Mohon tunggu...
Nadia Arsanti Putri
Nadia Arsanti Putri Mohon Tunggu... Mahasiswa - S1 Administrasi Publik

Seorang mahasiswi program studi S1 Administrasi Publik di Universitas Airlangga

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Urgensi Penerapan Kebijakan Cukai Gula sebagai Langkah Preventif Pencegahan Diabetes di Indonesia

20 April 2024   10:00 Diperbarui: 20 April 2024   10:27 219
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Obesitas dan diabetes mellitus merupakan masalah kesehatan utama di Indonesia. Berdasarkan Riset Kesehatan Dasar (2018), prevalensi obesitas pada orang dewasa meningkat dua kali lipat dalam 12 tahun terakhir, dari 13,9% pada tahun 2007 menjadi 21,8% pada tahun 2018. Sementara itu, jumlah diabetes mellitus pada penduduk dewasa juga meningkat pesat dari 5,7% pada tahun 2007 menjadi 8,5% pada tahun 2018 (Kemenkes, 2018). Peningkatan kasus obesitas dan diabetes mellitus tersebut dipengaruhi oleh beberapa faktor, dan salah satu penyebab utamanya adalah konsumsi gula berlebih (Prameswari & Widyawati, 2020). Data menunjukkan bahwa rata-rata konsumsi gula penduduk Indonesia terus meningkat. Pada tahun 2010, konsumsi gula per kapita adalah 7,86 kg per tahun, naik menjadi 8,8 kg pada tahun 2020 (Amelia & Adriani, 2020). 

Konsumsi gula dalam jumlah berlebih ini yang memicu peningkatan kasus obesitas dan diabetes. Oleh karena itu, upaya pengendalian konsumsi gula nasional dinilai sangat dibutuhkan. 

Salah satu kebijakan yang merekomendasikan diri adalah penerapan cukai gula. Pemerintah sendiri sejatinya sudah merencanakan kebijakan ini sejak tahun 2017 melalui Rancangan Undang-Undang Cukai Gula. Namun, RUU ini belum juga disahkan hingga saat ini.  Banyak negara, termasuk Indonesia, merekomendasikan penerapan pajak/cukai pada produk gula sebagai salah satu intervensi kebijakan untuk mengurangi konsumsi gula dan melindungi kesehatan masyarakat. Beberapa negara yang telah menerapkan kebijakan ini antara lain Meksiko, Estonia, Arab Saudi, Belize, Chile, dan Ekuador (Roache & Gostin, 2017).   

Penelitian menunjukkan bahwa cukai pada produk gula dapat secara efektif menekan konsumsi gula (Colchero et al, 2016; Nyantaki et al, 2021). Mengingat tingginya angka obesitas dan diabetes di Indonesia yang disebabkan konsumsi gula berlebih, penerapan cukai gula sangat dibutuhkan. Jika diterapkan secara maksimal, kebijakan ini diharapkan dapat meningkatkan harga gula di pasaran sehingga daya beli masyarakat terhadap produk dengan kandungan gula tinggi dapat menurun. Pada akhirnya, kebijakan cukai gula dapat membantu mengendalikan konsumsi gula, yang kemudian berkontribusi pada penurunan kasus obesitas dan diabetes di Indonesia serta meningkatkan kesehatan masyarakat. 

A. Konsumsi Gula di Indonesia Data Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan bahwa konsumsi gula nasional (per kapita) terus meningkat dari tahun ke tahun. 

Pada 2021, konsumsi gula mencapai 9,7 kg per kapita per tahun atau setara dengan 26,6 gram per hari. Angka ini melampaui rekomendasi WHO yaitu maksimal 25 gram tambahan gula per hari untuk orang dewasa dan anak-anak (WHO, 2015). Tingginya konsumsi gula terutama bersumber dari gula yang ditambahkan ke dalam makanan olahan dan minuman manis, bukan gula alami yang terdapat pada buah-buahan dan susu. Data menunjukkan kontribusi gula tambahan mencapai 80% dari total asupan gula penduduk Indonesia. Sisanya berasal dari sumber gula alami (Kemenkes, 2019).Berbagai studi epidemiologis telah membuktikan bahwa asupan gula berlebih berkontribusi signifikan pada peningkatan risiko obesitas dan diabetes melalui peningkatan indeks glikemik (Te Morenga et al., 2012). Oleh karena itu, upaya pengendalian konsumsi gula dinilai penting untuk dilakukan di Indonesia melalui berbagai kebijakan, termasuk cukai gula. 

  B. Kebijakan Cukai Gula di Negara Lain 

Beberapa negara telah lebih dulu menerapkan kebijakan cukai gula, baik dalam bentuk pajak maupun cukai. Berdasarkan penelitian dari British Medical Journal pada 2016, penerapan pajak gula sebesar 20% dapat menurunkan konsumsi minuman manis hingga 20% di berbagai negara (Colchero et al, 2016).   Sejumlah contoh kebijakan cukai gula di negara lain beserta dampaknya antara lain: i) chili: cukai gula sebesar 18% mampu menurunkan konsumsi minuman manis hingga 21,6% dalam 2 tahun pertama penerapan kebijakan. ii) Belgia: cukai soda US$ 0,068 (Rp 1.000) per liter berhasil menurunkan konsumsi soda hingga 35% dalam 5 tahun pertama.   iii) Meksiko: pajak gula sebesar 10% diikuti penurunan konsumsi minuman manis sebesar 5,5% hingga 12% dalam kurun 2014-2015. Berdasarkan data tersebut, terlihat bahwa kebijakan cukai/pajak produk gula cukup efektif dalam menurunkan konsumsi gula di berbagai negara, terutama pada minuman manis.

 C. Potensi Efektivitas Kebijakan Cukai Gula di Indonesia 

Merujuk pada pengalaman penerapan cukai gula di negara-negara tersebut, kebijakan serupa dinilai sangat potensial untuk diterapkan di Indonesia. 

Beberapa faktor yang mendukung antara lain:

 a) Tingginya konsumsi gula penduduk Indonesia, terutama gula tambahan pada makanan olahan dan minuman manis.

 b) Rendahnya kesadaran masyarakat tentang bahaya konsumsi berlebihan produk tinggi gula. Survei menunjukkan pengetahuan masyarakat Indonesia terkait gizi dan kesehatan masih minim (Kemenkes, 2019).

 c) Besarnya jumlah peredaran minuman manis kemasan di Indonesia, dengan pertumbuhan pasar rata-rata 8-10% per tahun. Pada 2018 tercatat konsumsi minuman bersoda mencapai 39,2 liter per kapita per tahun (Euromonitor, 2019). 

d) Faktor-faktor tersebut mendorong urgensi penerapan kebijakan cukai gula di Indonesia. Jika diterapkan dengan maksimal, kebijakan ini diperkirakan dapat menekan konsumsi gula hingga 20-30% seperti yang terjadi di Chili dan Belgia. 

Namun demikian, perlu diperhatikan bahwa Indonesia memiliki kondisi sosial ekonomi yang berbeda dari negara maju. Sebagian besar penduduk masih rentan terhadap kenaikan harga pangan. Oleh karena itu penerapan cukai gula memerlukan kajian mendalam agar tidak memberatkan masyarakat miskin dan tidak mengganggu ketahanan pangan nasional. 

D. Tantangan Penerapan Cukai Gula di Indonesia 

Beberapa tantangan yang diperkirakan muncul dalam penerapan cukai gula antara lain:

 i) Ketersediaan data konsumsi gula nasional yang masih terbatas sehingga sulit melakukan perhitungan yang akurat 

ii) Kemungkinan penolakan produsen pangan dan konsumen karena kenaikan harga yang berpotensi memengaruhi penjualan 

iii) Resiko penyelundupan produk gula untuk menghindari cukai yang dapat mengurangi efektivitas kebijakan

 iv) Perlunya penyesuaian ulang target cukai gula agar tidak terlalu memberatkan daya beli masyarakat miskin   

v) Perlunya pengawasan ketat terhadap implementasi kebijakan di lapangan untuk mencegah penyimpangan Masalah sosial-ekonomi pelaksanaan kebijakan perlu menjadi bahan pertimbangan penting bagi pemerintah. 

Dengan merancang skema cukai gula yang adil dan memperkuat pengawasan implementasi, diharapkan kebijakan ini dapat memberikan manfaat maksimal bagi pengendalian konsumsi gula dan kesehatan masyarakat Indonesia. 

 E. Peluang Peningkatan Penerimaan Cukai  

Selain untuk pengendalian konsumsi gula, kebijakan cukai gula berpeluang meningkatkan penerimaan negara dari sektor pangan olahan dan minuman tinggi gula. Berdasarkan data Kementerian Keuangan, penerimaan cukai hasil tembakau dan pangan olahan pada 2021 mencapai Rp189,5 triliun atau sekitar 80% dari total penerimaan cukai (Kemenkeu, 2021).   Dengan besarnya potensi pasar gula nasional, diperkirakan penerapan cukai gula dapat menyumbang penerimaan negara hingga puluhan triliun rupiah setiap tahunnya. Dana ini selanjutnya dapat digunakan untuk pembiayaan program kesehatan masyarakat seperti penyuluhan gizi, peningkatan akses air bersih, dan lain sebagainya. 

F. Strategi Komunikasi Kebijakan 

Agar kebijakan cukai gula dapat diterima dengan baik oleh masyarakat, pemerintah perlu mengkomunikasikannya secara bijaksana. Beberapa strategi komunikasi yang direkomendasikan antara lain: 

a. Menyampaikan landasan ilmiah dan urgensi kebijakan, yaitu bahwa cukai gula bertujuan melindungi masyarakat dari ancaman obesitas dan diabetes akibat konsumsi gula berlebih.

b. Melibatkan selebriti dan influencer terkemuka agar ikut menyebarkan pesan kesehatan terkait bahaya konsumsi gula berlebihan. 

c. Membuat konten edukasi menarik di media sosial terkait cukai gula dan pola makan sehat rendah gula. 

d. Melakukan sosialisasi pada berbagai kelompok masyarakat mulai dari tingkat akar rumput, posyandu hingga perkantoran dan institusi pendidikan. 

Dengan strategi komunikasi yang tepat sasaran dan menarik, diharapkan masyarakat dapat memahami esensi kebijakan cukai gula sekaligus termotivasi untuk mengurangi konsumsi gula demi kesehatan.

 G. Alternatif Solusi Lain 

Meski cukai gula dinilai sangat potensial dan urgen untuk diterapkan, pemerintah juga disarankan untuk mempertimbangkan alternatif solusi lain yang lebih humanis dalam rangka pengendalian konsumsi gula nasional. Beberapa contohnya antara lain: 

a. Menetapkan pembatasan kadar gula (sugar limit) pada produk pangan olahan dan minuman kemasan secara bertahap. 

b. Melarang penjualan minuman manis dan makanan tinggi gula di sekolah dan rumah sakit.   

c. Mewajibkan peringatan kesehatan pada label kemasan produk tinggi gula terkait risiko obesitas dan diabetes. 

d. Memberikan insentif bagi produsen makanan yang mengurangi kadar gula pada produknya. 

Solusi-solusi ini dapat diterapkan secara paralel agar dampak intervensinya lebih optimal dalam mengendalikan asupan gula masyarakat dari berbagai sisi. Dengan kombinasi berbagai pendekatan, ketergantungan masyarakat pada gula dapat berkurang secara perlahan namun pasti. 

H. Perbandingan Kebijakan di Asia Tenggara 

Sebagai perbandingan, beberapa negara Asia Tenggara seperti Filipina dan Thailand juga tengah mempersiapkan kebijakan serupa cukai produk gula guna mengatasi masalah obesitas dan diabetes yang kian mengkhawatirkan di negara mereka. Di Filipina, RUU Sin Tax reform yang diusulkan pada 2022 berisi kenaikan pajak secara signifikan untuk minuman tinggi gula. Sementara itu Pemerintah Thailand merekomendasikan penerapan pajak gula senilai 20% yang diharapkan dapat menurunkan konsumsi gula hingga 15-25% (Tan et al, 2022). Indonesia yang memiliki beban ganda obesitas dan diabetes tertinggi di ASEAN tak boleh ketinggalan dalam menerapkan kebijakan pencegahan melalui pendekatan perpajakan ini. Kerja sama regional dalam hal regulasi dan pengendalian konsumsi gula dinilai krusial untuk mewujudkan masyarakat ASEAN yang lebih sehat dan produktif. 

I. Kesiapan Infrastruktur Kelembagaan 

Dari sisi infrastruktur kelembagaan, Indonesia sebenarnya sudah cukup siap untuk menerapkan kebijakan cukai gula. Saat ini sistem administrasi dan pengelolaan cukai di Indonesia sudah cukup memadai, yang ditangani oleh Direktorat Jenderal Bea dan Cukai di bawah Kementerian Keuangan.   Selain itu, pembentukan badan pengawas peredaran minuman beralkohol (BPOM) juga dinilai mendukung efektivitas pengawasan peredaran produk gula berikut pemungutan cukainya. Dengan dukungan infrastruktur ini, pemerintah tidak perlu lagi menunggu lama untuk segera memberlakukan cukai gula demi kemaslahatan masyarakat Indonesia.

 J. Cakupan Produk Kena Cukai

Jika kebijakan cukai gula diterapkan di Indonesia, produk yang perlu dikenai cukai antara lain: 

a. Gula pasir baik lokal maupun impor Gula pasir merupakan pemanis tambahan utama yang banyak digunakan oleh industri pangan dan rumah tangga. Gula pasir baik produksi dalam negeri maupun impor perlu dikenai cukai agar harganya naik dan konsumsi menurun. 

b. Sirup berfruktosa tinggi (high fructose syrup) Bahan pemanis ini banyak digunakan pada produk minuman bersoda. Kadar fruktosa yang lebih tinggi dari sukrosa dinilai lebih berbahaya bagi kesehatan sehingga perlu dikenai cukai.  

c. Gula tebu dan rafinasi   Bahan baku gula ini yang kemudian diolah menjadi gula putih atau gula semut. Gula jenis ini juga dominan digunakan sebagai pemanis tambahan pada makanan dan minuman olahan. 

d. Sari buah/jus buah kemasan Meski memiliki kandungan gula alami, sari/jus buah kemasan biasanya ditambahkan gula dan bahan perasa lainnya sehingga tinggi kalori. Oleh karena itu produk ini juga perlu dikenai cukai. 

e. Target dan Skema Cukai Untuk memenuhi asas keadilan, target dan skema cukai gula perlu dibedakan antara produsen skala kecil dan produsen besar.   

Usulan skemanya antara lain:   

Produsen Skala Kecil:  Kena cukai jika penjualan tahunan > 1 miliar rupiah  Tarif cukai progresif 1-3% dari nilai penjualan   Produsen Skala Menengah-Besar:  Kena cukai untuk semua skala penjualan  Tarif cukai progresif 3-10% dari nilai penjualan   Skema seperti ini dipastikan tidak memberatkan pelaku usaha kecil sambil tetap mengendalikan produksi gula skala besar yang berdampak luas bagi konsumsi. 

K. Kolaborasi Multisektor Efektivitas 

Penerapan cukai gula memerlukan dukungan kolaboratif dari berbagai pihak, antara lain: 

i) Kementerian Keuangan: pengaturan & administrasi cukai   

ii) Kementerian Perindustrian: pembinaan industri pangan dalam pengurangan   kadar gula 

iii) Kementerian Perdagangan: pengawasan distribusi dan peredaran produk 

iv) BPOM: pengawasan Standar Nasional Indonesia produk pangan olahan 

v) Asosiasi perusahaan pangan & minuman: sosialisasi pada anggotanya 

vi) Ormas kesehatan & konsumen: advokasi pada pemerintah & masyarakat   Dengan kolaborasi yang baik dari para pemangku kepentingan, kebijakan ini dapat dilaksanakan secara sistemik dan terintegrasi untuk mencapai tujuan bersama yakni peningkatan kesehatan masyarakat.

 L. Contoh Perhitungan Penerimaan Negara 

Sebagai ilustrasi, berikut perhitungan potensi penerimaan cukai gula: Asumsi konsumsi gula per kapita 60 kg per tahun, jumlah penduduk Indonesia 270 juta jiwa. Total konsumsi gula nasional 17,1 juta ton per tahun. Harga gula rata-rata Rp12.500 per kg. Estimasi nilai pasar gula nasional Rp214 triliun per tahun. Tarif cukai gula rata-rata 5%, maka perkiraan penerimaan cukai gula adalah 5% x Rp214 triliun = Rp10,7 triliun per tahun. Angka ini cukup substansial dan menjanjikan. Dana hasil cukai gula ini selanjutnya dapat dialokasikan untuk berbagai program peningkatan gizi dan kesehatan masyarakat Indonesia. 

M. Kesiapsiagaan Sektor Kesehatan   

Mengingat dampaknya yang luas, kebijakan cukai gula ini perlu diantisipasi oleh sektor kesehatan dalam hal kesiapsiagaan fasilitas dan SDM. Beberapa hal yang perlu dipersiapkan antara lain: 1. Peningkatan kapasitas Puskesmas untuk skrining dan penanganan kasus obesitas serta diabetes yang diperkirakan akan meningkat seiring adaptasi pola konsumsi masyarakat. 2. Penguatan deteksi dini melalui Posbindu PTM agar masyarakat waspada terhadap gejala obesitas dan risiko diabetesnya. 3. Pelatihan tenaga kesehatan dan relawan untuk memberikan edukasi gizi seimbang rendah gula pada berbagai lapisan masyarakat.   4. Pemberian suplemen gizi pada kelompok rentan seperti ibu hamil dan balita guna mencegah malnutrisi akibat penurunan konsumsi pangan. Dengan persiapan matang di sektor kesehatan, segala risiko yang mungkin muncul akibat penerapan kebijakan cukai gula dapat ditangani secara cepat dan tepat. 

N. Analisis Menggunakan POAC (Policy Objective Achievement Cycle) 

Untuk mengevaluasi efektivitas kebijakan cukai gula di masa mendatang, model POAC (Policy Objective Achievement Cycle) dapat digunakan. POAC merupakan kerangka berpikir kebijakan publik untuk memastikan pencapaian tujuan yang diharapkan. Adapun komponen POAC meliputi: 

(a)  Policy Objectives Tujuan kebijakan cukai gula adalah menurunkan konsumsi produk tinggi gula guna mengendalikan prevalensi obesitas dan diabetes di Indonesia. Target penurunan konsumsi gula yang realistis adalah 10-15% dalam 5 tahun pertama penerapan. 

(b)  Policy Instruments   Instrumen kebijakannya adalah Undang-Undang Cukai Gula yang menetapkan objek dan tarif cukai pada produk pergulaan. Instrumen pendukungnya adalah peraturan teknis dan administratif oleh Direktorat Jenderal Bea & Cukai Kemenkeu beserta jajarannya.

(c)  Agency Roles Berbagai institusi pelaksana terkait diuraikan pada sub bab sebelumnya. Koordinasi antar institusi sangat dibutuhkan dalam implementasi kebijakan cukai gula di lapangan. 

(d)  Achievements   Pencapaian kebijakan diukur dari tren penurunan konsumsi nasional produk tinggi gula dari tahun ke tahun berdasarkan survei BPS & Kemenkes. Penurunan kasus obesitas & diabetes bertahap juga menjadi indikator capaian jangka panjang.   

(e)  Needed Refinements Jika capaian kebijakan di bawah target dalam kurun waktu tertentu, maka revisi atas konsep awal perlu dilakukan, seperti:

 Penyesuaian tarif cukai 

 Perluasan cakupan produk kena cukai 

 Pengetatan aturan terkait celah penghindaran cukai 

 Evaluasi dan perbaikan sistem administrasi 

ï‚· Koordinasi antar institusi terkait Dengan menganalisis penerapan kebijakan cukai gula melalui model POAC ini, efektivitas kebijakan beserta faktor kunci kesuksesannya dapat termonitor dan dievaluasi secara berkala. Hasil evaluasi kemudian digunakan sebagai umpan balik bagi penyempurnaan kebijakan ke depannya.

O. Kesiapan Infrastruktur Digital 

Penerapan cukai gula perlu didukung sistem administrasi moderen berbasis digital guna mencegah mafia cukai. Beberapa infrastruktur yang perlu disiapkan dan ditingkatkan kesiapannya yakni:

 i. Sistem Informasi Barang Kena Cukai Terintegrasi: Database online untuk pendataan dan pemantauan distribusi produk kena cukai gula

ii. e-SPT dan e-Tax Invoice: Faktur pajak elektronik untuk laporan dan pembayaran cukai yang efisien serta akurat.

iii. Label/Stampel Cukai Digital: Label kode QR untuk verifikasi autentikasi produk telah melunasi kewajiban cukai. 

iv. Marketplace Analysis: Tools digital intelijen untuk analisis tren pasar dan deteksi transaksi produk kena cukai yang mencurigakan. 

Dengan dukungan infrastruktur digital yang memadai, diharapkan sistem administrasi cukai gula menjadi lebih transparan, akuntabel dan kerapatan celah penghindaran cukai dapat diminimalisir. 

P. Simulasi Dampak terhadap Inflasi 

Salah satu potensi risiko dari penerapan cukai gula adalah peningkatan inflasi akibat kenaikan harga sejumlah produk konsumsi yang mengandung gula. Oleh karena itu, simulasi terhadap proyeksi dampaknya terhadap inflasi nasional penting untuk dilakukan.   Dengan mengasumsikan kenaikan harga rata-rata produk tinggi gula sebesar 10% akibat cukai gula: Bobot CPI produk makanan kemasan sekitar 3%   Bobot CPI minuman sekitar 1,5% Maka dampak kenaikan harga tersebut terhadap CPI (Inflasi) nasional diperkirakan sekitar:   3% x 10% = 0,3% 1,5% x 10% = 0,15% Jumlah kisaran 0,45% Angka kenaikan 0,45% terbilang masih aman dan terkelola. Apalagi dengan stimulus penurunan harga produk segar tanpa olahan akibat berkurangnya permintaan gula dari sektor horeka dan industri makanan olahan. 

Namun perlu waspada risiko inflationary effect dari kebijakan cukai gula apabila:

 Kenaikan harga produk gula lebih tinggi dari asumsi   

 Terdapat kendala pasokan bahan pangan pokok 

 Gangguan rantai distribusi dan suplai pangan massal 

 Pelemahan nilai tukar Rupiah terhadap Dollar AS Untuk itu kesiapan manajemen inflasi yang optimal dibutuhkan dari Bank Indonesia dan Komite Stabilitas Pangan Pemerintah. 

Dengan kontrol inflasi yang baik, penerapan kebijakan cukai gula tidak berpotensi menimbulkan tekanan inflasi yang membahayakan pemulihan ekonomi nasional.

Q. Peran Aktif Masyarakat Sipil 

Dukungan dari berbagai elemen masyarakat sipil sangat dibutuhkan demi suksesnya implementasi kebijakan cukai gula ini, melalui peran:

a. Akademisi & peneliti: Kajian dan penyediaan data terkait elasticitas permintaan gula serta simulasi dampak cukainya 

b. Asosiasi perusahaan: Pembinaan dan pendampingan pada perusahaan kena cukai gula 

c. Yayasan kesehatan: Kampanye edukasi publik dan advokasi pada pemerintah 

d. Organisasi konsumen: Pengawasan ketersediaan dan stabilisasi harga produk 

e. Media massa: Sosialisasi yang faktual dan objektif tentang urgensi kebijakan 

f. Selebriti dan influencer: Testimoni dan edukasi gaya hidup rendah gula   

Dengan dukungan penuh berbagai elemen masyarakat sipil, peluang keberhasilan kebijakan cukai gula ini akan semakin besar. 

Berdasarkan hasil studi pada artikel ini, dapat disimpulkan bahwa:

 1) Penerapan kebijakan cukai gula sangat urgent untuk dilakukan guna mengendalikan konsumsi gula nasional yang terus meningkat tajam beberapa tahun terakhir. 

2) Berbagai studi dan pengalaman negara lain menunjukkan bahwa cukai gula terbukti efektif menurunkan konsumsi gula, baik berdasarkan data penjualan maupun survei konsumsi masyarakat. 

3) Indonesia memiliki potensi yang besar untuk meraih manfaat serupa mengingat tingginya konsumsi gula per kapita penduduk disertai rendahnya literasi dan kesadaran masyarakat akan bahayanya. 

4) Selain berdampak positif terhadap kesehatan masyarakat, kebijakan ini juga berpotensi meningkatkan penerimaan negara hingga puluhan triliun rupiah setiap tahunnya. 

5) Sejumlah tantangan sosial-ekonomi perlu menjadi pertimbangan, seperti inflasi dan keterjangkauan daya beli masyarakat rentan, agar kebijakan ini dapat diterapkan secara adil danoptimal memberi manfaat bagi bangsa. 

Namun demikian, tantangan sosial-ekonomi perlu diperhitungkan agar kebijakan cukai gula tidak justru memberatkan sebagian besar masyarakat. Perlu dilakukan penyesuaian target dan skema cukai gula yang adil.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun