“Lapak seblak ini pernah laris banget. Bahkan ada orang dari luar desa bela-belain ke sini karena katanya seblak buatanku punya rasa yang istimewa”
“Tapi ramai cuma beberapa bulan. Tiba-tiba sepi. Tidak laku. Kata para pembeli, rasa seblakku jadi makin gak enak. Padahal resep dan takaran masih sama. Kian hari makin sepi dan rugi. Akhirnya terpaksa aku berhenti berjualan”.
“Sebelum ini juga aku jualan yang lain dan nasib daganganku selalu saja sama.”
“Ada orang jahat nyerang pakai ilmu hitam tiap kali aku dagang, Dul”
"Dulu warung kelontong Bapak-Emakku juga pernah, May. Tiba-tiba bangkrut. Tapi bangkrut karena banyak yang ngutang gak dilunasin. Bukan karena ilmu hitam!”
“Hm.. Jan salah. Dulu orang tuamu bangkrut juga karena diserang guna-guna tahu, Dul!”
"Sembarangan! Gak percaya aku!”
"Beneran, lho. Si penyerang dagangan ortumu dulu satu orang yang juga menyerang daganganku. Aku tahu persis seluk beluk cerita orangtuamu kok”
“Ngawur!” aku menyanggah tak percaya. Emakku gak pernah cerita begitu. Kupikir dia lagi agak linglung karena dagangannya selalu gagal. “Btw kamu yang sabar ya. Pintu rejeki keluargamu pasti bakal terbuka lagi, May” ucapku biar pikirannya jernih lagi.
“Ya Sabar nemen. Tapi awakku yang rak kuat semakin remuk”
“Badanmu remuk? Jangan bilang kalau tubuhmu kurus kering kerontang begitu gegara diserang ilmu hitam?”
Haha. Aku melontarkan pertanyaan satir itu dengan tertawa puas. Aku yakin tubuhnya tipis bukan karena diserang ilmu hitam. Palingan suaminya saja yang tidak becus memenuhi asupan gizinya. Tak kusangka, dia malah menganggukkan candaanku itu dengan serius.