"Oh, itu burung punya mbah kakung, Cu". Kata wanita tua sembari jarinya menunjuk sangkar yang menggantung di sudut atas ruang tengah.
Sungguh itu sangkar kosong. Lebih tepatnya, sangkar itu hanya berisi burung perkutut yang telah lama mati. Perkutut Bapak yang sudah menjadi bangkai yang hanya tersisa beberapa helai bulu dan tulang belulang.
Kenapa bisa ada kicau perkutut malam-malam begini? Apakah bangkai perkutut bapak itu hidup kembali? Atau suara perkutut itu berasal dari rumah tetangga?
Ah rasanya mustahil. Bunyi perkutut itu terdengar jelas di ruang ini. Dan saya pun akhirnya kehabisan pikir.
"Nanti boleh kamu bawa pulang ke jakarta, Cu" Kata wanita tua dengan tersenyum entah kepada siapa ia berkata.
"Pak! Bapak! Jangan lama-lama di sana. Sini temui Sri", Wanita tua berteriak memanggil Bapak. Dan tentu saja itu tindakan sia-sia.
Tidak ada seorang pun yang menyahutinya karena memang seseorang yang ia panggil Bapak itu sudah dipanggil oleh Yang maha kuasa.
"Eh, TV? Ya, tidak ada TV, Cu. Biar Mbah ceritakan saja kisah nabi-nabi. Pasti lebih seru. Sebentar, Mbah ke belakang dulu panggil Bapak sekalian siapkan teh hangat".
Gawat! Wanita tua hendak pergi ke ruang belakang! Saya kuatir wanita tua akan bernasib sama dengan Bapak: Tengah malam terpleset di kamar mandi, lalu ditemukan mati bersimbah darah keesokan hari.
Atau jangan-jangan malah akan lebih parah, bisa saja kulit keriput wanita tua tersiram air panas saat menuangkan tremos lalu kaget, lalu terpleset, lalu roboh, lalu punggungnya tertusuk pisau yang berserak di lantai dapur itu. Lalu ia mati.
Untungnya apa yang saya kuatirkan tidak terjadi. Wanita itu berhasil kembali dari ruang belakang. Ia terseok-terseok melangkah.Â