Mohon tunggu...
Muslifa Aseani
Muslifa Aseani Mohon Tunggu... Full Time Blogger - Momblogger Lombok

www.muslifaaseani.com | Tim Admin KOLOM | Tim Admin Rinjani Fans Club

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

[100HariMenulisNovel] #33 - #37 Aluy

8 Mei 2016   10:24 Diperbarui: 8 Mei 2016   10:44 165
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Aluy 33

Pertemuan Baiq dengan adik tirinya Ranti telah endapkan banyak kehangatan. Ia masih bisa berharap dapatkan kehangatan yang sama dari Galih, adik sepupunya yang dibuat berjarak oleh ibunya.

(Epilog Aluy 32)

Larut di sekian pekan terakhir puasa, tiket pulang ke Lombok serta sekian daftar oleh-oleh rutin buat keluarga besarku --dan sekarang ada keluarga besar Ranti, berujung pada sekian jam sebelum aku kembali landing di BIL (Bandara Internasional Lombok). Aku tak yakin ibu akan menjemput setelah perbincangan terakhir. Aku juga memilih tak sms apalagi menelpon. Kesanggupanku tetap pulang rasa-rasanya adalah pernyataan maafku.

Pertemuan dengan Galih. Kukira, batas dan jarak yang dibangun ibu antara aku dan dia, harus aku lah yang melangkahinya. Terbesar, seperti anggapan ibu, sedikit tidak aku harus bertanggung jawab pada apa yang menimpa bapaknya. Pamanku. Sosok-sosok yang dibiarkan bapak untuk tetap disembunyikan ibu. Sekarang tak ada bapak. Ibu akhirnya lewati batasnya sendiri. Ungkap keberadaan mereka, meski terbesar hanya untuk kembali salahkanku atas kematian satu-satunya adik lelakinya. Di titik ini, aku merasa memahami pilihan ibu, menjauhkanku dari Galih. Mungkin agar aku tak lagi, pun juga, menjadi penyebab kesialan bagi hidup Galih. Setidaknya ibu benar, Galih terjaga. Ia tetap hidup tanpa harus mengenalku. Atau, hanya aku yang tak boleh mengenalnya?

***

Udara bandara terasa sudah buatku merasa di rumah. Di kejauhan tampak Paman Muis dan Bibi Maryam. Benar, tak ada ibu. Entah harus merasa bersyukur atau tidak, kesibukan pindahkan bagasi dan koper-koper membuat tak ada yang banyak bercakap.

"Paman, sore nanti aku ingin bertemu Galih. Di mana pun rumahnya, tolong antarkan. Ibu tak perlu tahu," aku sadari, kalimatku bukan permintaan, tapi perintah. Aku tak mau menunda. Waktu telah dibuat tertunda untukku, puluhan tahun. Di belakang setir, Paman Muis hanya mengangguk.

"Apa aku boleh ikut?" Mas Bagas nyeletuk.

"Boleh."

Tak ada percakapan apa pun lagi. Mungkin hanya perasaanku saja, semakin mendekati rumah, ketegangan terasa mencekik setiap orang. Kecuali anak-anak. Mereka sibuk sendiri bercanda atau teruskan khusyuk di gadget mereka masing-masing.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
  11. 11
  12. 12
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun