Mohon tunggu...
Muslifa Aseani
Muslifa Aseani Mohon Tunggu... Full Time Blogger - Momblogger Lombok

www.muslifaaseani.com | Tim Admin KOLOM | Tim Admin Rinjani Fans Club

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

[100HariMenulisNovel] #33 - #37 Aluy

8 Mei 2016   10:24 Diperbarui: 8 Mei 2016   10:44 165
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Aluy 33

Pertemuan Baiq dengan adik tirinya Ranti telah endapkan banyak kehangatan. Ia masih bisa berharap dapatkan kehangatan yang sama dari Galih, adik sepupunya yang dibuat berjarak oleh ibunya.

(Epilog Aluy 32)

Larut di sekian pekan terakhir puasa, tiket pulang ke Lombok serta sekian daftar oleh-oleh rutin buat keluarga besarku --dan sekarang ada keluarga besar Ranti, berujung pada sekian jam sebelum aku kembali landing di BIL (Bandara Internasional Lombok). Aku tak yakin ibu akan menjemput setelah perbincangan terakhir. Aku juga memilih tak sms apalagi menelpon. Kesanggupanku tetap pulang rasa-rasanya adalah pernyataan maafku.

Pertemuan dengan Galih. Kukira, batas dan jarak yang dibangun ibu antara aku dan dia, harus aku lah yang melangkahinya. Terbesar, seperti anggapan ibu, sedikit tidak aku harus bertanggung jawab pada apa yang menimpa bapaknya. Pamanku. Sosok-sosok yang dibiarkan bapak untuk tetap disembunyikan ibu. Sekarang tak ada bapak. Ibu akhirnya lewati batasnya sendiri. Ungkap keberadaan mereka, meski terbesar hanya untuk kembali salahkanku atas kematian satu-satunya adik lelakinya. Di titik ini, aku merasa memahami pilihan ibu, menjauhkanku dari Galih. Mungkin agar aku tak lagi, pun juga, menjadi penyebab kesialan bagi hidup Galih. Setidaknya ibu benar, Galih terjaga. Ia tetap hidup tanpa harus mengenalku. Atau, hanya aku yang tak boleh mengenalnya?

***

Udara bandara terasa sudah buatku merasa di rumah. Di kejauhan tampak Paman Muis dan Bibi Maryam. Benar, tak ada ibu. Entah harus merasa bersyukur atau tidak, kesibukan pindahkan bagasi dan koper-koper membuat tak ada yang banyak bercakap.

"Paman, sore nanti aku ingin bertemu Galih. Di mana pun rumahnya, tolong antarkan. Ibu tak perlu tahu," aku sadari, kalimatku bukan permintaan, tapi perintah. Aku tak mau menunda. Waktu telah dibuat tertunda untukku, puluhan tahun. Di belakang setir, Paman Muis hanya mengangguk.

"Apa aku boleh ikut?" Mas Bagas nyeletuk.

"Boleh."

Tak ada percakapan apa pun lagi. Mungkin hanya perasaanku saja, semakin mendekati rumah, ketegangan terasa mencekik setiap orang. Kecuali anak-anak. Mereka sibuk sendiri bercanda atau teruskan khusyuk di gadget mereka masing-masing.

Pagar kayu coklat besar terbuka, halaman depan rumah terlihat lengang. Mobil ibu tampak tak ada. Entah masih di dalam garasi atau mungkin ibu masih sedang keluar. Aku hindari tanyakan apa pun. Turunkan barang, masuk ke kamar dan akan keluar di beberapa saat sebelum berbuka. Habiskan waktu chat dengan Ranti atau teruskan bacaan Al-quran di kamar rasa-rasanya jauh lebih menenangkan. Aku dan ibu sama berhaknya untuk jaga puasa kami sebaik seharusnya.

Paman Muis dan Bibi Maryam pun pahami diamku. Memilih sibuk membantu angkat-angkat barang, aku lah yang pertama membuka pintu depan. Benar-benar jaga niat untuk langsung mendekam di kamar, aku memilih langsung segarkan tubuh, berganti pakaian nyaman dan ingin langsung rebahkan diri di kasur. Mas Bagas dan anak-anak masih di luar, entah lakukan apa. Sekian belas menit berselang rebah di tempat tidur, ekor mataku menangkap suasana kamar yang baru. Lepaskan gadget dan taruh kembali Al-quran kecil, aku sapu interior kamar. Nuansa ungu muda lembut, cat baru di empat dinding kamar. Set gorden berwarna senada dengan tirai broken white di jendela besar. Beberapa pot sudut, juga bercat ungu lembut, terisikan rangkaian bunga segar berbagai warna mawar dan selang-seling dengan lilitan melati bersama beberapa daun yang sama segarnya. Aku mencerna semuanya dalam diam. Belum benar-benar pahami keserba-baruan ini. Apa aku harus tanyakan ke Paman Muis? Bibi Maryam?

--Bersambung--

Aluy 34

Seperti sinar paling terang dari sunrise atau sunset yang dipujanya, Baiq berharap hubungan dengan ibunya tak lagi pernah berjarak.

(Epilog Aluy 33)

Hampir terbang, gegas aku cari Paman Muis.

"Paman...Pamaaannnnnn," di rumah kecil di balik tembok terujung belakang kolam, teriakku terhenti di pintu depan bangunan khusus sebagai rumah tinggal keluarga Paman Muis.

Tangan kananku menggantung di udara, karena daun pintu yang ingin kuketuk terbuka perlahan.

Sesosok lelaki muda mematung di pintu. Alis tebal dengan bulu mata sama hitam serta tebalnya mengingatkanku pada seseorang. Kemudian, ketika sesaat berikutnya dua bola matanya bergerak gelisah, baru aku sadari sosok yang berkelebat di benakku. Ibu.

"Galih?," Meski tercekat, suaraku masih cukup terdengar.

"Kak Putri...," nada yang sama, namun juga tetap sampai di telingaku.

Tanganku yang menggantung luruh di samping tubuhku. Kini, aku sama gelisahnya. Sama sekali tak menyangka, tadinya kupikir aku baru akan bertemu sore nanti. Nyatanya, sosok adik sepupu yang ingin kutemui kini sudah di hadapanku.

"Paman Muis ada? Aku mau..." Dan blank. Aku lupa tepatnya apa yang aku inginkan.

"Paman Muis masih di rumah depan...A aku..." Dan hening. Cukup lama.

"A aku Putri. Oh iya, tadi sudah kau sebut namaku. Anu, tadinya aku mau kunjungimu nanti sore..."

Akhirnya, ada juga yang bisa ku ingat.

"Aku minta maaf. Aku minta maaf telah sebabkan paman meninggal..."

"Tunggu! Bukan. Ayahku meninggal karena memang takdirnya..."

"Tidak! Ibuku bilang..."

"Cukup kak Putri! Aku sudah dewasa, sama dewasanya dengan kak Putri untuk sama-sama pahami tak ada satu pun manusia menjadi penyebab kematian manusia lainnya. Tak perlu mina maaf."

Sepasang mata yang tadi begitu gelisah kini menatapku tajam.

"Atau maafkan aku, berdiam di batas dan jarak yang membuatku tak pernah temuimu."

"Itu juga tak perlu. Kak Putri hanya tak tahu tentangku. Tapi, sekarang kita sudah bertemu begini. Tadinya kupikir kita akan bertemu biasa saja. Toh aku selalu mengenal kak Putri, dengan caraku sendiri. Jadi, tolong buat ini biasa saja, tak perlu meminta maaf terus begini."

"Iya kah?"

"Ya. Sekarang, aku bisa bebas menyapa kak Putri. Tapi..."

"Tapi apa?"

"Aku tak yakin bisa bebas temui kak Putri di rumah depan. Aku khawatir..."

"Khawatir?"

"Paman Muis dan Bibi Maryam selalu mengingatkanku setiap ke sini, tak perlu ke rumah depan. Mereka tak ingin aku dimarahi bude, manalagi sudah tua begini, kan nggak lucu kalau bude mengomeliku," kali ini wajah Galih dihiasi senyum lebar.

"Oh iya, kenalkan. Aku Lalu Galih Surya Dharma. Panggil saja Galih. Adik sepupu kak Putri."

Tak ragu, aku terima uluran tangan Galih, membalas aliran kehangatan yang diangsurkannya. Tersenyum sama lebar, pertemuan mendadak kami berubah seketika menjadi pertemuan saudara sedarah yang biasa. Hangat, tanpa pretensi.

"Well, karena sudah kamu sebutkan, aku tak perlu sebut namaku kan? Oh iya, seperti kubilang tadi, tadinya mau temuimu sore nanti. Jadi, karena sudah bertemu sekarang, bagaimana dengan ngopi bareng selepas tarawih nanti malam? Kamu juga harus temui anak-anakku dan mas Bagas..."

"Yup, mas Bagas suami kak Putri. Ingat? Aku selalu mengenal kak Putri dan tentu saja semua bagian dari keluarga kecil kakak..."

"Astaga! Ini curang sekali. Berarti, kamu harus pastikan nanti malam juga adik ipar dan keponak-keponakanku datang semua."

"Siap!"

Masih di depan pintu, tak terasa hampir setengah jam aku berbincang ringan dengan Galih. Aku benar-benar lupa. Seharusnya aku menemui Paman Muis, pertanyakan warna baru yang hiasi hampir setiap sudut interior rumah. Warna biru langit yang tadinya hanya tersapu di dinding ruang baca, kini juga perterang suasana ruang keluarga dan ruang makan. Sudut-sudut tertentu, sapuan ungu gelap yang terang berikan kombinasi sempurna. Dua warna terfavoritku kini menjadi nyawa dari hampir sebagian besar rumah. Yang ingin aku pertanyakan, demi apa?

--Bersambung--

Aluy 35

Dua warna terfavoritku kini menjadi nyawa dari hampir sebagian besar rumah. Yang ingin aku pertanyakan, demi apa?

(Epilog Aluy 34)

“Loh, di sini? Loh…,” Paman Muis tetiba muncul. Demi dapati aku dan Galih berbincang berdua di depan pintu rumahnya, tak sadar telunjuknya mengarah bergantian padaku dan Galih.

“Nah, ini Paman Muis yang di cari-cari. Tidak apa-apa paman. Aku sudah kenal Galih. Kunjungi rumahnya nanti sore batal ya. Nanti kami akan ngopi bareng selepas tarawih.”

Dengan ringan dan senyum hangat, kutingkahi sikap gugup Paman Muis.

“Oh. Syukurlah…,” kali ini, dua tangan Paman Muis reflex elus dadanya sendiri. Ekspresi kelegaan luar biasa.

“Kenapa tidak mengobrol di dalam saja? Kasihan kakinya lo, berdiri begini. Ayok, masuk ke dalam saja,” kali ini, gerakan tangan Paman Muis mendorong kami masuk ke rumahnya. Tampaknya, Paman Muis masih begitu gugup.

“Tidak usah paman. Aku kembali ke depan dulu. Galih, ingat ya, miskol no HP yang kusebutkan tadi. Jangan sampai tak datang karena aku pasti akan menjemput kalian sendiri. Aku tinggal dulu ya…”

Tak enak hati saksikan sikap gugup Paman Muis, aku memilih kembali ke rumah depan. Kuabaikan dulu pertanyaan tentang perubahan besar-besaran warna interior rumah. Melintas di samping kolam, memaksaku mengingat bapak. Senyumku semakin lebar. Bapak memang telah pergi. Namun kehangatan cintanya mampu menjaga rekat yang dipaksa regang oleh ibu. Penantian Ranti yang telah berjawab dan kini Galih. Hari kemenangan selepas puasa sebulan penuh kurang dari sepekan lagi, tapi kemenangan cinta keluarga telah merajai hatiku.

Tepat di samping ruang baca aku berpapasan dengan mas Bagas.

“Astaga Put. Bikin kaget saja. Kupikir masih di kamar depan.”

“Maaf mas. Tadi aku ke belakang cari Paman Muis. Oh iya, sini, ikut aku. Ada yang harus mas Bagas tahu,” sigap kuraih tangannya dan memaksanya mengekorku kembali ke kamar.

“Apa? Cat rumah yang baru? Iya. Sejak datang tadi, aku sampai harus bolak-balik ke semua ruangan, memastikan mataku tak salah lihat…,” kali ini pun, mas Bagas masih melihat sekeliling ruangan tengah. Sepertiku, terasa sangat tak biasa pandangi bukan warna hijau yang tutupi semua arah pandang di dalam rumah besar ini.

“Bukan. Itu juga, tapi masalah warna cat baru jadi kurang penting. Nah, duduk,” sampai di kamar, kududukkan mas Bagas di atas tempat tidur.

“Eh? Kurang penting? Tapi lihat deh, di kamar ini juga semua berubah. Sudut-sudut eternity warna ungu semua. Tembok biru….”

“Sssst. Lihat mataku. Barusan di rumah Paman Muis aku bertemu Galih. Adik sepupuku. Kalau mas mau, aku antar sekarang ke belakang dan kenalan sebentar. Sepertinya tadi ia belum mau pulang koq.”

Dua mata mas Bagas membulat besar.

“Galih? Galih adik sepupumu? Keponakan ibu? Ya ampun. Untung hari ini kita masih puasa ya. Sepagian sudah terkaget-kaget begini…”

“Ish, jangan lebay deh. Mas kan rajin general check up. Blas ndak ada bakat jantungan.”

“Trus? Galih ndak marah sama kamu? Trus ini, kamu bener ndak kaget dengan warna cat baru rumah? Oh, tadi aku sudah cek garasi, mobil ibu tak ada. Jadi aku juga batal ketuk kamar ibu. Kita belum sungkem ibu lo sejak datang pagi tadi…”

“Haduh, jadi lupa deh. Ndak bakat jantung, tapi hobi merepet kek beo kelaparan. Satu-satu dong mas,” aku pindah dan jejeri duduk mas Bagas.

“Tapi mas benar. Untung kita sedang puasa. Oh, mumpung kita mau tanyakan ibu kemana, kita langsung ke belakang lagi saja yuk. Minimal ada yang kita ketahui, ndak penasaran begini,” seketika aku raih lagi tangan mas Bagas dan menyeretnya keluar.

“Huwwooo, berasa kerbau bener dah ni. Diseret ke sana ke mari.”

Letakkan telunjuk di tengah bibirku, tangan mas Bagas tak kulepaskan. Tak lama, kami sudah berdiri di depan pintu rumah Paman Muis.

--Bersambung--

Aluy 36

Baiq tak menunda bahagia: Hari kemenangan selepas puasa sebulan penuh kurang dari sepekan lagi, tapi kemenangan cinta keluarga telah merajai hatinya.

(Epilog Aluy 35)

“Assalamu’alaikum. Paman Muis…,” kali ini suaraku mantap ucapkan salam. Beberapa kali ketuk di daun pintu. Hening, tak berjawab.

Mengulang salam sampai tiga kali, pun beberapa ketukan pintu yang masih tak berjawab.

“Paman Muis mungkin pergi,” timpal mas Bagas.

“Perasan tadi kembali ke depan tak sampai setengah jam. Mereka koq sudah hilang saja,” enggan aku mengamini pernyataan mas Bagas.

“Kita sudah salam tiga kali, juga mengetuk pintu. Bibi Maryam paling belum kembali dari pasar. Tadi sempat pamit ke aku. Sudah yuk, kan nanti sore kita juga mau jenguk Galih. Ketemu nanti saja…”

“Oh, baru ingat. Nanti sore batal. Tapi kita akan ngopi bareng selepas tarawih. Tadi aku janjian begitu sama Galih.”

“Ok. Begitu juga ndak masalah. Intinya hari ini kita tetap akan ketemu Galih. Yuk, balik ke depan saja. Anak-anak sudah teruskan tidur di kamar mereka sendiri.”

“Ya sudah,” kedikkan bahu, aku berbalik dan kembali ke rumah depan.

“Tanganku ndak diseret lagi nih?”

“Ish. Ndak lucu! Mmm, menurut mas, ibu kemana ya?”

Ikut kedikkan bahu dan gelengkan kepala, kerut di jidat mas Bagas tunjukkan usahanya masih pikirkan kemungkinan tujuan kepergian ibu pagi ini.

“Kamu ndak coba telpon Ranti? Siapa tahu ibu sedang ke sana. Siapa tahu looo yaaa….”

“Nanti saja lah mas. Banyak kejutan sepagi ini, aku malah jadi ikutan ngantuk seperti anak-anak. Kalau mas belum ngantuk, bantu aku tata buku-buku yang kubawa saja ya. Nanti pas bangun aku yang lanjutkan kalau mas belum selesai.”

“Yaaahhh, sepi banget dong Put. Boleh bukunya belakangan saja? Air kolam yang bening kayaknya segar buat berenang sebentar…”

“Berenang atau nyaru minum?”

“Hmmm, yang su’udzon puasanya ndak berkah lhoooo…”

Saling goda sampai akhirnya kembali di kamar depan, aku benar-benar hanya sanggup rebahkan badan. Aku tak tahu apakah mas Bagas benar habiskan waktu dengan berenang atau tata buku di ruang baca. Inginku, saat terbangun nanti, tak ada lagi kejutan berikutnya.

***

Jika mimpi benar bunga tidur, rasanya siapa pun akan selalu berharap, tidurnya selalu hadirkan mimpi. Jika boleh, serupa bunga, ia selalu indah. Seperti mimpiku sekarang. Masih tak ingin ganggu kekhusyukan puasa keluarga kecil Aluy, tak lama rebahkan badan, rasanya aku habiskan pandangi sunset terindah di sisi barat rumah. Berbincang hangat, ringan dan penuh senyum pun tawa bahagia bersama Aluy. Ketika kami berdua terdiam, sama nikmati detik gelap yang mulai tutupi bias paling tipis sekali pun dari orange senja, bapak muncul dengan baju koko serba putih. Wajahnya teduh dan bersinar. Bapak mengajak kami bersegera ambil air wudhu, bersiap menjadi jemaah dari tiga rakaat sholat maghrib yang diimaminya. Rasa damai kental kuasai tubuhku, sampai pun rasanya enggan terbangun. Dua sosok yang begitu selalu hargaiku, sayangi dan mencintaiku tanpa syarat, bersama sujud pada Maha Segala.

Tetiba semuanya lenyap berganti biru langit tak berbatas.

“Hai, tadinya baru mau aku bangunkan. Sudah dzuhur, kita berjemaah bersama anak-anak yuk. Ibu masih belum pulang, tapi bibi Maryam sudah kembali dari pasar. Eh, Putri, kamu kenapa?”

Mas Bagas bergegas hampiriku. Wajahku telah basah dan masih tatapi tembok kamar bercat baru, biru langit.

“Aku kangen bapak mas. Aku juga kangen Aluy,” aku bahkan tak tahu, apakah tangisku wakili bahagia dapatkan kesempatan sholat berjemaah lagi bersama Bapak, juga Aluy. Meski hanya di dalam mimpi saat terang hari. Ataukah kesedihan, karena bahkan di mimpi sekali pun, masih saja tak ada ibu.

--Bersambung—

ALUY 37

Baiq, masih,  tak menunda bahagia: Hari kemenangan selepas puasa sebulan penuh kurang dari sepekan lagi, tapi kemenangan cinta keluarga telah merajai hatinya.

(Epilog Aluy 36)

“Ssshhh, sudah ya. Nanti airmatamu ndak sengaja tertelan, puasanya bisa batal lo. Yuk, ambil wudhu bareng. Sudah ditunggu anak-anak di mushola tuh,” kelembutan usap di punggung dan bisikan mas Bagas cegah isak diamku berubah menggugu.

Hanya bisa berikan anggukan lemah, empat rakaat dzuhur diimami mas Bagas bersama tiga anak-anakku jenakkan  efek mimpi. Selepas sholat berjemaah, anak-anak sibuk membantu bibi Maryam siapkan menu berbuka. Mereka berkeras inginkan ayam jago panggang dengan paduan sayur pelecing kangkung. Yang berbeda, sambal pelecing a la anak-anak harus diberikan beberapa irisan gula merah, peredam pedas pun penjaga selera Jawa lidah mereka. Di sela keriuhan mereka membakar sendiri dua tusukan utuh ayam jago, aku sempatkan cari tahu tentang ibu ke bibi Maryam.

“Ibu tak titip pesan pergi ke mana bi? Sampai sesiang ini masih tak ada di rumah…”

“Wah, bibi ndak tau Put. Taunya cuma selepas berjemaah subuh tadi pagi minta diantar Paman Muis ke Mataram.”

“Apa ke rumah Ranti ya?”

“Bisa jadi. Atau mungkin ke pasar pusat. Kan biasanya siapkan banyak bingkisan buat semua keluarga besar. Sebagian sudah ada di gudang belakang, tapi mungkin masih ada yang kurang.”

“Trus, ini cat baru sejak kapan bi?”

“Oh, cat  baru? Pulang dari menginap di Mataram itu, ibu minta langsung dicat semua…”

“Kamar ibu juga?” Tak sabar aku memotong kalimat bibi Maryam. Apa iya kamar ibu tak lagi berwarna hijau?

“Kamar ibu juga. Cuma masih warna hijau, beberapa kusen saja yang diganti ungu. Juga bunga di korden putih jendela berwarna ungu…”

Sisa kalimat bibi Maryam tak tertangkap telingaku. Aku sibuk berbincang sendiri di hati, mengapa tiba-tiba ibu mengganti warna cat rumah? Juga sentuhan ungu di kamar beliau? Rasanya ingin meminta kunci duplikat dan saksikan langsung perubahan yang diceritakan bibi Maryam. Namun, kebiasaan sejak kecil tak pernah buka kamar orang tua saat mereka pergi, enyahkan rasa ingin tahuku yang mendewa.

Sunset hari itu masih satu jam lagi. Namun aku memilih tetap duduki kursi putih di sisi barat rumah. Satu-satunya yang tak berubah warna. Berulang kali melihat nomor HP ibu, telunjuk atau jempolku tak pernah sampai tekan logo telpon. Seharusnya pertanyakan ibu masih saja belum pulang di dua jam sebelum waktu berbuka akan amat sangat biasa bagi anak-anak lain. Tetapi, kecuali permintaan ibu yang dipilihnya disampaikan melalui  mas Bagas dan Paman Muis agar tetap pulang menjelang lebaran ini tak juga terbitkan sedikit lagi keberanian bagiku. Bahwa aku putrinya sudah beroleh maaf. Bahwa aku putrinya bebas menelponnya kapan pun aku mau. Kemudian pergulatan ini kembali  berujung pada isak diamku. Terang matahari sore mengabur. Kudiamkan. Di dalam rumah, keluarga kecilku menanti momen berbuka. Tak bisa ada celah bagi kesedihan. Tidak ketika beberapa hari lagi, lebaran pertama tanpa bapak, terganti oleh kehadiran keluarga besar Ranti dan Galih.

“Kukira, warna baru di dalam rumah perwakilan maaf ibu padamu. Tadi aku menelpon ibu. Beliau akan pulang sebentar lagi dan akan temani kita berbuka. Oia, meski tadinya ibu menganggap ini sebagai kejutan baik bagimu, keluarga Galih akan temani kita berbuka. Ngopi bareng selepas tarawih bisa batal atau diteruskan, pilihanmu akan selalu jadi pilihanku.”

Dua lengan mas Bagas melingkari leherku. Dagunya yang ikut bergerak di kalimat panjang yang diucapkannya seolah berikan pijat lembut di atas kepalaku.

“Jadi, jangan biarkan pipimu basah lagi. Sementara anak-anak siapkan racikan es campur a la mereka, kita bisa nikmati sunset. Mungkin tak kan sampai di bias oranye yang kamu puja. Setidaknya, terang di ujung hari ini masih sempat pindahkan semangatnya padamu. Meski bapak telah pergi, sekarang ada keluarga Ranti dan Galih. Rumah besar ini akan jauh lebih ramai dari sebelumnya. Setuju?”

Perlahan aku anggukkan kepala. Meski tak terlihat, aku yakin senyumku sehangat senyum yang hiasi wajah mas Bagas. Sekilas, masih sempat ia tinggalkan kecup kecil di keningku.

--Bersambung--

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
  11. 11
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun