“Eksekusi ini dilakukan bukan untuk orang yang sudah tidak membutuhkan tangannya, Yang Mulia. Tapi untuk orang yang telah mengambil hak orang lain.” Jawab Pak Hakim.
“Ya, anak ini memang telah mengambil harta orang lain. Dan saya berjanji akan mengganti semuanya. Dia anak saya. Dan saya harus bertanggungjawab atas semua tindakannya, di mata semua manusia dan di mata Tuhan.” Karim menggenggam tangan Pak Hakim.
“Saya yakin ia akan berubah, Pak Hakim. Kurunglah ia selama setahun. Akan kukirim seorang guru agama untuk mendidiknya setiap hari. Jika ia tidak berubah, silakan kau potong tangannya. Tapi untuk saat ini, biarlah tangan tua ini menggantikannya.” bujuk Sang Pemimpin.
“Aku minta waktu sejenak, Yang Mulia,” ujar Pak Hakim. Lalu ia berembuk dengan rekan-rekannya.
“Ayah, aku sungguh menyesal. Maafkan aku, Ayah…..”, seru Ali sambil menangis. Karim mendekatinya dan mengelus kepalanya.
“Gunakan tanganmu untuk hal yang berguna, Nak. Jangan lagi kau permalukan ayahmu ini. Cukup sudah…..” ujar Karim lemah lembut. Ali berusaha keras meraih tangan ayahnya, lalu menciumnya.
“Aku tak ingin mereka memotong tangan Ayah. Ayah adalah pemimpin yang bersih. Ayah tak pantas menerima hukuman ini………”
“Baiklah, Yang Mulia. Kami semua setuju dengan pendapat Yang Mulia. Mari kita siapkan peralatan eksekusinya.” ujar Pak Hakim.
“Apa?? Apa yang kalian setujui?? Apa yang akan kalian lakukan??” jerit Ali sambil meronta-ronta saat petugas melepaskan tangannya dari rantai besi. Dengan susah payah, para petugas berusaha menariknya kembali ke ruang tahanan.
“Biarkan dia tetap di sini. Biarkan dia menyaksikan tangan ayahnya dipotong.” perintah salah seorang penasehat kepada petugas. “Ikat dia di kursi yang lain di sini. Menghadap ke arah ayahnya.”
“Tidaaak…… Tidaaaaaaaaaakk………..”