman kalau ada, Aing." Sahut Arif menepuk dada.

Aku kembali melirik ke arah dua perempuan yang nampak tidak ada rasa malu ketika mataku mulai menyusuri tubuh mereka. Tanktop pendek yang menampakkan perut dengan rok mini berumbai dan sepatu boots berwarna mocca. Mereka seragam.

"Manggung apaan?" Tanyaku pada Dadang.

"Sexy dancer, Mas Bro!" jawab Dadang setengah berteriak. Membuat satu diantara gadis itu---yang berwajah bulat dengan lesung pipit, memandangku dengan senyuman manja.

###
Kami memasuki pintu kaca yang terbuka. Menunggu di depan pintu lift yang akan mengantarkan kami ke lantai tiga. Dua orang resepsionis bergincu tebal menyapa kami dengan senyuman sesampainya kami disana. Dadang pun langsung nyelonong ke depan meja langsung menyapa, "Hai, Shinta."

Resepsionis itu rupanya sudah tidak asing dengan Dadang, "a Dadang kemari dengan siapa?"
"Ini dengan teman-teman," jawabnya sambil menunjuk kami. "Tadi siang sudah booking tempat VIP, atas nama Rio."

Perempuan berkaos putih ketat itu mengecek sesuatu di layar monitor. Sementara pandanganku tertuju pada dua orang lelaku berpakaian hitam-hitam yang berdiri di depan pintu masuk. Rapi dan berdiri tanpa senyuman, memeriksa setiap pengunjung yang datang.
"Oh ya, ada," celetuk Shinta tiba-tiba. "Sudah deposit dua setengah juta, kan?"
"Betul sekali!" Dadang mengerlingkan mata.

Dua orang berseragam hitam-hitam itu berubah ramah, segaris senyuman terukir di wajah mereka. Tanpa pemeriksaan kami di persilahkan mengikuti salah satunya masuk ke dalam.

"Gimana Bro, aman, kan?" Bisik Arif menggandeng masuk kedua perempuan belia itu.
Aku hanya tersenyum.

###
Dentuman musik elektronik menghentak. Lampu-lampu disko memantulkan sorotnya ke sembarang sudut tempat yang remang-remang itu. Lantai "dansa" telah di penuhi orang-orang, sebagian menari, sebagian hanya berdiri sembari menghisap batang rokok yang terselip di jemari. Beberapa perempuan yang nampak lebih elegan duduk-duduk di depan meja bar di seberang dengan gelas-gelas cocktail dihadapannya.

Kami diantarkan menuju sebuah sofa panjang hitam di sudut sebelah kanan. Sebuah lilin dengan wadah sebuah label bir menyala sendu, mencoba menerangi sudut gelap tempat itu, namun nampaknya sia-sia.

Aku menjatuhkan diri di ujung sofa, setelah mengecek ponsel dengan berharap tidak ada panggilan penting malam ini, gadis belia berlesung pipit tiba-tiba duduk di sampingku.

"Chat dari istrinya ya, A?" tanyanya tanpa basa-basi sambil melirik ke arah ponsel yang aku genggam.

"Ah, bukan."

"Masa sih?" tanyanya ulang. "Dari pacar?"

"Bukan juga." jawabku ringan, sambil meletakkan ponsel ke dalam saku dan meraih sebatang rokok mild lalu menyalakannya.

Setelah satu hisapan, gadis belia itu menyerobot rokokku dan menghisapnya. Aku memandanginya. Dia menghembuskan asapnya perlahan setengah mendangak, seolah tau bagaimana memperoleh perhatian dari seorang laki-laki.

"Siapa namamu?"

"Lidia," jawabnya tersenyum menatapku."pake ye... Ly .. dia."

"Oh."

Seorang pelayan segera mengalihkan perhatianku. Tangannya lincah menata semua di atas meja. Sebotol Chivas Regal, pitcher kaca yang aku kira berisi bir namun ternyata berisi teh dingin, seember kecil es batu, mix fruit diatas piring besar, Kentang goreng dan beberapa lowball glass. Semua ditata mengelilingi lilin.

"Mari kita nikmati malam ini mas Bro!" Teriak Dadang menyaingi dentuman suara musik yang melengking.

Dengan lincah, gadis belia lain yang di bawa Arif mulai memasukkan es batu dan menuangkan minuman ke dalam gelas-gelas. Dan membagikannya kepada kami semua.

"Siapa namanya?" bisikku pada Lydia.

"Erica," jawabnya ketus sambil meletakkan tangannya di atas pahaku. "Kenapa A suka dia?"

Aku pun pura-pura tak perduli dengan tangannya, "Nggak, cuma nanya."

"UNTUK KESUKSESAN KITA!" Dadang berteriak lantang mengangkat gelasnya tinggi-tinggi.

Aku balas mengangkat gelas tinggi tinggi.
"Kesuksesan ...?" bisikku lirih.

###
Malam sebelumnya, aku baru tiba di kota Bandung. Seseorang memberikan sebuah rumah kos elit di daerah Padalarang sebagai tempat tinggalku sementara. Di dalam kamar itu terdapat ruang tamu, kamar yang cukup luas dengan kasur busa, kamar mandi dan sebuah dapur kecil.

"Seorang Ciwidey akan menemui kamu segera." Begitu sebuah tulisan yang tergeletak di atas ranjang. "Kalau kau butuh selimut, telepon nomor ini. 08 ..."
Aku berhenti membacanya. Malam itu, aku sedang tidak ingin bercinta. Aku hanya ingin mandi dan merebahkan badan.

Hampir tengah malam ketika suara ketukan pintu menggugah kesadaranku dari tidur di ruang tamu. "Siapa?"

"Ciwidey mas Bro." Terdengar suara dari luar.

Seorang lelaki bertubuh tegap, berdiri di balik pintu. Tanyanya terjulur untuk menyapa. Kuat dan kasar. Sebelah tangannya lain menenteng kantong plastik hitam.

"Aku datang membawa jamuan," ujarnya.

Sate kambing, martabak dan sebotol anggur menjadi peneman obrolan kami malam itu. Lelaki bertubuh tegap itu memperkenalkan diri bernama Dadang, seorang mantan anggota militer. Meskipun terlihat santai, namun masih menyisakan guratan-guratan didikan militer di tubuh dan suaranya yang lantang.

Dan sebuah amplop cokelat besar yang aku sodorkan ke hadapannya sejenak membuat kesunyian di air wajahnya. Sedikit senyuman tersungging di ujung bibirnya yang menghitam ketika membuka beberapa lembar kertas yang ada di dalamnya.

"Jadi benar ini orangnya?" tanyanya sambil melirikku.

Aku hanya mengangguk dalam diam.

"Lumayan juga ternyata, hmmm ... Lima ratus juta."

Aku mengangguk lagi.

"Aku rasa Mas-nya sudah tau kesepakatan pekerjaan kami."

"Tentu. Dua puluh lima persen bersih."

Dadang memfoto berkas yang di dalam amplop itu dengan ponselnya, entah mengirimkannya kepada siapa. Lalu memasukkan kembali berkas itu ke dalam amplop dan menyodorkannya kembali kepadaku.

"Bagaimana jika gagal?" tanya Dadang. "Apa perlu kami membereskannya?"

"Bagaimana?" tanyaku.

"Dua puluh juta untuk membayar penangkaran buaya, dia akan hilang jejaknya selamanya."

"Baiklah."

Dadang tersenyum sumringah dan mengangkat gelasnya, "Untuk kerjasama kita."

Keesokan pagi, Dadang menjemputku dengan sebuah mobil panther tua berwarna hitam. Asapnya hitam mengepul menembus jalanan rusak sebelum mengaspal ke jalan utama Padalarang - Batu Jajar.

"Dia masih di rumah," ujar Dadang sambil memacu mobilnya ke arah Kota Baru Parahyangan.

Benar adanya, seorang lelaki paruh baya sedang duduk di teras rumahnya bercelana pendek, membaca koran menyanding sebuah cangkir yang masih mengepul. Ketika kami turun dari mobil hitam itu, air wajahnya berubah.

Aku mengenakan tuksedo hitam menjinjing tas kulit berwarna senada, sementara Dadang hanya berkaos hitam dengan balutan jaket kulit. Sebuah celana jeans biru menemani pantofel hitamnya. Sedangkan matanya yang tajam tertutup kacamata aviator dari Ray-Ban.

"Selamat pagi, Bapak Sudiro?" Sapaku setelah memasuki gerbang yang terbuka. Di hadapannya Sebuah Mercedez Benz C-Class nampak sedikit basah usai di cuci, di depannya sebuah Toyota Yaris berwarna putih sedang di cuci oleh seorang lelaki tua yang nampak tak acuh dengan kedatangan kami.

"Se ... Selamat pagi," jawab lelaki itu tergagap. "Ma ... mari ber ... berbicara di dalam."

Ruang tamu rumah itu sangat tertata rapi. Megah dengan lampu gantung kristal besar menggantung di atapnya. Kursi ruang tamu itu nampak serasi, terbuat dari ukiran jati Jepara kelas satu. Legam dan kokoh. Di salah satu dinding terdapat foto keluarga yang cukup besar. Menampakkan Sudiro dengan istri dan seorang anak perempuan berusia sepuluh tahunan. Mereka nampak sangat bahagia.

"Nampaknya keluarga Anda sangat harmonis, Bapak Sudiro?" tanyaku tanpa mengalihkan pandanganku dari foto besar itu.

"Ya, ya begitulah."

Aku mengalihkan pandangan ke arah matanya. "Sayang sekali jika harus kehilangan salah satunya, bukan begitu?"

Lelaki itu hanya terdiam, mencoba mengalihkan wajahnya dari tatapanku. Matanya memutar, seolah mencari sesuatu di sudut ruang tamu itu yang aman untuknya meletakkan pandangan.

Dadang meletakkan sebuah revolver yang terselip di belakang pinggangnya ke atas meja kaca, dentingan suaranya mengisi keheningan.

"Apa mau kalian!?" tanyanya dengan suara meninggi.

"Tentu Anda sudah tau maksud kedatangan kami, bukan?" jawabku datar. "Bos saya pasti sudah mengabari Anda, semalam."

"Kalau begitu, biarkan saya menyelesaikan sendiri urusan ini dengan bos Anda ... "

"Sayangnya, dia sudah tidak percaya lagi dengan janji Anda, Bapak Sudiro!" potongku cepat. Aku mengambil amplop coklat dari dalam tas, mengeluarkan isinya, dan menyodorkannya. Sebuah akta perjanjian hutang-piutang. "Sudah lima tahun berselang, Bapak Sudiro."

Dia tidak menyentuhnya, sepertinya lelaki tua itu sudah cukup paham isi lembaran kertas di hadapannya itu.

"Tetapi saya sedang tidak ada uang."

"Kalau begitu, silahkan tunggu kabar duka saja, saya pastikan kurang dari dua puluh empat jam," potong Dadang menyela.

Keheningan mengisi ruang itu beberapa saat.

"Baiklah, tunggu disini." Sudiro beranjak dari kursinya dan masuk ke dalam rumah.

Seorang gadis berparas ayu tertutup jilbab satin bermotif bunga-bunga keluar dari dalam rumah, memegang nampan berisi tiga gelas cangkir berisi kopi dengan kepulan uapnya beradu dengan asap rokok milik Dadang.

"Silakan diminum dulu kopinya, Bapak." Gadis itu berujar, lalu pergi meninggalkan kami tanpa berkata-kata lagi.

"Cantik juga anaknya Sudiro," bisik Dadang menepuk bahuku. "Bagaimana kalau kita minta bonus semalaman dengan anaknya?"

Aku hanya terdiam, pura-pura tidak mendengar celotehnya.

Lima belas menit kemudian Sudiro keluar dari dalam rumah dengan sebuah tas jinjing berwarna merah hati dan menyodorkannya kepadaku. Aku membukanya, dan menghitungnya secara acak.

"Itu adalah gaji karyawan yang akan aku bayarkan nanti siang." Sudiro berujar setengah gemetar.

"Saya rasa itu bukan urusan kami." ujarku sambil beranjak di depan pintu. Mataku tertuju pada meja teras yang berisi koran, kopi yang sudah tak lagi mengepulkan uap dan sebuah kunci mobil berlambang Toyota.

"Bapak Sudiro, bagaimana jika Anda memberikan saya bonus?" ujarku sambil menyambar kunci mobil berlambang Toyota, dan melangkah santai meninggalkan rumah itu.

###
Sudah botol kedua, hentakan musik yang dimainkan disk jockey membuatku semakin cepat tinggi. Arif dan Dadang sudah tidak ada di sofa. Mereka menghilang di kerumunan orang-orang yang sedang berajojing ria.

Lydia yang nampaknya sudah tidak kuat minum hanya diam bersandar di punggung sofa, sesekali menjatuhkan kepalanya ke bahuku sembari mendongak memandang wajahku. "A ... A Rio nggak tertarik kepadaku?"

Aku membalas tatapan matanya. "Kenapa kamu seperti ini?"

"Maksudnya, A?"

"Tentang uang? Kebutuhan? Senang-senang?" tanyaku lebih sederhana.

"Karena aku menikmatinya," jawab Lydia enteng setengah tertawa. Tangannya nakal memegang dadaku.

Aku memberanikan diri balas memegang pahanya yang tidak berhalang apapun. Lembut dan hangat.

Lydia tersenyum dan sengaja membuka kedua kakinya lebar-lebar.

"Ayolah, Beb," sela Dadang yang tiba-tiba menjatuhkan tubuhnya di sampingku. "Cari tempat lain diluar."

Ulah Dadang mengagetkan kami. Lydia langsung memalingkan pandangan dan memasang raut wajah penuh kekecewaan namun Dadang seolah tak perduli. Di tariknya Lydia menuju ke lantai dansa, menghilang menyusul Arif dan Erica.

Alunan musik elektronik ini benar-benar membuatku cepat meninggi, antara sadar dan tidak sadar. Namun aku masih bisa melihat seorang gadis dengan rambut yang sebagian di cat pirang mencoba mendekatiku. Dressnya berwarna putih dengan aksen bunga-bunga di sebagian sisi depan, senada dengan lipstiknya yang berwarna merah menyala.

"Tidak apa-apa, dia teman saya," ujarku pada dua sekuriti yang berdiri tegap menjaga kursi VIP.

Diantara dentuman musik elektronik itu pula aku masih bisa mendengar ketukan langkah high heels gadis itu berjalan mendekat. Usianya dua puluhan dengan rok span melekat ketat di atas pahanya.

"Aku boleh gabung, A?" tanya gadis itu berbisik. Aroma parfum dari sebuah brand kenamaan kota mode Paris tercium dari lehernya. Wanginya yang lembut jelas menunjukkan parfum original.

"Tentu saja." Aku menepuk sofa kosong tepat di sisi kananku.

Sebuah gelas berisi minuman segera aku sodorkan kepada gadis itu.

"Terima kasih," ujarnya sengaja mengangkat tubuh sedikit mendekat untuk kembali berbisik di telingaku sambil tersenyum.

"Siapa namamu, Geulis?"

"Enci, A. Kalau Aa siapa?" tanyanya balik.

"Rio," jawabku singkat. "Boleh minta nomor hapenya?"

Aku menyodorkan ponselku. Dengan lincah jemarinya mengetik dan memberikan nama. Disodorkannya ponsel ku kembali ke tanganku. Aku cek profil WhatsApp-nya,

"ini?" Tanyaku.

"Kok, A tau nomorku?"

"Lah barusan kan aku minta."

"Oh iya, lupa," jawabnya sambil tertawa dan memukul manja.

"Enci masih kuliah?"

"Iya, A. Di kampus Agama."

"Masa?" tanyaku tak percaya.

"Iya, A. Tapi pakai kerudungnya di parkiran dalam mobil," jawabnya sambil kembali tertawa. "Keluar kampus ya copot lagi lah."

"Apa kamu sering ke sini?"

"Iya, kalau lagi stres," jawabnya pelan sambil terisak. "Tadi pagi Ayahku mati karena serangan jantung. Dan mobilku hilang dibawa orang. Menurutmu, aku harus bagaimana?"

"Harus bersenang-senang?"

"Betul sekali." sahutnya segera lalu tertawa.

"Ini cewek sepertinya sudah mabuk," pikirku. "Bagaimana kalau kita pulang sekarang, kita cari tempat lain untuk bersenang?"

Dia mengangguk.

Kami beranjak keluar. Setelah membayar hampir delapan juta di meja resepsionis. Enci terus berpegangan di lenganku menahan tubuhnya yang telah gontai. Kami keluar bersama dari tempat itu.

###
Hampir pukul setengah empat, ketika kami sampai di kamar kosku. Tanpa basa-basi Enci langsung melumat bibirku hingga menjatuhkan tubuh kami berdua ke atas ranjang.

Tanganku menjelajah setiap jengkal tubuhnya. Setiap bagian tubuhnya terasa lebih hangat dan basah.

"A, aku ke kamar mandi dulu ya?" pinta gadis itu.

Aku melepaskan kedua tanganku, seperti tawanan yang di todong senjata, aku terlentang di atas ranjang. Sayup-sayup mataku perlahan terpejam.

Aku terjaga, ketika tanpa aku sadari sebuah pisau menusuk dalam menembus baju dan kulit dadaku. Perih dan nyeri. Darah segar nampak mengucur deras membasahi ranjang.

"A Rio, apa sekarang kamu mengingatku?"

Aku menatap samar-samar wajah Enci. Rambutnya kini diikat ke belakang. Sebuah tahi lalat di bawah telinganya mengingatkanku pada foto gadis kecil di rumah Sudiro pagi tadi.

"Selamat tinggal Aa Rio, sampaikan salamku untuk Papa di surga."

Setengah gontai, gadis itu membawa tas jinjing berwarna merah hati dan kunci mobil, lalu menghilang di balik pintu.

###
KBC-20 | Kompasianer Brebes

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
  11. 11
  12. 12
  13. 13
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun