Matahari nampak malu-malu bersembunyi di balik awan berbentuk batu. Mendadak aku menarik kedua tuas rem CBS skuter bututku ketika melihat sosok perempuan bertubuh kurus dan layu sedang lunglai menyapu pelataran rumah. Ciittt... skuterku berhenti dengan agak ngepot tepat di hadapan perempuan itu.
“Eeh, ada Maya. Lama tak jumpa, akhirnya ketemu lagi iya. Kamu sedang ngapain?” Sapaku basa-basi
Mendengar sapaanku, bibir musim kemaraunya langsung melengkung menimbulkan seguratan warna pada wajahnya yang sedari tadi pucat pasi.
“Hm, Sira sing lawas ngilang koh! ning ndi bae. Nembe tumon saiki.” dia agak ngegas. “Ni aku lagi nyapu semua kenangan indah masa lalu kita, Dul.” dia mengulur gas.
Sepertinya dia sedang melucu, tapi entah kenapa, sama sekali aku tak bisa tertawa ketika mendengar dua patah jawaban itu.
“Suami sama Anakmu lagi di mana, May?”
“Lagi di Pondok, ketemu Pak Yai”
Aku tidak tertarik untuk melebarkan lebih jauh basa-basiku mengulik kenapa Suaminya pagi-pagi sudah bertandang ke sana. Kupikir wajar. Suaminya kan dulu santri, mungkin dia sedang diperintahkan sesuatu oleh kyainya.
Mataku lebih tertarik dengan sebuah meja lusuh, diatasnya ada kompor tanpa gas tanpa wajan dan beberapa kotak plastik sterofoam. Sepertinya itu meja tempat dagang makanan.
“Kamu jualan apa? Kok pukul segini meja dagang belum ditatani?”
“Meja ini dulu buat jualan seblak. Sekarang mah dah gak kepakai. Udah tutup. Aku udah nyerah jualan lagi”
“Lho, Kenapa, May?”