Mohon tunggu...
Musfiq Fadhil
Musfiq Fadhil Mohon Tunggu... Tenaga Kesehatan - Abdul Hamma

Lulusan S1 Ilmu Kesehatan Masyarakat - Keselamatan dan Kesehatan Kerja

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Kesaksian Korban Santet: Kepalaku Mau Pecah

3 Oktober 2020   13:41 Diperbarui: 3 Oktober 2020   13:43 2067
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Matahari nampak malu-malu bersembunyi di balik awan berbentuk batu. Mendadak aku menarik kedua tuas rem CBS skuter bututku ketika melihat sosok perempuan bertubuh kurus dan layu sedang lunglai menyapu pelataran rumah. Ciittt... skuterku berhenti dengan agak ngepot tepat di hadapan perempuan itu.

“Eeh, ada Maya. Lama tak jumpa, akhirnya ketemu lagi iya. Kamu sedang ngapain?” Sapaku basa-basi

Mendengar sapaanku, bibir musim kemaraunya langsung melengkung menimbulkan seguratan warna pada wajahnya yang sedari tadi pucat pasi.

“Hm, Sira sing lawas ngilang koh! ning ndi bae. Nembe tumon saiki.” dia agak ngegas. “Ni aku lagi nyapu semua kenangan indah masa lalu kita, Dul.” dia mengulur gas.

Sepertinya dia sedang melucu, tapi entah kenapa, sama sekali aku tak bisa tertawa ketika mendengar dua patah jawaban itu.
“Suami sama Anakmu lagi di mana, May?”

“Lagi di Pondok, ketemu Pak Yai”

Aku tidak tertarik untuk melebarkan lebih jauh basa-basiku mengulik kenapa Suaminya pagi-pagi sudah bertandang ke sana. Kupikir wajar. Suaminya kan dulu santri, mungkin dia sedang diperintahkan sesuatu oleh kyainya.

Mataku lebih tertarik dengan sebuah meja lusuh, diatasnya ada kompor tanpa gas tanpa wajan dan beberapa kotak plastik sterofoam. Sepertinya itu meja tempat dagang makanan.
“Kamu jualan apa? Kok pukul segini meja dagang belum ditatani?”

“Meja ini dulu buat jualan seblak. Sekarang mah dah gak kepakai. Udah tutup. Aku udah nyerah jualan lagi”

“Lho, Kenapa, May?”

“Lapak seblak ini pernah laris banget. Bahkan ada orang dari luar desa bela-belain ke sini karena katanya seblak buatanku punya rasa yang istimewa”

“Tapi ramai cuma beberapa bulan. Tiba-tiba sepi. Tidak laku. Kata para pembeli, rasa seblakku jadi makin gak enak. Padahal resep dan takaran masih sama. Kian hari makin sepi dan rugi. Akhirnya terpaksa aku berhenti berjualan”.

“Sebelum ini juga aku jualan yang lain dan nasib daganganku selalu saja sama.”
“Ada orang jahat nyerang pakai ilmu hitam tiap kali aku dagang, Dul”

"Dulu warung kelontong Bapak-Emakku juga pernah, May. Tiba-tiba bangkrut. Tapi bangkrut karena banyak yang ngutang gak dilunasin. Bukan karena ilmu hitam!”

“Hm.. Jan salah. Dulu orang tuamu bangkrut juga karena diserang guna-guna tahu, Dul!”

"Sembarangan! Gak percaya aku!”

"Beneran, lho. Si penyerang dagangan ortumu dulu satu orang yang juga menyerang daganganku. Aku tahu persis seluk beluk cerita orangtuamu kok”

“Ngawur!” aku menyanggah tak percaya. Emakku gak pernah cerita begitu. Kupikir dia lagi agak linglung karena dagangannya selalu gagal. “Btw kamu yang sabar ya. Pintu rejeki keluargamu pasti bakal terbuka lagi, May” ucapku biar pikirannya jernih lagi. 

“Ya Sabar nemen. Tapi awakku yang rak kuat semakin remuk”

“Badanmu remuk? Jangan bilang kalau tubuhmu kurus kering kerontang begitu gegara diserang ilmu hitam?” 

Haha. Aku melontarkan pertanyaan satir itu dengan tertawa puas. Aku yakin tubuhnya tipis bukan karena diserang ilmu hitam. Palingan suaminya saja yang tidak becus memenuhi asupan gizinya. Tak kusangka, dia malah menganggukkan candaanku itu dengan serius.

“Betul, Dul” Suaranya lemas. Lirih mirip embusan kentut yang baru saja kubuang diam-diam.

“Sejak masih remaja aku sudah berulang kali diserang pakai teluh dan santet. Sampai sekarang akupun masih kerap di serang terutama pada  Jumat Kliwon, Kamis Pahing, dan Sabtu Pahing” . 

“Itulah sebabnya tubuhku jadi begini, Dul” Ungkapnya dengan aroma sedih, mengalahkan aroma kentut lirihku tadi.

Zz.. Meskipun terdengar meyakinkan di telingaku, tapi aku masih ragu kebenaran cerita dia. Rasanya aneh banget.

Di sini kan daerah yang jauh dari pusat keratonan jawa. Kebudayaan masyarakat di sini juga nuansa jawanya sudah bercampur dengan budaya sunda. Masa sih ilmu yang erat hubungannya dengan kejawen kental itu beredar pula di daerah sini.

Aku yang penasaran lalu menantang dia untuk bercerita lebih rinci. “Halah, Coba ceritakan apa saja bentuk teluh dan santet yang pernah menyerangmu!”

“Banyak Rupa, Dul”. “Ketika remaja aku pernah diserang dan bikin aku ujug-ujug lumpuh. Tubuhku kaku selama empat bulan di tempat tidur, gak bisa ngapa-ngapain”. 

“Aku juga pernah kena santet, perutku mlembung seperti orang hamil! Berat banget kaya bawa satu karung pasir bangunan. Benar saja, ketika aku mengalami pendarahan, ada pasir-pasir bangunan yang bercampur bersama darah yang keluar. Dan anehnya, pas dironsen di rumah sakit, tidak kelihatan apa-apa.”.

“Ketika dulu aku menikah dan kamu enggak dateng! Aku diserang lagi, perutku perih, mual tak tertahankan, rasanya seperti ada yang sedang mengaduk-aduk isi perutku. Dan sialnya, kejadian itu juga merembet ke suamiku. Ia mengalami kondisi yang sama dengan perutku.”

“Wah masa si sampai segitunya? Sumpah! yang nyerang waktu kamu nikah bukan aku lho! Aku kan dah ikhlas! hehe” candaku lepas untuk mencairkan suasana

“Iyaa tahu, kamu mah boro-boro nyerang. Aku ceritain kisah nyataku ini ajaf kamu gak percaya.”

“Siapa pelakunya kira-kira? Orang sini, bukan? Apa aku kenal?”

“Orang sini semua. Ada empat orang pelaku berbeda yang suka jahil sama keluargaku. Salah satunya orang yang dulu nyerang usaha orangtuamu, aku gak mau bilang dia siapa, tapi yang jelas kamu pasti kenal. ” 

“Sedangkan, satu orang yang getol banget ngirim aku santet dan teluh, kau tahu? Pelakunya pak Dalban, Dul!” 

“Huss, Pak Dalban Wakil rakyat itu? Jangan asal tuduh bahaya, May!” 

“Gak nuduh. Wong, dia yang ngaku sendiri sama aku dan keluargaku, kok. Dari dulu dia itu benci sama keluargaku. Kebencian dia terhadap keluargaku berawal dari rasa iri dan dengki atas kekayaan Mbah buyutku. Entah akar masalahnya apa, dia tidak suka melihat keluargaku hidup dengan berkecukupan saat itu.” 

“Kemungkinan sih, ada pertkataan Mbah Buyutku yang tak sengaja dan tak disadari bikin Pak Dalban sakit hati. Jadilah dia menyimpan dendam dengan Mbah Buyutku. Lalu menyantet Mbah Buyu bertubi-tubi sampai meninggal.”

“Tak cukup disitu sepeninggal Mbah Buyutku, Pak Dalban masih saja mengganggu keluargaku sampai sekarang. Aku yang sering jadi sasaran. Dia bilang tidak mau berhenti sampai semua keturunan Mbah Buyutku mati.”

Otakku rada konslet, tidak habis pikir. Bagaimana bisa Pak Dalban, seorang wakil rakyat yang tekenal pendiam itu melakukan hal keji seperti yang dia ceritakan. Rasanya janggal. Gak masuk akal!
“Bentar, ini kamu lagi ngigau kan, May?”

“Duh Gusti, aku sadar seratus persen, Dul!”. 

“Ada bukti fisik kamu terkena santet? misal kalau di tipi kan ada semacam buntelan kain gitu, May”

“Gak ada. Cuma kalau kamu bisa lihat aku pakai mata batin. Pasti kamu bisa lihat ada pagar betis ghaib yang dipasang guru-guruku. Pagar ini berwarna hijau dan putih, berfungsi melindungi dan memberitahuku kalau serangan santet datang.”

“Kau tahu, kan setahun lalu Uwak Hamdi meninggal?” . “Aku sedih, Dul.”
“Dia itu meninggal ketika menahan teluh dari Pak Dalban yang sedang menyerangku”.

“Lagian, kan aku sudah bilang. Pak Dalbannya yang ngaku sendiri. Sebelum dia jadi wakil rakyat, dia nyupang sama Nyi blorong, Dul”

“Saat itu aku sedang mengandung anak pertamaku, dia mengancam kalau keluargaku tidak mencoblos dirinya saat pemilu, janin yang ada di perutku bakal ia jadikan tumbal persembahan untuk Nyi Blorong.  Aku sih cuek saja”. 

“Eh, pada suatu malam perutku tiba-tiba mual lagi, berontak seperti ada yang menginjak-injak sampai aku pendarahan. Untung aku selalu mengamalkan doa penjaga yang diberikan Pak  Yai, aku baca terus doa sampai serangan itu berhenti dan janinku tidak sampai keguguran”

“Esok harinya, aku dengar kabar bahwa Isterinya yang juga sedang mengandung mengalami pendarahan hebat dan masuk rumah sakit. Santetnya mbalik ke isterinya, Dul! Isterinya keguguran.  Senjata makan tuan, janin anaknya sendiri yang jadi korban tumbal, Dul!”

“Wah, pertumbalan ternyata bisa pakai orang lain yang bukan keluarga ya, May? Jadi, isu dulu di desa ada kuntilanak jadi-jadian bergentayangan mengambil janin tetanggaku juga benar, ya?”

“Kalau itu aku gak tahu, itu pelaku pesugihan yang lain. Bukannya pas itu kamu juga ikutan ngeronda sama warga desa dan para santri, Dul?”

“Iya sih. Dulu aku juga sempat ikutan lari-lari, konon ngejar kuntilanak jadi-jadian sama warga. Tapi waktu itu aku cuma ikut-ikutan aja berlarian malam-malam sampai berhenti di depan pohon randu pekarangan. Kuntilanaknya dimana, aku gak pernah lihat! Jadi aku gak percaya. Aku anggap itu cuma guyon saja. Haha”

“Dasar kentir! Dul, Kau kenal Man Karmed, kan? dia itu salah satu dukun yang membantu Pak Dalban mengirimkan teluh ke tubuhku, Dul. 

“Pada suatu malam jumat Kliwon, tengah malam aku terbangun karena kepalaku tiba-tiba pusing parah. Aku berteriak kencang sampai seisi rumahku bangun. Aku merasa kepalaku digetok palu berkali-kali. Sakit banget. Rasanya, kepalaku sampai mau pecah. Ternyata kata suamiku, pada malam itu aku gak sadar telah menjeblok-jeblokan kepalaku sendiri ke tembok.”

“Kemudian keluargaku menghubungi guru-guruku untuk berdoa bersama menangkal serangan itu. Sampai akhirnya pada pukul satu dinihari serangan itu berhenti dan kepalaku mulai enteng. Aku yang lemas kemudian pingsan tak sadarkan diri sampai shubuh.”

“Siang harinya, aku bingung, ada Man Karmed datang ke rumahku sambil ngomel-ngomel dengan mata yang merah terang. Aku kaget, ternyata yang menyerangku semalam itu Man Karmed atas perintah Pak Dalban, Dul”

“Heh! Kenapa kalian membalikan seranganku malam itu ke anakku? Lihat, anakku mati! Kepala anakku digilas truk fuso sampai pecah! Kenapa kalian tega? Kalau mau nyerang balik, jangan bawa-bawa anakku yang tidak punya salah, dong! Serang tuh Pak Dalban yang menyuruhku menyantet kamu! Kasian anakku!

Logikaku tetep konslet. Emang bener sih, dulu anak Man Karmed mati karena kecelakaan, aku juga sempat melihat mayatnya terkapar di pinggir jalan raya ditutupi daun pisang. Tapi kalau dikaitkan dengan santet begitu, rasanya itu semua gak bisa masuk ke otakku. Kupikir semua itu cuma kebetulan aja. Takdir Tuhan.

“Aku cerita panjang lebar gini, kamu tetap tidak percaya kan, Dul?” Dia nyeletuk, seolah bisa membaca pikiranku!

“Entah”.
“Oiya, Kan ada tuh pasal santet yang buktinya cuma butuh pengakuan dari si pengirim santet. Dan Pak Dalban kan sudah ngaku. Kalau itu benar, kenapa kamu gak laporin saja ke polisi, May?” 

“Emoh. Pasti Ribet. Dia itu sekarang sudah jadi orang gede. Kalau aku lapor palingan gak diurus dan ujungnya aku yang kena jerat hukum pencemaran nama baik”. 

“Kalau gitu, santet balik aja pak Dalban, May! Temenku punya kontak dukun handal yang katanya bisa nyantet, kalau mau nanti aku hubungi temenku. Kita baku hantam antar dukun. Hehe”

“Kalau orang pinter mah, guru-guru jalur ilmu putih yang selalu siap melindungiku selama ini juga sudah cukup. Dengan doa-doa putih dari mereka nyatanya masih mampu menahan tiap serangan itu meski gak bisa total. Aku gak mau balas dendam, toh tanpa niat menyerang balikpun selalu ada karma yang membalas kezoliman dia”.

“Kamu tahu, itu suamiku pagi ini sowan ke Pak Yai juga untuk minta bantuan doa lagi. Sekarang aku lagi hamil tiga bulan anak kedua. Belakangan, serangan kepadaku mulai gencar lagi. Perutku sering merasa tertusuk-tusuk, perih dan berat banget. Sepertinya Pak Dalban mau nakal lagi coba mengambil janin dalam perutku”.

“Dua hari yang lalu, Pak Dalban datang ke mimpiku dengan wujud yang menyeramkan mirip iblis. Matanya bolong sebelah kanan, giginya bertaring, kepalanya bertanduk. Rambutnya gondrong dan badan penuh bulu hitam. Baunya macam keringat babi.”

“Dalam mimpiku itu, dia mengikat tangan dan kakiku. Cakar-cakar ditangannya menembus perutku. Mengambil janin yang masih berbentuk segumpal darah, lalu memakan janin itu dengan lahap. Aku ngeri sampai sekarang.”

“Dan nanti malam itu masuk Sabtu pahing, aku khawatir pak Dalban bakal nyerang lagi. Makanya aku minta suamiku sowan ke pak Yai untuk minta amalan lagi serta mendoakanku agar terhindar dari serangan menyeramkan itu.”
“Sebenarnya aku sudah capek, Dul.”

“Waduh, kalau apa yang kamu ceritakan ini benar, jelas ini parah sih!”

Dia tak merespon tanggapanku yang masih ragu. Maya melanjutkan menyapu debu-debu dan tahi ayam kering yang menempel di lantai, menyeroknya dengan pengki lalu memasukannya ke dalam tong sampah. 

Aku terdiam memandang punggung ringkihnya. Ketika ia berbalik kulihat warna yang sempat tergurat oleh lengkung bibirnya menghilang. Wajahnya kembali pucat pasi sepenunya.

Tak lama, deru knalpot motor terdengar dari arah belakang mengalihkan fokus mataku dari wajah Maya. Familiar sekali, ini pasti suara knalpot motor supra lawas! Benar saja, semakin dekat, kulihat seorang Pria berumuran tiga tahun di atasku, bersama anak perempuan lucu umur tiga tahunan sedang menunggangi Supra Bapak.

Pria itu menyapaku dengan merdu,
“Wah, ada Kang Abdul! Kenapa cuma di luar, monggo pinarak masuk ke rumah, Kang”.
“Maya, tolong bikinkan teh poci untuk Kang Abdul”
“Dek Risa, ayo salim sama Om Abdul”

“Matur suwun. Mboten usah repot-repot, Mas”
“Saya cuma kebetulan lewat aja. Saya harus segera berangkat ngurus kerjaan. Lain kali saja saya mampir ke dalam.”

Pria itu mengangguk sambil tersenyum hangat diikuti anak ceweknya yang mengembungkan pipi dan membebekkan bibirnya. Setelah aku pamit kepada Maya, Suami, dan anaknya aku kembali menarik gas skuterku. 

Melaju sambil memandangi keharmonisan keluarga kecil mereka dari balik pecahan spion skuterku. 

Tepat ketika skuterku melewati kandang kambing milik Pak Rudy, mulutku tak terkendali, dan langsung reflek berteriak 

Wedhus Kabeh, Koen!

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun