Aku kembali melirik ke arah dua perempuan yang nampak tidak ada rasa malu ketika mataku mulai menyusuri tubuh mereka. Tanktop pendek yang menampakkan perut dengan rok mini berumbai dan sepatu boots berwarna mocca. Mereka seragam.
"Manggung apaan?" Tanyaku pada Dadang.
"Sexy dancer, Mas Bro!" jawab Dadang setengah berteriak. Membuat satu diantara gadis itu---yang berwajah bulat dengan lesung pipit, memandangku dengan senyuman manja.
###
Kami memasuki pintu kaca yang terbuka. Menunggu di depan pintu lift yang akan mengantarkan kami ke lantai tiga. Dua orang resepsionis bergincu tebal menyapa kami dengan senyuman sesampainya kami disana. Dadang pun langsung nyelonong ke depan meja langsung menyapa, "Hai, Shinta."
Resepsionis itu rupanya sudah tidak asing dengan Dadang, "a Dadang kemari dengan siapa?"
"Ini dengan teman-teman," jawabnya sambil menunjuk kami. "Tadi siang sudah booking tempat VIP, atas nama Rio."
Perempuan berkaos putih ketat itu mengecek sesuatu di layar monitor. Sementara pandanganku tertuju pada dua orang lelaku berpakaian hitam-hitam yang berdiri di depan pintu masuk. Rapi dan berdiri tanpa senyuman, memeriksa setiap pengunjung yang datang.
"Oh ya, ada," celetuk Shinta tiba-tiba. "Sudah deposit dua setengah juta, kan?"
"Betul sekali!" Dadang mengerlingkan mata.
Dua orang berseragam hitam-hitam itu berubah ramah, segaris senyuman terukir di wajah mereka. Tanpa pemeriksaan kami di persilahkan mengikuti salah satunya masuk ke dalam.
"Gimana Bro, aman, kan?" Bisik Arif menggandeng masuk kedua perempuan belia itu.
Aku hanya tersenyum.
###
Dentuman musik elektronik menghentak. Lampu-lampu disko memantulkan sorotnya ke sembarang sudut tempat yang remang-remang itu. Lantai "dansa" telah di penuhi orang-orang, sebagian menari, sebagian hanya berdiri sembari menghisap batang rokok yang terselip di jemari. Beberapa perempuan yang nampak lebih elegan duduk-duduk di depan meja bar di seberang dengan gelas-gelas cocktail dihadapannya.
Kami diantarkan menuju sebuah sofa panjang hitam di sudut sebelah kanan. Sebuah lilin dengan wadah sebuah label bir menyala sendu, mencoba menerangi sudut gelap tempat itu, namun nampaknya sia-sia.
Aku menjatuhkan diri di ujung sofa, setelah mengecek ponsel dengan berharap tidak ada panggilan penting malam ini, gadis belia berlesung pipit tiba-tiba duduk di sampingku.