Mohon tunggu...
Muslifa Aseani
Muslifa Aseani Mohon Tunggu... Full Time Blogger - Momblogger Lombok

www.muslifaaseani.com | Tim Admin KOLOM | Tim Admin Rinjani Fans Club

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

[100HariMenulisNovel] #33 - #37 Aluy

8 Mei 2016   10:24 Diperbarui: 8 Mei 2016   10:44 165
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

“Bisa jadi. Atau mungkin ke pasar pusat. Kan biasanya siapkan banyak bingkisan buat semua keluarga besar. Sebagian sudah ada di gudang belakang, tapi mungkin masih ada yang kurang.”

“Trus, ini cat baru sejak kapan bi?”

“Oh, cat  baru? Pulang dari menginap di Mataram itu, ibu minta langsung dicat semua…”

“Kamar ibu juga?” Tak sabar aku memotong kalimat bibi Maryam. Apa iya kamar ibu tak lagi berwarna hijau?

“Kamar ibu juga. Cuma masih warna hijau, beberapa kusen saja yang diganti ungu. Juga bunga di korden putih jendela berwarna ungu…”

Sisa kalimat bibi Maryam tak tertangkap telingaku. Aku sibuk berbincang sendiri di hati, mengapa tiba-tiba ibu mengganti warna cat rumah? Juga sentuhan ungu di kamar beliau? Rasanya ingin meminta kunci duplikat dan saksikan langsung perubahan yang diceritakan bibi Maryam. Namun, kebiasaan sejak kecil tak pernah buka kamar orang tua saat mereka pergi, enyahkan rasa ingin tahuku yang mendewa.

Sunset hari itu masih satu jam lagi. Namun aku memilih tetap duduki kursi putih di sisi barat rumah. Satu-satunya yang tak berubah warna. Berulang kali melihat nomor HP ibu, telunjuk atau jempolku tak pernah sampai tekan logo telpon. Seharusnya pertanyakan ibu masih saja belum pulang di dua jam sebelum waktu berbuka akan amat sangat biasa bagi anak-anak lain. Tetapi, kecuali permintaan ibu yang dipilihnya disampaikan melalui  mas Bagas dan Paman Muis agar tetap pulang menjelang lebaran ini tak juga terbitkan sedikit lagi keberanian bagiku. Bahwa aku putrinya sudah beroleh maaf. Bahwa aku putrinya bebas menelponnya kapan pun aku mau. Kemudian pergulatan ini kembali  berujung pada isak diamku. Terang matahari sore mengabur. Kudiamkan. Di dalam rumah, keluarga kecilku menanti momen berbuka. Tak bisa ada celah bagi kesedihan. Tidak ketika beberapa hari lagi, lebaran pertama tanpa bapak, terganti oleh kehadiran keluarga besar Ranti dan Galih.

“Kukira, warna baru di dalam rumah perwakilan maaf ibu padamu. Tadi aku menelpon ibu. Beliau akan pulang sebentar lagi dan akan temani kita berbuka. Oia, meski tadinya ibu menganggap ini sebagai kejutan baik bagimu, keluarga Galih akan temani kita berbuka. Ngopi bareng selepas tarawih bisa batal atau diteruskan, pilihanmu akan selalu jadi pilihanku.”

Dua lengan mas Bagas melingkari leherku. Dagunya yang ikut bergerak di kalimat panjang yang diucapkannya seolah berikan pijat lembut di atas kepalaku.

“Jadi, jangan biarkan pipimu basah lagi. Sementara anak-anak siapkan racikan es campur a la mereka, kita bisa nikmati sunset. Mungkin tak kan sampai di bias oranye yang kamu puja. Setidaknya, terang di ujung hari ini masih sempat pindahkan semangatnya padamu. Meski bapak telah pergi, sekarang ada keluarga Ranti dan Galih. Rumah besar ini akan jauh lebih ramai dari sebelumnya. Setuju?”

Perlahan aku anggukkan kepala. Meski tak terlihat, aku yakin senyumku sehangat senyum yang hiasi wajah mas Bagas. Sekilas, masih sempat ia tinggalkan kecup kecil di keningku.

--Bersambung--

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
  11. 11
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun