“Siapa pelakunya kira-kira? Orang sini, bukan? Apa aku kenal?”
“Orang sini semua. Ada empat orang pelaku berbeda yang suka jahil sama keluargaku. Salah satunya orang yang dulu nyerang usaha orangtuamu, aku gak mau bilang dia siapa, tapi yang jelas kamu pasti kenal. ”
“Sedangkan, satu orang yang getol banget ngirim aku santet dan teluh, kau tahu? Pelakunya pak Dalban, Dul!”
“Huss, Pak Dalban Wakil rakyat itu? Jangan asal tuduh bahaya, May!”
“Gak nuduh. Wong, dia yang ngaku sendiri sama aku dan keluargaku, kok. Dari dulu dia itu benci sama keluargaku. Kebencian dia terhadap keluargaku berawal dari rasa iri dan dengki atas kekayaan Mbah buyutku. Entah akar masalahnya apa, dia tidak suka melihat keluargaku hidup dengan berkecukupan saat itu.”
“Kemungkinan sih, ada pertkataan Mbah Buyutku yang tak sengaja dan tak disadari bikin Pak Dalban sakit hati. Jadilah dia menyimpan dendam dengan Mbah Buyutku. Lalu menyantet Mbah Buyu bertubi-tubi sampai meninggal.”
“Tak cukup disitu sepeninggal Mbah Buyutku, Pak Dalban masih saja mengganggu keluargaku sampai sekarang. Aku yang sering jadi sasaran. Dia bilang tidak mau berhenti sampai semua keturunan Mbah Buyutku mati.”
Otakku rada konslet, tidak habis pikir. Bagaimana bisa Pak Dalban, seorang wakil rakyat yang tekenal pendiam itu melakukan hal keji seperti yang dia ceritakan. Rasanya janggal. Gak masuk akal!
“Bentar, ini kamu lagi ngigau kan, May?”
“Duh Gusti, aku sadar seratus persen, Dul!”.
“Ada bukti fisik kamu terkena santet? misal kalau di tipi kan ada semacam buntelan kain gitu, May”
“Gak ada. Cuma kalau kamu bisa lihat aku pakai mata batin. Pasti kamu bisa lihat ada pagar betis ghaib yang dipasang guru-guruku. Pagar ini berwarna hijau dan putih, berfungsi melindungi dan memberitahuku kalau serangan santet datang.”