Lydia yang nampaknya sudah tidak kuat minum hanya diam bersandar di punggung sofa, sesekali menjatuhkan kepalanya ke bahuku sembari mendongak memandang wajahku. "A ... A Rio nggak tertarik kepadaku?"
Aku membalas tatapan matanya. "Kenapa kamu seperti ini?"
"Maksudnya, A?"
"Tentang uang? Kebutuhan? Senang-senang?" tanyaku lebih sederhana.
"Karena aku menikmatinya," jawab Lydia enteng setengah tertawa. Tangannya nakal memegang dadaku.
Aku memberanikan diri balas memegang pahanya yang tidak berhalang apapun. Lembut dan hangat.
Lydia tersenyum dan sengaja membuka kedua kakinya lebar-lebar.
"Ayolah, Beb," sela Dadang yang tiba-tiba menjatuhkan tubuhnya di sampingku. "Cari tempat lain diluar."
Ulah Dadang mengagetkan kami. Lydia langsung memalingkan pandangan dan memasang raut wajah penuh kekecewaan namun Dadang seolah tak perduli. Di tariknya Lydia menuju ke lantai dansa, menghilang menyusul Arif dan Erica.
Alunan musik elektronik ini benar-benar membuatku cepat meninggi, antara sadar dan tidak sadar. Namun aku masih bisa melihat seorang gadis dengan rambut yang sebagian di cat pirang mencoba mendekatiku. Dressnya berwarna putih dengan aksen bunga-bunga di sebagian sisi depan, senada dengan lipstiknya yang berwarna merah menyala.
"Tidak apa-apa, dia teman saya," ujarku pada dua sekuriti yang berdiri tegap menjaga kursi VIP.