“Baiklah, kita berangkat sekarang.” ujar Karim sambil berdiri. Tapi tiba-tiba tubuhnya terasa rapuh, dan bumi tempatnya berpijak seolah bergetar dengan hebat. Ia menjadi limbung.
Dengan sigap, sang ajudan memegangi tubuh Sang Pemimpin yang hampir jatuh. Karim mengucapkan terima kasih padanya dan menepuk pundaknya.
“Kalau Yang Mulia merasa kurang sehat, sebaiknya tidak usah ke sana. Saya bisa mewakili yang Mulia.” Sang ajudan mengajukan diri.
“Tidak, Saudaraku. Jika rakyat menginginkan pemimpinnya hadir, maka sang pemimpin harus hadir. Pemimpin itu melayani rakyat, bukan dilayani rakyat. Kita berangkat sekarang….”
*****
Karim tiba di tempat eksekusi disambut sejumlah penasihat yang sudah menunggunya.
“Sungguh kami tidak menyangka Yang Mulia akan mendapat cobaan bertubi-tubi. Kami sudah memeriksa semua bukti yang ada. Tidak ada hukuman lain yang pantas untuknya selain potong tangan, Yang Mulia.”
Karim mengangguk sambil terus bergerak ke ruang eksekusi. Dari kejauhan, ia melihat Ali duduk pada sebuah kursi dengan tangan terikat rantai besi pada sebuah meja. Petugas pengadilan melihat Karim datang dan langsung menghampirinya.
“Yang Mulia…. Yang Mulia, untuk eksekusi kali ini sebaiknya dilakukan oleh algojo yang sudah berpengalaman saja. Memotong tangan harus dilakukan dengan sekali tebas dan tidak boleh melenceng, Yang Mulia. Karena sangat berbahaya kalau melenceng……”
Karim berdiri tegak di depan Ali. Ali menengadahkan kepalanya.
“Apakah Ayah akan memotong tanganku?” tanyanya dengan wajah kuyu. Karim tak menjawab. Ia menatap Ali lekat-lekat. Sang ajudan mengambilkan kursi untuknya. Sekarang Karim duduk di hadapan Ali.