"Hehe, dasar anak-anak".
"Iya.. iya, sayang. Mbah uti yang ambilkan".
Usai percakapan, atau monolog? yang aneh itu, wanita tua bangkit dari kursi.
Tangannya mencengkram tongkat kayu berukir kepala kobra. Sampai di sudut ruang, ia menggeser sebuah kursi plastik agar tepat berada di bawah sangkar.
Wanita tua melepas tongkat kayu, mengangkat kaki lalu menapakkanya satu persatu di atas kursi plastik.
Ia mendongak. Tubuhnya yang bungkuk menegak, gemetar, bergerak patah-patah. Seolah tengah menahan nyeri hanya demi menggapai sangkar burung itu.
Dan apa yang saya takutkan sedari awal akhirnya terjadi juga. Meski dengan adegan yang berbeda:
Sesaat setelah ia berhasil menyentuh sangkar, keseimbangan tubuhnya mendadak buyar. Sehingga kursi plastik yang ia tapaki goyah. Brukkk.
Tubuh Wanita tua roboh. Bagian belakang kepalanya jatuh tepat menimpa ujung runcing meja jati. Keras. Sampai bikin batok kepala wanita tua jadi bolong.
Dari bolongan itu muncul darah. Ada darah yang muncrat. Dan banyak darah yang mengucur. Pelan-pelan darah itu meleleh membasahi sekujur tubuh yang roboh di lantai tengah.
"Hehe. Mbah uti tidak apa-apa. Ini perkututnya, Cu".