Amarta Nadia Tamara, gadis kecil  yang nyaris tak memiliki tujuan hidup. Antah berantah dipesisir pantai yang jauh dari perkotaan. Entah sudah berapa lama, namun tak terbesit sedikitpun niat dihatinya untuk kembali ke kota asalnya.
Amarta mempunyai paras yang sangat cantik dan anggun. Tatapan yang sendu dan mata indah miliknya mampu memikat raga siapa pun yang tak sengaja memandangnya. Senyumannya bak air tenang yang selalu mengalir, sejuk dan sangat membahagiakan. Tutur katanya selalu mempesona, membuat pendengar terhanyut dalam kata kata yang keluar dari apitan gua merah muda itu.
Kebijaksanaan dan kecerdasan yang dikaruniai kepadanya selalu ia syukuri dan ia manfaatkan untuk sesuatu yang bermanfaat. Sebenarnya ia ingin mati, tapi ada sesuatu yang buat ia  ingin bertahan hidup hingga kini. Lalu, apa yang sebenarnya melatarbelakangi semangat Amarta untuk terus ingin hidup?
"Namun, kepada siapa aku harus bersyukur? Apa yang harus aku sembah? Di dunia bagian manakah aku berada? Apa arti kehidupanku? Dengan tujuan apa aku dilahirkan? Apa ini? Apa semua ini?",ucap batinnya.Inilah perjalanan Amarta, gadis lugu yang ingin mencari kebenaran dan jati diri tentang dirinya sendiri.
Sore itu, bumi Amarta mulai menggelap. Hangatnya senja seketika hilang begitu saja. Ombak samudera ikut memperlihatkan amarahnya. Tampak semilir badai seperti akan memakan habis pantai itu. Awan putih pun sudah tak sudi menampakkan diri digantikan dengan kehadiran guntur dan petir yang sangat menggelegar. Hingga tubuh pun terasa sangat bergetar saat mendengarnya. Amarta pun langsung masuk ke gubuk ditepi pantai yang ia bangun sejak pertama kali ia terjebak dipulau itu.
Seseorang muncul dari sudut jalan.
"Dunia sedang tidak baik-baik saja", ucapnya menggigil ketakutan.
Ia terus berjalan menapaki jalanan gelap dan sangat sunyi itu dan tiba tiba langkahnya terhenti. Pandangannya terarah pada gubuk Amarta dengan dihiasi lampu yang sangat redup, bahkan nyaris gelap sempurna.
Tok..tok..tok..
Terdengar ketukan tangan dari seseorang, namun tak ada sahutan dari siapa pun. Alhasil, ia pun mendobrak paksa gubuk itu dengan menggunakan kayu miliknya yang selalu ia bawa kemana-mana. Amarta tersentak kaget.
"Si.. siapa kau?", ucap Amarta terbata-bata.
"Tenanglah nak, aku hanya ingin singgah dan numpang berteduh karena diluar hujan sangat deras", ucap seorang pria paruh baya dengan tongkat kayu ditangannya.
"Tapi, apakah aku boleh numpang berteduh disini sampai besok hari?", lanjutnya.
"Boleh saja, pak. Tapi gubukku ini sangat kecil, ragaku seorang diri cukup tertampung disini saja sudah syukur. Tak ada cara lain, ku rasa kau juga harus membangun sebuah gubuk yang didirikan disebelah gubukku ini, pakailah kayu dan bambu itu", ucap Amarta sambil menunjuk sisa peralatannya untuk membangun gubuk yang ia tempati sekarang.
Walaupun sudah sedikit usang dan ada beberapa kayu yang sudah tak layak pakai, namun Amarta berharap bapak tua itu bisa merangkainya menjadi sebuah gubuk yang layak untuk ditempati.
"Apakah aku harus membantumu, pak?", tanya Amarta karena kasihan melihat kondisi bapak itu yang menggunakan tongkat untuk berjalan.
"Tak perlu, kau pikir tongkatku ini ku pergunakan untuk berjalan? Salah besar! Sejarah dari tongkat ini yang membuatku selalu membawanya kemana pun aku pergi. Tongkat ini adalah pemberian terakhir dari istriku sebelum ia pergi entah kemana", jelas bapak itu.
"Sekarang kau harus masuk ke gubukmu, tinggalkan aku sendiri. Beri kepercayaan padaku untuk bisa membangun gubuk ini sendirian tanpa bantuan orang lain? Lagi pula, aku sudah terbiasa mengerjakan apa pun seorang diri, jadi tak perlu risau", lanjut bapak itu.
"Baiklah, semoga berhasil dan cepat selesai agar kau pun bisa masuk ke gubuk buatanmu dan segera beristirahat", ucap Amarta.
Setelah beberapa saat, akhirnya berdirilah sebuah gubuk lain disebelah gubuk tempat tinggal Amarta. Mereka pun tertidur pulas diiringi dengan rintik kecil hujan disekitar pantai itu.
Keesokan harinya embun langit mulai menyapa hangatnya mentari pagi. Serpihan daun berserakan dimana-mana. Pasir putih pantai itu berwarna sangat cerah seakan ingin menyambut hariku dengan penuh kehangatan dan kebahagiaan. Angin pagi itu juga tak terlalu dingin, dan tak terlalu panas.
"Cuaca yang ideal", ucap pak tua itu dalam hati sambil menghirup udara pagi itu.
"Nak, sepertinya kamu sudah lama tinggal disini", ucap bapak itu.
"Bukan sudah lama, tapi inilah duniaku. Dunia pertamaku", jawab Amarta.
"Lho, apa maksudmu?", tanya bapak itu.
"Aku adalah anak yang dibuang oleh orang tuaku sendiri, kehadiranku sepertinya malapetaka bagi mereka", jawab Amarta.
Pria itu pun terdiam, lidahnya terasa kelu dan terhenti begitu saja disertai perasaan yang pedih saat mendengar ucapan Amarta. Amarta berdiri dan memberikan secarik kertas pada pria tua itu. Dibacanya surat itu dan hanya tertulis
'ANT'
'Happy birthday peri kecilku'
"Lihatlah, bahkan aku tak tahu siapa namaku, hanya tertera ANT. Orang tuaku meninggalkanku ditepi pantai bersama sehelai kain dan secarik kertas ini, hanya berisi identitas kecilku saja", ucap Amarta.
"Dan coba lihatlah, dia membuangku dihari ulang tahunku", ucap Amarta sambil tertawa puas penuh kepedihan.
"Apakah aku boleh memanggilmu Amitha? Sekarang kau sudah punya nama! Nama yang indah", ucap bapak itu.
"Baik, terserah padamu saja ingin menamaiku apa", jawab Amarta.
"Tapi, bolehkah aku tahu namamu pak?", tanya Amarta.
"Namaku Glend", jawab bapak itu.
"Mau ku bantu mencari orang tuamu?", tanya pak Glend.
"Sepertinya saya tak akan pernah mau kembali lagi ke dekapan kedua orang tuaku. Toh, mereka juga tak pernah mengharapkan kehadiranku!", ucap Amarta dengan setetes air bening yang jatuh dari kedua bola mata indahnya itu.
"Apakah aku boleh bertanya sesuatu?", tanya pak Glend.
"Tentu saja!", jawab Amarta.
"Mengapa kamu tampak seperti gadis kota dan berpendidikan. Menurutku kau adalah gadis yang cerdas dan sangat tangguh. Kau bisa bertahan hidup seorang diri disini. Semangat hidupmu perlu ku acungi jempol, bahkan jempol pun tak cukup untuk meluruhkan kekagumanku terhadap kobaran api jiwamu itu", ucap pak Glend.
"Apakah kau akan percaya dengan apa yang akan ku katakan? Kau tau diujung selatan itu ada sebuah goa. Di dalam goa itu terdapat banyak sekali buku-buku pengetahuan, mainan, dan sebagainya. Ketika aku masuk kesana, aku seperti sedang berada  di dunia lain", jawab Amarta.
"Jangan suka berbohong, nak. Mana ada buku dipulau terpencil seperti ini", sahut pak Glend.
Amarta berjalan ke arah goa itu diikuti dengan langkah kecil pak Glend. Ternyata, memang benar adanya. Apa yang dikatakan Amarta adalah sebuah kebenaran.
Tampak tersusun rapi buku-buku pengetahuan, majalah, novel, koran, dan seluruh jenis buku lainnya. Goa itu bak perpustakaan dalam kota. Disisi ruang lainnya terlihat beberapa mainan yang digantung menggunakan tali, seperti taman kanak-kanak.
"Disinilah aku belajar", ucap Amarta.
"Lalu, bagaimana caramu belajar membaca? Siapa yang mengajarinya?", tanya pak Glend.
"Sebelum dirimu, pernah ada seorang wanita buta datang menghampiri pulau terpencil ini. Dia bilang anak perempuannya telah meninggal dunia akibat tenggelamnya kapal yang ditumpangi anaknya tersebut. Dia kesini untuk mengenang anaknya itu. Dialah yang mengajariku banyak hal, mulai dari membaca, menulis, dan lain sebagainya. Darinya, aku ingin menjadi seorang dokter terkenal. Namun, pada suatu pagi ketika aku terbangun dari tidurku, dia menghilang begitu saja bak ditelan bumi tanpa meninggalkan jejak apa pun. Aku sudah menganggapnya sebagai temanku, tapi dia pun juga pergi meninggalkanku. Hingga cita-citaku untuk menjadi seorang dokter pun aku lupakan. Aku terpukul karena kepergiannya, aku harus menjalani hidup seorang diri lagi. Aku sangat menyanyangi dan merindukannya namun aku sangat membencinya", ucap Amarta.
"Namun, apa yang membuat kau datang ke pulau terpencil ini?", tanya Amarta.
"Aku mencari istriku yang sudah lama menghilang. Sungguh, aku sangat merindukannya", jawab pak Glend.
Ia meneteskan air mata lalu langsung melenggos pergi dengan sepatah dua patah katanya itu.Ia pergi menuju laut dan membasuh wajahnya.Â
Setelah itu, ia kemudian membentangkan sebuah kain dan melakukan sebuah gerakan diatasnya yang membuat Amarta binggung. Amarta memandangi dan mengamati gerakan itu sampai selesai.Â
Aneh, melihatnya membuat hati dan pikiran Amarta menjadi tenang, sangat tenang.
"Gerakan apa itu?", tanya Amarta.
"Aku baru saja melaksanakan sholat", jawab pak Glend.
"Sholat? Apa itu sholat?", tanya Amarta.
"Sholat adalah bentuk rasa syukur kita kepada sang pencipta. Sholat adalah sebutan untuk ibadah umat agama Islam", jelas pak Glend kepada Amarta.
"Entah mengapa, hatiku menjadi tersentuh ketika sedang memandangmu tadi yang katamu sedang melakukan sholat itu", ucap Amarta.
"Kau tidak pernah melaksanakan sholat?", tanya pak Glend.
"Aku tak punya agama", jawab Amarta.Bapak itu tersentak kaget.
"Apakah punya agama itu penting?", tanya Amarta.
"Sangat penting, karena dengan mempunyai agama maka kitapun mempunyai kepercayaan kepada sang pencipta yang telah menciptakan kita dengan wujud yang sebaik-baiknya. Sholat juga merupakan bentuk rasa syukur kita atas penghidupan yang sudah diberi oleh sang ilahi", jawab pak Glend dengan menjelaskannya secara perlahan kepada Amarta.
"Lalu, apakah kau mau mengajarkanku Islam? Aku jatuh cinta pada Islam", tutur Amarta.
"Tentu saja!", jawab pak Glend.
Sebulan telah berlalu. Mereka pun telah menjadi begitu akrab. Bahkan, Amarta telah menganggap pak Glend sebagai ayahnya sendiri.
Sejak memeluk islam, jiwa Amarta menjadi lebih tenang. Bukan hanya jiwa, tapi raganya pun sangat menenangkan. Hatinya menjadi lebih hangat. Setidaknya kini Amarta meyakini satu hal, yakni Islam. Amarta menjadi manusia yang lebih baik karena Islam.
Amarta pun diajak untuk pergi ke kota dan mewujudkan cita citanya yang ingin menjadi seorang dokter. Biasanya Amarta menolak, namun tidak dengan kali ini.Â
Amarta mendadak punya ambisius untuk keluar dari keterpurukannya selama ini. Ia ingin bergerak maju demi mencapai apa pun yang dia inginkan. Bersama Allah, Amarta mampu melakukan apa pun.
"Sebentar pak, saya ingin membuat tasbih dari butiran-butiran mutiara disini untuk selalu kupergunakan ketika aku sedang melaksanakan sholat agar aku tak pernah melupakan tempat ini. Tempat yang sangat berjasa untukku. Tempatku berpijak dengan segala keluguanku. Lihatlah butiran pasir ini, aku akan sangat merindukannya. Suara ombak yang selalu menemani hening malamku akan ku simpan baik-baik didalam memori kecilku. Dinginnya malam dan hangatnya mentari pagi dipulau ini akan selalu terasa ditubuhku", ucap Amarta.
"Baik nak, silahkan. Aku akan menunggu diseberang ujung jalan sana", ucap pak Glend dengan senyuman penuh makna sehabis mendengar ucapan Amarta tadi.
Amarta pun merangkai mutiara putih itu hingga menjadi tasbih yang sangat indah.
"Selamat tinggal pulau, aku akan kembali dan memperlihatkan kejayaanku kepadamu nanti. Tunggu aku. Tenang saja, takkan  ada yang bisa menggantikanmu dihatiku. Aku takkan melupakan hari-hari yang telah kita lalui bersama. Kau akan selalu menjadi tempat terfavorit di sanubari jiwaku, detik ini, besok, dan selamanya", tutur batin Amarta.
"Ayo pak, kita berangkat. Saya sudah siap", ucap Amarta.
"Baiklah, nak. Ayo kita berdoa terlebih dahulu sebelum berangkat", ucap pak Glend.
Amarta pun pergi ke kota bersama pak Glend. Sesampainya dikota, Amarta sangat kaget dengan kehidupan disana. Amarta akan menjalani kehidupan yang sangat berbeda disini.
Dikota, Amarta ditumpangi sebuah rumah oleh pak Glend.Tak hanya itu, Amarta pun dibiayai sekolah oleh pak Glend hingga menjadi sarjana kedokteran.
Selama mengenyam pendidikan kedokteran tentunya banyak sekali masalah yang dihadapi Amarta, mulai dari lingkungan yang baru, pergaulan dan interaksi sosial dengan orang asing, dan pelajaran yang membuat otak Amarta ingin pecah menjadi kepingan-kepingan science.
 Namun, Amarta selalu ingat janjinya kepada pulau itu, bahwa ia akan kembali lagi kesana setelah mancapai kejayaaannya yakni dengan menjadi seorang dokter.
- 18 tahun kemudian -
"Pak, alhamdulillah Amitha lulus. Terima kasih atas semuanya. Jasamu takkan bisa saya lupakan. Saya akan selalu mendoakan yang terbaik untukmu. Saya juga mendoakan supaya istrimu lekas kembali ke pelukanmu. Saya akan membalasnya perlahan. Sekarang, saya izin pamit ke pulau itu untuk sementara waktu. Saya akan kembali secepatnya dan mengabdikan diri sebagai seorang dokter ternama dikota ini", ucap Amarta.
"Terima kasih juga telah merawatku selama ini. Maaf kalau aku seringkali merepotkanmu karena masa tuaku yang sebatang kara ini. Aku sangat bahagia dengan kelulusanmu. Semoga gelar doktermu itu akan selalu bermanfaat bagi semua orang. Hati hati diperjalanan, cepat kembali kesini. Aku menunggumu", ucap pak Glend.
Amarta pun bersiap dan bergegas pergi ke sanubari jiwanya itu. Sesampainya disana, dari kejauhan terlihat dua gubuk yang berdiri disana. Amarta meneteskan air mata. Amarta sangat merindukan semuanya.Â
Amarta mendekati gubuk kosong itu dan sesekali membelai gubuk itu dengan penuh ketulusan.
"Hai semua, aku kembali. Lihatlah aku telah menepati janjiku agar kembali setelah mencapai kejayaanku. Aku seorang dokter. Dokter Amitha", teriak Amarta.
Sejak pak Glend menamai Amarta sebagai Amitha, hingga sekarang nama Amarta adalah Amitha, bukan Amarta.
Tak hanya ke gubuk, Amarta juga pergi ke goa itu, tempat pertamanya dalam menapaki ilmu pengetahuan. Tampak buku-buku dan mainan yang sudah usang dan penuh dengan debu.Â
Amarta membuka sebuah buku dan menyeka sedikit debu diatas sampulnya, terselip secercah surat didalamnya. Amarta membaca surat itu.
'Amarta Nadia Tamara, putriku tercinta'
Kau tau?
Jiwaku tertusuk.
Laraku meronta.
Imajiku tertikam.
Anganku merintih.
Kau tau karena apa?
Karena nantinya kehangatanmu bukan lagi milikku.
Kadang kala semua terasa seperti runtuhan kerikil
Kadang kala semua terasa seperti bongkahan api
Kadang kala semua terasa seperti gemuruh yang menakutkan
Tapi aku percaya kau adalah anak yang kuat. Kau pasti bisa melewati tantangan apa pun dalam hidupmu.
Aku bahkan tak pantas disebut ibu untukmu. Beribu maaf pun takkan cukup untuk menebus semua kesalahanku. Aku telah gagal menjadi seorang ibu untukmu namun aku akan mendoakanmu, selalu.
doaku selalu menyertaimu,
ibumu
Setelah membaca keseluruhan surat itu, Amarta terisak sangat keras. Ia hancur, rapuh, patah, dan tak berdaya.
"Ternyata namaku adalah Amarta, bukan Amitha", ucap Amarta dalam hati.
Tiba-tiba Amarta ketimpaan sebuah kamera kuno. Amarta mencoba menghidupkan dan memutar video yang ada dikamera tersebut.
Amarta!
Amortha!
Aku ingin memberi nama anakku Amarta!
Tapi aku ingin memberi nama anakku Amortha!
Terlihat perdebatan antara sepasang suami istri didepan seorang bayi dalam menentukan nama anaknya.
Tampak juga proses persalinan kelahiran seorang bayi mungil yang sangat rupawan diiringi teriakan seorang ibu untuk melahirkan satu nyawa ke dunia ini. Sayangnya, wajah yang ditampilkan dikamera itu tidak terlihat jelas.
"Ayah..Ibu..", ucap Amarta memanggil ayah dan ibunya sambil terisak tangis yang sangat dalam.
Setelah mengetahui semua itu, Amarta pun memutuskan untuk kembali pergi ke kota dengan membawa surat dan kamera itu.
"Maafkan aku pulau, aku harus kembali lagi ke kota untuk memecahkan sebuah teka-teki ini. Aku berjanji, aku akan kembali dengan membawa kedua orang tuaku kesini bersamaku", tutur batin Amarta.
Amarta perlahan meninggalkan pulau itu dengan tatapan yang kosong. Batinnya sangat rapuh, hatinya tertusuk, benaknya tertikam.Â
Namun, Amarta lagi dan lagi harus menjadi perempuan yang tangguh demi mencari sebuah kebenaran ini.
"Ya Allah, sang maha segalanya, kuatkanlah insan yang lemah tak berdaya ini. Bantu aku ya rabb", pinta Amarta kepada Tuhan-Nya.
Sesampainya dikota, Amarta mencoba untuk tegar dan menjalani kehidupannya seperti sediakala sambil mencari informasi tentang teka-teki hidupnya itu. Gadis itu sangat pemberani, semangatnya benar-benar membara.
Terlihat dipenghujung rumah sakit itu beberapa insan terpaku, tergeletak tak bedaya, dan yang lainnya berlumuran air bening yang membanjiri sekujur tubuhnya.
Amarta terdiam, dadanya ikut terisak sejenak melihat mereka, raganya membeku, batinnya teriris.
"Dokter, ada seseorang yang harus dioperasi. Aku butuh bantuanmu", ucap seorang perawat menghampiri Amarta.
"Baik, silahkan tunggu diruang operasi", jawab Amarta.
"Wan..wanita itu?", ucap Amarta dalam hati.
Wanita buta yang dulu telah mengajarkan Amarta tentang segala hal kini terbaring lemah kaku tak berdaya dihadapan Amarta. Ia mendapat pendonor mata seseorang yang tentunya memiliki hati yang sangat mulia. Amarta pun segera melakukan tugasnya.
Operasi berlangsung, semua area ruangan terasa dingin membuat Amarta sedikit memeluk badannya sendiri. Sebenarnya, ruangan itu diiringi rintih tangis lara Amarta, namun ia harus tetap bersikap profesional demi keberhasilan dan kelancaran operasi.
Dengan perlahan Amarta menyeka sedikit air matanya dan menarik napas lalu membuangnya. Amarta sangat merindukan wanita itu, tapi Amarta membencinya.Â
Amarta benci dia karena pergi secara tiba-tiba dan meninggalkan Amarta sendirian. Sebab dia pula Amarta sempat mengurungkan niat untuk melupakan impiannya. Perasaan Amarta tak karuan.
Perasaan sedih, senang, marah, kecewa bercampur aduk didalam satu sanubari Amarta.
Akhirnya operasi pun selesai. Amarta pergi dari ruangan itu dan mencoba melihat keadaan pendonor.
"Pak Glend?", ucap batin Amarta.Ternyata pak Glend adalah pendonor mata dari wanita itu.
"Mengapa? Apa maksud dari semua ini?", tanya Amarta didalam benaknya sendiri.
"Pak, apakah kau mengenali suaraku?", tanya Amarta kepada pak Glend.
"Amitha! Nak,kau disini?", jawab pak Glend sambil meraba sekitar.
"Apa ini pak? Kau tak boleh seperti ini. Kau harus selalu melihat taatku kepada sang ilahi karena kaulah yang mengajarkan ku apa itu agama Islam. Kau harus selalu melihat baktiku kepada negeri karena kaulah yang membiayai sekolahku sampai aku menjadi dokter seperti sekarang. Kau harus melihat bahwa aku telah menemukan sebuah bukti dan jejak tentang kedua orang tuaku. Tapi mengapa? Mengapa kau tak lakukan semua itu? Mengapa kau donorkan kedua matamu untuk wanita itu? Kau tau dia siapa? Dia adalah wanita buta yang dulu pernah aku ceritakan. Dia yang lebih dulu datang ke pantai itu sebelum dirimu", ucap Amarta.
Suasana ruangan itu menjadi hening seketika. Tak ada jendela yang dibuka, namun ruangan itu penuh dengan angin yang cukup besar menyelimuti percakapan Amarta dan pak Glend.
"Dia adalah jiwaku. Separuh nadiku berada dijiwanya. Dia istriku", jawab pak Glend.
"Mmm...maksudmu?", tanya Amarta terbata-bata.
"Kau telah menemukan istrimu?", lanjut Amarta.
"Ya, akhirnya ku menemukannya! Dialah yang ku cari sampai ke belahan pulau kecil itu. Terjadi salah paham diantara kami. Dia mengira aku membuang dan mencampakkannya, padahal tidak sama sekali. Dia hanya terpengaruh omongan orang lain yang ingin menghancurkan rumah tangga kami. Saat itu, aku memang bekerja diluar negeri untuk mencari nafkah. Tapi, omongan orang sekitar yang menfitnahku melakukan yang tidak-tidak selama aku tak berada disisinya. Pikirannya sendiri yang berasumsi seperti itu. Tepat setahun setelah lahiran, dia membawa anakku entah kemana. Aku ditinggalkan seorang diri. Aku memutuskan pulang ke Indonesia setelah lama tak mendengar kabar darinya. Membatu dan terus mencari prasasti diri. Aku mematung tak bedaya. Sejak saat itu, hidupku berkelana. Aku terus mencarinya dari pulau satu ke pulau yang lainnya sampai pada akhirnya aku bertemu denganmu. Anakku seumur denganmu. Maka dari itu, aku telah menganggapmu sebagai anakku sendiri dan membiayai apa pun keperluanmu. Aku selalu merasa tenang dan tentram jika melihat senyuman terukir dibibirmu", jawab pak Glend.
Amarta menahan isakan tangisnya dan segera pergi ke ruangan operasi wanita itu.Â
Tibalah saatnya pembukaan perban mata bekas operasi wanita buta itu yang kini hampir bisa melihat seluruh isi dunia kembali. Amarta membukanya dengan perlahan dan sangat hati-hati. Seketika wanita itu mengernyitkan dahinya.
"A...Amarta? Putriku? Relung jiwaku? Tanggapan hatiku? Kau disini?", ucap wanita itu sambil menarik Amarta dalam dekapannya.
"Amarta? Siapa Amarta? Aku Amitha!", ucap Amarta.
Namun omongan itu ditepis begitu saja oleh Amarta karena kerinduannya kepada perempuan itu.
"Kemana saja kau? Aku merindukanmu, namun aku sangat membencimu. Mengapa saat itu kau tinggalkan aku begitu saja? Aku membutuhkanmu", ucap Amarta sambil melepas paksa dekapan hangat dari perempuan itu.
"Maafkan aku nak, aku tak mau terus merepotkanmu karena kebutaanku ini", jawabnya.
"Tapi, walaupun kau buta aku belajar banyak hal darimu. Aku pandai karenamu", ucap Amarta.
Amarta merasa hangat. Tanpa ia sadari, tetesan demi tetesan air bening itu jatuh dari kedua bola matanya. Seperti biasa, Amarta selalu merasa hangat jika berada disamping wanita itu, terlebih lagi didalam dekapannya.
"Tapi aneh, mengapa aku bisa melihat semuanya? Aku bisa melihat dunia kembali?", tanya wanita itu dengan penuh kebinggungan.
"Ini dunia. Kau ditakdirkan untuk melihat dunia ini kembali. Ada pendonor mata yang bahkan rela mati untukmu", jawab Amarta.
"Siapa?", tanya wanita itu.
Lalu, Amarta mengendong wanita itu menaiki kursi roda dan perlahan mendorongnya menuju ruangan pendonor.
"Ka..kamu? Mas Glend?", ucap wanita itu tersentak kaget.
"Hai An, ini aku. Aku menemukanmu tergeletak pingsan dipinggir gerobak sampah. Sebenarnya, beberapa hari terakhir ini aku telah menemukanmu, dan sering mengikutimu dari belakang. Kau buta. Mengapa An? Mengapa kau tak curahkan isi hatimu itu kepadaku? Mengapa kau tanggung sendiri masalah itu?", tanya pak Glend.
"Aku hanya tak ingin putri kita merasakan kejamnya dunia akibat ulahku", jawab wanita itu.
- 21 tahun yang lalu -
"Sayang, kau lapar? Aku akan memberimu makanan yang cukup", ucap Anatha sambil mengecup mesra kening sang buah hatinya.
Ketika kedua insan itu hendak menyebrang, truk dari arah kiri melenggos menabrak ke arah mereka. Semua penuh dengan darah. Terlihat suara ambulance dan langsung membawa kedua raga itu ke rumah sakit.
"Aku dirumah sakit?", tanya Anantha kepada seorang perawat.
"Lalu, dimana putriku? Dimana Amartaku?", lanjutnya.
"Putrimu sedang berada diruang operasi. Dokter berusaha keras untuk menyelamatkannya", jawab perawat.
Anantha panik. Pikiran dan hatinya berkecambuk menjadi jelmaan beribu ikatan tali yang sulit untuk dibuka. Dia hanya bisa menunggu diluar ruangan operasi.Â
Tak lama dari itu, keluar seorang dokter dari ruangan operasi dengan pakaian serba putih.
"Anda adalah ibunya?", tanya dokter.
"Benar. Saya ibunya", jawab Anantha.
"Mohon maaf, saya akan menyampaikan berita yang tidak mengenakkan. Amarta mengalami luka yang sangat dalam dibagian matanya sehingga diharuskan untuk dioperasi. Amarta mengalami buta total seumur hidup", jawab dokter.
Anantha membeku tak berdaya.
"Apa ini? Bagaimana aku harus mengatakannya kepada mas Glend?", tanya Anantha didalam hatinya.
Tanpa berpikir panjang, dia pun membuat keputusan untuk mendonorkan kedua bola matanya itu kepada Amarta, pujangga hatinya.
Sejak saat itu, Anantha mengalami kebutaan total menggantikan posisi Amarta.Â
Lalu Anantha membawa Amarta ke sebuah pulau terpencil dipesisir pantai dan membangun sebuah goa ilmu dengan memanfaatkan batu batuan yang ada.
Dia membawa buku dan mainan yang dibelinya dikota. Dia memasang dan menata buku-buku dan mainan yang kelak akan dibutuhkan oleh Amarta dalam bermain dan menuntut ilmu seorang diri dipulau itu.
Anantha menutup mata Amarta dan segera pergi meninggalkannya.
Selang beberapa tahun, Anantha kembali menjengguknya ke pulau itu. Ia berpura-pura menjadi sosok yang tidak dikenal. Ia mengunjungi putrinya dan tinggal selama beberapa bulan disana bersama Amarta.
Banyak hal yang ia ajarkan kepada Amarta hingga lepaslah rindu selama beberapa tahun tidak bertemu.Â
Sebenarnya, dia sangat sering mengunjungi putri kita, namun dia hanya bisa merasakan kehadiran Amarta dari kejauhan karena kebutaan yang dialaminya.
------
"Maafkan aku mas", ucap Anantha dan memeluk dan mengecup mesra pak Glend.
"I...bu? Ibu? Kau adalah ibuku?", tanya Amarta.
"A...yah? Ayah? Kau adalah ayahku?", lanjut Amarta.
"Maafkan ibu nak", jawab Anantha.
"Peri kecilku? Amarta Nadia Tamara? Kau putriku? Ternyata, kau bukan Amitha. Kau Amarta, peri kesayanganku!", jawab pak Glend.
Amarta keluar dari ruangan itu.
Laranya membisu, angan-angannya berkobar seakan ingin menggemparkan seluruh isi dunia.
 Dia sangat tidak menyangka bahwa yang membuat dia jatuh cinta pada islam dan membuatnya menjadi seorang dokter seperti sekarang adalah ayahnya sendiri.
Disisi lain, pak Glend juga sangat tidak menyangka bahwa gadis yang dia biayai selama ini adalah putrinya sendiri.
Tiba-tiba, datang seorang perawat menghampiri Amarta
"Dokter, passien yang bernama Glend sedang sekarat", ucap perawat.
Amarta panik dan segera bergegas menghampiri ayahnya. Melihat kondisi ayahnya, Amarta langsung mengambil tindakan medis.
Ternyata, ayah Amarta terkena serangan jantung mendadak. Sebenarnya pak Glend sudah sejak lama menderita penyakit jantung, dia mengalami pembengkakan jantung. Amarta lah yang selalu merawatnya. Amarta adalah saksi kesakitan dan kebangkitan pak Glend selama beberapa tahun ini.
"Periku? Apakah kau disini? Dekaplah hangat ayahmu ini nak, maafkan ayah", ucap pak Glend sambil meraba-raba sekitar.
"Aku mohon, panggil aku dengan sebutan ayah untuk terakhir kalinya", ucap pak Glend.
"A...ayah", ucap Amarta.Omongan itu seketika keluar dari bibir mungil Amarta.Â
Amarta pun langsung memeluk erat keras ayahnya itu.
Ketika Amarta hendak melepas dekapannya, ayahnya sudah tak bernyawa. Ayah Amarta telah menghadap sang ilahi. Cinta pertama Amarta memang telah pergi dari dunia, namun jiwanya akan tetap abadi dihati Amarta.
Kedua raga saling mendekap, namun raga yang lainnya bisu, membeku seperti mayat yang takkan pernah lagi kembali ke dunia ini.
Anantha pun langsung menumpahkan seluruh air matanya dan memeluk erat anak dan suaminya itu.
"Selamat jalan patriotnya Amarta. Beristirahatlah dalam damai, ayah", ucap Amarta dengan sekujur air matanya.
"Selamat jalan mas, tokoh utama yang selalu menjadi bagian favorit dihidupku, kau takkan bisa tergantikan oleh siapa pun, kau akan tetap abadi diruang jiwa dan ragaku", ucap Anantha.
Setelah proses pemakaman ayahnya yang dipenuhi dengan keluh dan air mata. Amarta dan Anantha pergi kembali mengunjungi pulau terpencil itu. Disana telah terukir kenangan indah bersama kedua orang tua Amarta.
"Hai, aku kembali. Namun, aku minta maaf karena aku hanya bisa membawa ibuku kembali. Kau bisa lihat ayahku sedang memandangku dari langit itu. Bintang yang paling bersinar itu adalah ayahku", ucap Amarta sambil terus menerus meneteskan air mata.Amarta dan Anantha sangat rapuh.Â
Namun mereka harus saling menguatkan agar Glend tidak ikut bersedih diatas sana. Hanya dekapan dan kecupan hangat saja yang bisa dilakukan satu sama lain untuk menguatkan kedua raga yang sebenarnya sangat tertikam hebat.
Tak selamanya yang terlihat menyedihkan benar benar ada dijalan yang sangat pedih.
Takdir memang seperti ini, sangat menarik. Semula kau ingin berkelana ke utara, tapi dia malah membuatmu terbang ke selatan, bahkan berpindah dengan sukarela.
Sejauh apa pun jarak memisahkan, jika semesta berkehendak maka kedua insan akan tetap bertemu diwaktu yang telah ditakdirkan.Â
Sekali lagi, ini merupakan permainan takdir.
Takdir memang selalu punya cara yang tak terduga agar selalu tampak mengejutkan.
Terima kasih Tuhan, karena telah mengukir sebuah takdir yang sangat berkesan bagiku.
Tuhan, berkati aku selalu.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H