Hingga sampailah langkah wanita tua di muka pintu masuk. Tangan kanannya masih erat mencengekeram tongkat berukirkan kepala kobra dan Tangan kirinya meraih gagang pintu. Memutarnya perlahan hingga daun pintu terbuka.
Seperti dugaan, keberadaan Sri, Karno maupun dua anaknya nihil. Tidak ada siapapun di balik pintu itu.
Tapi anehnya, saya perhatikan tangan wanita tua bergerak seolah ia sedang memeluk, merangkul, menepuk-nepuk punggung beberapa orang di hadapan tubuhnya.
"Sri... Karno.. Sehat, Nak?"
"Syukurlah. Ibu juga sehat, Nak".
"Ah! Cucu-cucu imutku sudah besar rupanya! Kelas berapa?"
"Empat? Wah! Bagus".
"Mbah kakung? Ada di kamar mandi. Ayo masuk dulu nanti Mbah Uti Panggilkan".
Wanita tua terdengar seperti sedang bercakap-cakap riang. Padahal sungguh, yang ada di hadapannya hanyalah bayangan hitam hasil refleksi dari tubuh bungkuknya sendiri.
Lalu terlihat ia melangkah kembali menuju ruang tengah, di sana tangannya kembali bergerak seolah mempersilakan duduk kepada kesunyian yang entah.
"Turktukkuk.. trktukuuuk", suara itu. Itu bunyi kicau burung perkutut. Tiba-tiba saja terdengar berulangkali menggema di seluruh sudut ruang serasa sangat menyayat kesunyian malam.