Di belakang punggungnya terlihat seperangkat alat ngeteh yang mengapung di udara. Kemudian poci dan cangkir-cangkir terbang pelan meninggalkan nampan. Perlahan peralatan itu mendarat rapi di meja.Â
(Saya mulai berhenti bertanya kenapa keanehan-keanehan ini bisa terjadi.)
"Silahkan diseruput, Nak. Bapak yang bikin teh itu tadi. Pasti nikmat. Iya kan, Pak?", katanya entah kepada siapa. Sesaat kemudian wanita tua duduk di kursi goyang miliknya.
"Pada suatu hari...", Wanita tua mengawali bercerita entah kepada siapa. Suara paraunya mengalun seirama dengan goyangan kursinya.
Tak lama, ceritanya berhenti pada seperempat jalan. Ia tertegun sejenak. Kepalanya mendongak ke arah sangkar perkutut berada.
"Hehe... Anak-anak jaman sekarang tak suka dongeng, rupanya"
"Nanti, Mbah Kakung yang ambilkan perkutut itu. Tapi Cucu-cucuku yang imut, dengarkan dulu cerita sampai selesai".
"Iya, iya, perkutut, perkutut, cu...".
"Pak, ambilkan perkutut itu daripada cucu-cucu kita ini merengek melulu".
"Lho, harus mbah uti? Mbah Kakung saja yang ambilkan, ya. Pinggang Mbah uti nyeri, tidak kuat kalau memanjat kursi"
"Kalau Papih kalian saja yang mengambilkannya bagaimana?"