Setelah diperistri oleh Karno, ia tinggal di luar Jawa (Jakarta). Dan entah mengapa, semenjak itu Sri menjadi jarang sekali menengok wanita tua. Padahal jarak tempat ia tinggal hanya sejauh enam jam perjalanan darat dari rumah wanita tua.
Entah karena Sri terlalu sibuk membantu usaha Karno. Entah usaha Karno sedang bangkrut sehingga tak punya ongkos sekadar membeli karcis bus.
Atau memang seperti anak manusia pada umumnya: setelah dewasa, berkeluarga, muncul rasa ogah mengurus orang tua yang makin rewel kelakuannya, macam kembali seperti bocah yang apa-apa harus serba disuapi.
Terakhir kali Sri menengok wanita tua kalau tidak salah, sekitar lima tahun lalu. Betapa gembiranya raut wajah wanita yang lebih tua 4 tahun dari negara indonesia itu.
Kala itu Sri pulang bersama Karno dengan membawa dua anak kembarnya, Andri dan Sasha yang masih balita. Melihat kelakuan dua cucunya yang lucu, wanita tua tak henti-henti tertawa.
Apalagi ketika kedua cucunya sembari berlari serentak memanggil dirinya, "bah utiii... bah utiii...".
Saya yang melihat jelas ekspresi wajah wanita tua kala itu sampai ikut merasakan bahagia. Sepertinya memang kenangan indah inilah yang muncul dalam mimpi yang membangunkannya tadi.
Mimpi yang hanyalah bunga tidur yang tak mempunyai arti nampaknya telah membuat wanita tua larut dalam kebahagiaan.
Ia tak sadar di rumah kecil itu ia tinggal seorang diri. Tak ada lagi Bapak. Dan sungguh, Sri tidak pulang. Tidak ada sama sekali ketukan pintu malam itu.
Angin malam mulai terasa menusuk dan saya masih memperhatikan wanita tua melangkah keluar kamar. Sampai di ruang tengah, saya heran mengapa lampu neon bundar di situ menyala sendiri tanpa ada yang menekan saklarnya.
Siapa yang menyalakan? Sumpah bukan saya! Korsleting kah? Atau jangan-jangan? Ah, nampaknya wanita tua tidak ambil pusing dan masih meneruskan langkah. Mungkin ia berpikir lampu itu menyala sendiri karena adanya kehendak dari yang maha kuasa.