Mohon tunggu...
Adhitanto Nabil Shobirin
Adhitanto Nabil Shobirin Mohon Tunggu... Arsitek - Final Year Architecture Student

I do crazy stuff when I'm in stress.

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana Pilihan

Puas Jatuh di Jalan

25 September 2019   22:17 Diperbarui: 25 September 2019   22:37 25
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Catatan: Cerita ini merupakan satu dari beberapa rangkaian cerita literatur personal. Gue menerbitkan cerita ini sebagai uji coba pasar dalam menulis lebih banyak bab. Mohon memberikan feedback entah suka maupun tidak apabila berkenan. Terima kasih sudah membaca!

-

"Bisa, bisa," gue menyanggupi.

Lalu gue berpikir, "Kok gue bilang 'bisa'? Itu 'kan di Malang."

Gue ragu karena sebenernya gue nggak dibolehin sama orang tua untuk ke luar kota, apalagi sama Nyokap. Beliau akan punya sejuta alasan supaya gue nggak pergi ke luar kota.

Menjadi mahasiswa rantau harusnya berarti bisa bebas ngapain aja. Namun, dari awal sebelum kuliah di Surabaya, gue dinasehati untuk nggak pergi ke luar kota tanpa mengabari Nyokap.

Beliau bilang, "Mas, kamu nanti di Surabaya jangan ke luar kota tanpa bilang Mamah, ya."

"Loh, kok gitu, Mah?" tanya gue.

"Mamah takut kamu kenapa-kenapa di jalan."

"Yah, Mamah..." Gue melas. "Nggak usah takut, Mah. Aku 'kan nggak mungkin ngapa-ngapain juga nanti. Paling ke luar kota kalau liburan."

"Apalagi liburan. Nggak ada Mamah di Surabaya tuh susah pasti." Nyokap makin sewot.

"Kalau ada Mamah kenapa?"

"Mamah 'kan bisa ikut." Nyokap tersenyum kayak anak ABG kebanyakan micin.

UKM gue pernah bikin acara internalisasi ke luar kota. Saat itu gue masih mahasiswa baru. Karena dari awal sudah diancam duluan sama Nyokap, gue pun berniat untuk minta izin. Siapa tau dibolehin kalau minta baik-baik.

Dua hari sebelum berangkat, gue telepon Nyokap, "Mah, lusa aku mau ke Trawas, ada acara UKM gitu. Boleh ikut ya?" tanya gue.

"UKM? Kamu mau jualan?" tanya Nyokap dengan heran.

"Nggak, Mah. UKM itu Unit Kegiatan Mahasiswa. Kayak ekskul sekolah gitu," jelas gue.

"Oh, gitu. Trawas itu di mana, Mas?"

"Dekat Mojokerto, Mah. Kayak daerah Puncak-nya Jawa Timur gitu."

Mendengar kata Puncak, nyokap seperti kerasukan cewek yang lagi ngambek sama pacarnya, "Nggak usah lah, ya? Nggak perlu banget ini 'kan?"

"Penting sih, Mah," gue meyakinkan.

"Nggak usah, deh... Toh, lagi banyak begal 'kan di sana?" lanjut Nyokap.

"Begal 'kan malam, Mah. Aku nanti berangkatnya pagi."

"Pokoknya nggak boleh."

Daripada gue dicoret dari KK karena durhaka sama orang tua, gue nggak jadi ikut ke Trawas.

Dua tahun semenjak kepergian gue batal, gue jadi merasa nggak seberapa kenal sama anggota UKM yang lain. Gue jadi sedikit ansos. Malah sekarang, gue sudah keluar dari UKM itu, meskipun lebih karena nilai gue sempet jelek dan berakhir kena omel Nyokap.

Meski begitu, gue tetap nggak pengen jadi ansos. Gue pengen ke luar kota. Gue pernah, kok, muter-muter Surabaya dari ujung ke ujung naik mobil, meskipun bukan pakai mobil gue. Untungnya waktu itu temen gue mau disogok semangkuk bakso kantin kampus, jadilah mobilnya gue pecut muter-muter. Kalau keliling Surabaya aja gue bisa, masa ke luar kota nggak bisa?

Ternyata kesempatan gue untuk ke luar kota datang. Majalah himpunan yang gue urus waktu itu mengharuskan gue dan tim untuk berkunjung ke Universitas Semen Gresik di Gresik. Karena Gresik berada di luar kota Surabaya, belum tentu ada taksi online yang mau mengantar kami. Kalaupun ada yang mau, harganya pasti akan sangat mahal. Untunglah salah satu teman himpunan gue berbaik hati meminjamkan mobilnya.

Kami, satu tim, berkumpul di lobby jurusan.

"Oke, sudah semua, ya?" tanya gue ke teman-teman yang ikut.

"Sudah, Mas," jawab Aini, salah satu adik kelas dari tim gue yang berangkat.

"Sebentar, Mas. Aku mau ke toilet dulu, biar nggak kebelet di jalan," kata Nisa, adik kelas lainnya.

"Aku titip ya," balas gue ke Nisa.

Nisa memandang gue dengan aneh.

Setelah Nisa selesai buang air kecil, kami berangkat menuju lokasi. Kami memasuki mobil dan menyalakan Waze sebagai panduan.

"Kalian dari mana asalnya?" tanya gue, memecah keheningan.

"Aku asal Pamekasan, Mas. Madura," jawab Aini.

"Kamu jago masak sate?" tanya gue.

"E... Enggak, Mas," jawab Aini canggung.

"Bohong, Mas! Dia kalau di kampus suka jualan sate!" seru Nisa.

"Sstt... Malu ah, Nis," jawab Aini sambil mencoba membekap Nisa.

"Hahaha... Kalau kamu, Nis?" tanya gue, mengalihkan konsentrasi.

"Aku asal Tangerang, Mas. Hehehe..."

"Wah, dekatan dong. Aku dari Tangerang Selatan," gue mencoba terlihat tertarik.

Nisa membalas dengan tertawa kecil, sambil ngos-ngosan setelah dibekap Aini.

Setengah jam berlalu, kami tiba di gerbang tol antara Surabaya dan Gresik. "Kalian pernah ke Gresik, nggak, sebelumnya?"

"Belum, Mas. Nggak berani bawa motor jauh-jauh," jawab Nisa.

"Sama, Mas," jawab Aini.

"Wah, sama kalau gitu ya. Aku malah baru ini ke luar kota loh, hahaha..."

Seketika suasana mobil hening. Gue tersadar kalau gue salah ngomong. Dengan panik, gue menambahkan, "Tenang aja ya, InsyaAllah kita pulang dengan selamat..."

Mobil masih hening.

Mampus.

Gue mengintip lewat spion tengah ke belakang untuk melihat kondisi mereka. Ternyata mereka sedang fokus ke sebuah pabrik di sebelah kanan mobil kami. Semoga bukan lagi berpikir gimana caranya kabur dari mobil dan pulang dengan selamat.

Untungnya beberapa kilometer kemudian, kami tiba di Universitas Semen Gresik. Ternyata, universitas ini terhubung dengan pabrik Semen Gresik yang masih aktif, yang membuat tempat ini jadi besar sekali. Untuk masuk saja kami perlu keliling dulu. Kalau nggak ada pemandu jalan, mungkin kami bisa tersesat. Niatnya cari pintu keluar, malah sampai ke pintu akhirat.

Karena gue kebagian posisi fotografer sekaligus sopir saat itu, gue membiarkan Nisa dan Aini menjelajah kampus itu. Saat gue lagi asyik foto-foto, telepon gue berdering. Ternyata Anom, kerabat gue, menelepon.

"Halo, Dhit. Sibuk nggak?"

"Nggak, sih. Lagi survei aja ke Semen."

"Hah? Survey ke Semen?" tanya Anom terheran.

"Iya, Semen Gresik," gue menjelaskan.

"Oalah, yang lengkap ngomongnya, dong," balas Anom ketus. "Aku besok nitip motorku ke kamu ya? Yang Vixion."

"Loh, ada apa?" gue terheran. Tumben Anom baik, lagi menang undian Indomaret kali ya.

Beberapa minggu yang lalu, gue memang sempat menanyakan ke Anom tentang keadaan motornya. Dia punya dua motor, Vixion dan Astrea. Di kampus, dia lebih sering membawa motor Astrea karena motor Vixion miliknya berknalpot racing. Dia takut motornya terlalu bising.

"'Kan aku udah nggak tinggal di rumah, Dhit, sementara di kos cuma boleh bawa motor satu. Daripada aku tinggal di jurusan nggak kepakai, mendingan kamu bawa aja. Biar nggak mogok motornya. Toh, biar kamu nggak naik ojek online terus."

Gue cukup kaget mendengar hal itu. Jarang ada yang mau minjemin motornya dengan alasan nggak ada yang pakai. Sebagai seorang oportunis, yang lebih suka opor dibanding tumis, gue mengiyakan. "Oke deh. Besok sore antar aja, sepulang ngampus."

"Sip. Makasih, To. Love you."

"Najis lu."

Anom tertawa sejenak dan menutup teleponnya.

"Sudah, Mas," Nisa mengaburkan lamunan gue sejenak. Nisa memberi sinyal bahwa mereka sudah selesai melihat-lihat dan mewawancara.

Setelah berpamitan dengan penjaga kampus, kami pun pulang dari Semen Gresik. Salam perpisahan juga diberikan oleh Nisa dengan buang air kecil di kampus itu.

Sesampainya di kosan, gue jadi merasa percaya diri untuk ke luar kota lagi. Kejadian hari ini jadi semacam pencapaian. Nggak ada alasan lagi untuk takut pergi ke luar kota sendiri.

-

"Oke, deh. Bisa. Malang toh, dekat," gue membatin.

"Oke. See you in Malang, ya! Gue kabarin lagi kalau sudah dekat tanggalnya."

Benakribo, seorang influencer yang kebetulan gue kenal, baru saja menawarkan pekerjaan buat gue. Dia akan mengisi talkshow di Malang dan meminta gue untuk merekam sebuah dokumentasi.

Setelah gue menutup telepon, gue berpikir sejenak. Gue ke Malang naik apa, ya?

Besoknya di kampus, gue coba bertanya ke beberapa teman. Ada yang bilang, kalau naik motor akan memakan waktu paling cepat dua jam. Kalau naik kereta atau naik bus, bisa lebih lama. Akhirnya gue memutuskan untuk berangkat naik motor Anom. Gue belum pernah naik motor sampai ke luar kota, tapi kayaknya akan enak kalau gue punya kendaraan pribadi di sana untuk jalan-jalan.

Gue meminta izin ke Anom dan ia mengiyakan, asal gue mau bayarin dia makan bakso hari itu karena dia lagi nggak bawa uang. Selembar sepuluh ribu melayang, bakso semangkok tiba.

Hari yang ditentukan pun tiba. Gue dapet kabar dari Benakribo kalau nanti acaranya akan diadakan di Hotel Gajahmada Graha, Malang, hari Sabtu siang. Gue memutuskan untuk berangkat Jumat malam, supaya nggak terlalu capek dan bisa istirahat dulu.

Karena penasaran, gue coba cek jarak antara hotel tersebut dan kosan gue.

Ternyata jauh. 75 kilometer. Gue pikir awalnya Malang itu cuma sejengkal ke selatan kayak Sidoarjo. Malah, tadinya gue pikir urutannya itu Surabaya-Sidoarjo-Malang. Panik lah gue.

Namun, nasi sudah menjadi kerak telor (karena gue nggak suka bubur), gue tetap harus berangkat. Gue harus profesional. Gue sudah bilang bisa, ya bisa.

Setelah gue selesai ngampus sekitar jam 4 sore, gue pulang dan beres-beres. Gue memakai jaket, memasang earphone untuk mendengarkan arah GPS dan berangkat ke Malang.

Hal pertama yang gue sadari pas di jalan adalah: Surabaya kalau sore macet gila. Dari kosan ke jalan antar kota, dengan jarak 9 kilometer, memakan waktu satu jam lebih. Padahal biasanya hanya setengah jam. Kecepatan motor gue nggak pernah lebih dari 10 kilometer per jam. Pelan banget rasanya, mirip kayak macet di Jakarta, di Jalan Jendral Sudirman.

Mungkin kalau udah ada yang mulai jualan tisu dan badut kepala goyang di pinggir jalan, udah persis kali ya.

Sejurus kemudian, gue sudah melewati kemacetan Surabaya dengan sukses. Earphone di telinga sudah mulai kendor dan hampir jatuh.

Gue memutuskan untuk menepi dan membetulkan earphone. Gue menekan rem depan karena kata Anom rem belakangnya lagi rusak dan kalau sering dipakai bisa panas dan bau karet. Yang gue lupa saat itu, gue lagi nggak di aspal, melainkan di pasir. Slip lah ban depan gue.

Untuk sepersekian detik pada momen ini, gue membatin, "Wah, bakal jatuh nih. Yaudah." Gue pasrah.

Gue menjatuhkan diri dengan kondisi motor miring ke kiri, untuk mengurangi dampak kecelakaan. Untungnya gue jatuh di depan warung makan, sehingga ada beberapa orang yang menolong gue dan mengangkat motornya. Ibu-ibu penjaga warung juga berbaik hati memberikan gue segelas air hangat.

Gue syok. Selama hidup gue, ini pertama kalinya gue kecelakaan. Meskipun lebih pas dibilang 'nggak ada apa-apa tiba-tiba jatuh' atau dengan kata lain, goblok.

Setelah meneguk segelas air yang entah apa fungsinya buat gue saat itu, gue mengecek kondisi badan gue. Ada luka di punggung tangan dan telapak tangan kiri akibat tergesek. Gue juga merasakan nyeri di bagian lutut kiri. "Oke, kayaknya nggak terlalu parah," gue membatin. Gue langsung cuci tangan untuk membersihkan lukanya agar steril.

Keadaan motor Anom juga sepertinya nggak ada masalah. Hanya tempat lampu sein kirinya patah dan sudah diberi selotip.

Segera setelah membayar air minum (iya, ibu-ibunya minta bayar) dan mengucapkan terima kasih ke mereka yang membantu, gue tuntun motor gue ke Indomaret yang tak jauh dari sana.

Di Indomaret, gue mencuci lutut yang terluka dan membeli Betadine. Gue duduk di depan Indomaret sambil meneteskan Betadine ke luka-luka gue.

Selesai mengobati luka, gue membuka GPS untuk mengecek lokasi saat ini. Gue ada di Candi, salah satu daerah di Sidoarjo. 25 kilometer telah gue lewati. Gue galau, apakah gue harus lanjut ke Malang atau kembali ke Surabaya. Di kondisi kayak gini, nggak mungkin gue telepon orang tua. Gue juga nggak punya kenalan daerah sini. Akhirnya dengan nekat, gue kembali melanjutkan perjalanan ke Malang.

Singkat cerita, gue tiba di Malang 3 jam kemudian. Gue sudah cek lokasi acara untuk besok dan mencari penginapan murah di dekatnya. Tadinya gue ingin menginap di kos teman supaya murah, tapi ternyata Neneknya lagi mengadakan pesta pernikahan di rumahnya. Nggak enak aja gue ikutan, apalagi gue nggak bawa batik.

Setibanya di penginapan, gue malah demam. Gue berbaring di kasur susun sambil melihat ke langit-langit. Setahu gue, seseorang yang demam setelah luka itu artinya mereka sudah kena infeksi. Apalagi demamnya infeksi, kalau nggak segera diobati, akibatnya bisa mati.

Gue panik.

Gue juga baru ingat kalau gue lupa beli perban, jadi selama perjalanan, tangan gue tertiup oleh debu tanpa henti. Sebuah bentuk kebodohan yang luar biasa.

Untungnya jam 4 pagi demam gue turun secara tiba-tiba. Rasanya kayak lagi kebelet boker, susah keluar, pas keluar rasanya plong. Sensasi itu yang gue rasakan. Gue jadi bisa tidur.

Paginya, kaki gue sakit dan nggak bisa ditekuk. Perih rasanya untuk menginjakkan kaki dan berjalan. Alhasil, hari itu gue mendokumentasikan Benakribo dengan kaki pincang. Ballroom tempat talkshow berlangsung juga terletak di lantai dua hotel tanpa lift menuju kesana. Sukses gue jadi kayak kakek-kakek tukang foto keliling. Syukurlah hari itu berjalan lancar. Setelah acara, gue dan Benakribo lanjut nongkrong dulu. Gue jadi ketemu istrinya serta anaknya yang lucu. Gue juga kenalan dengan teman-teman Benakribo yang ikut nongkrong bareng kami.

Keesokan harinya, gue pulang ke Surabaya dengan keadaan kaki masih sakit. Untuk menyiasatinya, gue duduk di kursi penumpang sementara kaki gue ada di rem dan di perseneling.

-

Dua minggu berlalu, kaki gue masih terasa sakit. Gue tanya ke teman-teman harus ngapain kalau kaki begini, karena gue nggak pernah periksa ke dokter sendiri sebelumnya. Banyak yang menyarankan gue untuk datang ke poliklinik. Gue akhirnya mencoba mendatangi salah satu rumah sakit dekat kosan gue di sela-sela kuliah.

Gue tiba di lobby rumah sakit dan menuju ke meja resepsionis.

"Permisi, Mbak," sapa gue, malu. "Anu... Kaki saya sakit... Jatuh dua minggu lalu... Belum sembuh... Harus ke mana ya?" tanya gue terbata-bata saking malunya.

"Bisa ke poli, Mas, tapi sudah tutup kalau siang begini. Coba ke IGD," jawab penjaga resepsionisnya. Ia juga menunjuk ke arah lorong kecil di sebelah mejanya.

Gue pun mengikuti arah yang ditunjuk. Sampai di IGD, ada perawat yang bertanya ke gue, "Mas mau ke mana?" Perawat ini seakan takut melihat ada pria besar dengan baju kedodoran dan kaki pincang masuk daerah kekuasaannya.

"Anu... Kaki saya sakit... Jatuh... Dua minggu lalu... Belum sembuh... Harus ke mana ya?" tanya gue makin terbata-bata karena lelah menyeret kaki dari resepsionis ke IGD.

Perawat menjawab, "Kalau itu silahkan ke poli, Mas. Bisa tanya ke resepsionis di depan."

Seketika rasanya gue pengen meledak.

"Tapi kata resepsionis harus ke sini, Mbak?" tanya gue, heran.

"Nggak bisa Mas kalau di sini. Cuma untuk kondisi darurat," jawab perawat.

Dengan gondok sekilo di belakang leher dan rasa kesal, gue pergi meninggalkan rumah sakit dan kembali ke kampus.

"Cok, kakimu nggak sembuh-sembuh, deh," kata Tian, teman gue, ketika melihat gue pincang saat berjalan.

"Iya, cok. Periksain lah," timpa Nouvend, teman gue yang lain.

"Temenin aku lah kalau gitu. Aku udah males sumpah, ngeri salah lagi aku di sana," rayu gue ke mereka.

"Moh. Aku mau tidur," jawab Tian.

Nouvend dengan baik hati mengiyakan, "Ya sudah aku temani, tapi antar aku pulang, ya?"

"Gampang itu, yang penting kakiku bener dulu," jawab gue.

Malamnya gue dan Nouvend pergi ke Rumah Sakit Umum Daerah, supaya dapat penanganan yang murah.

Sesampainya di sana, gue memarkirkan motor di parkiran yang jaraknya jauh. Untuk sampai ke lobby-nya juga harus menanjak terlebih dulu.

"Ven, gendong," melas gue.

"Moh, cok. Gelundungan sana," jawab Nouvend, ketus.

Setelah gue berguling sambil dibantu Nouvend, kami tiba di lobby rumah sakit. Nouvend tampak terkesima, "Wah, Lobby-nya keren, ya. Nggak kayak rumah sakit. Lebih mirip hotel."

"Rumah sakit 'kan juga hotel? Untuk yang sakit? Bedanya sekamar bisa bertiga dan toiletnya miring aja."

"Beda, goblok," jawab Nouvend makin sebal.

"Eh, by the way," gue bertanya, "nggak jadi periksa deh, ya? Aku ngeri salah lagi..."

"WTF." Nouvend menyebut tiga alfabet ini dengan lantang, "Terus kita jauh-jauh ke sini buat apa? Sini, biar aku yang tanya."

Kami berjalan ke IGD dan mendatangi seorang mbak-mbak berjas putih. Nouvend lalu bertanya ke mbak tersebut, "Mbak, teman saya dua minggu yang lalu kecelakaan, tapi sampai sekarang kakinya masih sakit. Harus ke mana ya, Mbak?"

Mbak itu menjawab, "Harusnya sih ke dokter spesialis tulang, tapi malam ini dia lagi izin. 

Yang ada di sini cuma dokter jaga aja."

"Oh, begitu Mbak...," jawab gue memelas.

"Paling kalau mau, kami cek dulu di sini. Nanti baru ke dokter spesialis. Gimana?"

Nouvend melirik ke arah gue, menunggu jawaban. Daripada nggak dapet info apa-apa, gue iyakan saja, "Iya, Mbak. Nggak apa-apa."

"Ya sudah, Masnya yang satu bisa tolong urus administrasi dulu, ya. KTP-nya di bawa."

Setelah gue memberikan KTP gue ke Nouvend, dia pergi ke meja depan ruang IGD dan perawat menyuruh gue berbaring di ranjang. Dokter kemudian memeriksa gue terkait tekanan darah serta bertanya bagian mana yang masih sakit.

Beberapa saat setelah dokter selesai memeriksa, seorang perawat mendatangi gue. Ia berkata, "Mas, jadi karena yang sakit tuh daerah sini, maka kami harus foto bagian telapak kaki, pergelangan kaki, betis dan lutut, ya."

"Oke," balas gue pasrah.

"Biayanya jadi Rp1.400.000,00."

Buset. Foto kaki aja harganya mahal. Padahal sebelumnya gue sempet cek di Internet, biaya RSUD seharusnya tidak terlalu mahal. Kalau kayak gini sih, gue jadi fotografer kaki aja. Nggak capek, duit berlimpah.

Sebagai seorang mahasiswa rantau miskin, gue mencoba bernegosiasi dengan berkata, "Wah. Kira-kira bisa dikurangi nggak, Mbak? Yang penting dulu aja gitu?"

Susternya berpikir sejenak sambil melihat ke arah gue dengan tatapan menghakimi, lalu berkata, "Kalau yang penting sih bagian pergelangan kaki sama lutut, Mas, karena tadi Mas bilang sakitnya di situ. Kalau dua itu aja jadi Rp600.000,00."

"Oke, dua itu aja," tegas gue supaya nggak dapet biaya lain lagi.

Sejurus kemudian perawat membawa gue ke lantai dua dan masuk ke ruang foto ronsen. Ada mesin yang besar seperti tembakan laser di film-film fiksi sains dengan tinggi hampir satu ruangan. Nggak heran harganya mahal, kameranya ya juga mahal.

Dokter kemudian membaca hasil foto gue, "Kami lihat kakinya nggak kenapa-kenapa. Nggak ada yang geser atau retak. Bisa jadi kakinya trauma. Paling dikasih salep aja, Mas."

Gue membaca situasi ini sebagai penguras dompet lainnya. Sebelum dokter melanjutkan, gue membalas, "Salepnya boleh saya tebus di luar, Dok? Ada apotek langganan soalnya dekat rumah," jawab gue, ngibul.

"Boleh. Saya tulis resep aja, ya," jawab dokter sambil pergi meninggalkan gue.

Syukurlah, dompet gue aman.

Setelah dokter memberikan hasil foto dan resep, gue dan Nouvend pamit kepada dokter dan teman-temannya. Gue berjalan menuju tempat pembayaran. Biayanya enam ratus ribu dan mereka tidak menerima kartu debit. Kami akhirnya harus berjalan dulu ke ATM yang terletak di luar lobby. Saat kami keluar dari lobby, kami melihat tulisan neon besar bertuliskan RSUD di seberang jalan.

"Lah, itu RSUD. Pantesan mahal, cok. Kita di rumah sakit swasta...," keluh gue ke Nouvend.

Setelah gue membayar biaya foto, kami pun pulang.

Di jalan, gue curhat ke Nouvend, "Duh, duitku abis nih sekarang gara-gara foto gitu doang."

"Iya, cok. Mahal banget. Aku jadi kamu sih ogah bayar segitu," keluh Nouvend. "Tapi ya mau gimana lagi... Kalau nggak kecelakaan juga nggak akan begini 'kan?"

Iya juga, sih. Gue nggak akan bayar segini kalau nggak kecelakaan dan gue nggak akan kecelakaan kalau gue nggak ada niat ke Malang.

Kami berhenti di lampu merah. Gue tiba-tiba kepikiran, setimpal nggak sih, jumlah yang gue bayar ketimbang pengalaman yang gue dapat? Gue nggak akan jadi gini kalau gue nggak ke Malang, ketemu orang-orang baru, dan ngerasain sensasi pergi ke luar kota.

"Kayaknya sih, worth it," gue membatin, sembari menarik gas seraya lampu hijau menyala.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
  11. 11
  12. 12
  13. 13
  14. 14
  15. 15
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun