(Epilog Aluy 35)
“Assalamu’alaikum. Paman Muis…,” kali ini suaraku mantap ucapkan salam. Beberapa kali ketuk di daun pintu. Hening, tak berjawab.
Mengulang salam sampai tiga kali, pun beberapa ketukan pintu yang masih tak berjawab.
“Paman Muis mungkin pergi,” timpal mas Bagas.
“Perasan tadi kembali ke depan tak sampai setengah jam. Mereka koq sudah hilang saja,” enggan aku mengamini pernyataan mas Bagas.
“Kita sudah salam tiga kali, juga mengetuk pintu. Bibi Maryam paling belum kembali dari pasar. Tadi sempat pamit ke aku. Sudah yuk, kan nanti sore kita juga mau jenguk Galih. Ketemu nanti saja…”
“Oh, baru ingat. Nanti sore batal. Tapi kita akan ngopi bareng selepas tarawih. Tadi aku janjian begitu sama Galih.”
“Ok. Begitu juga ndak masalah. Intinya hari ini kita tetap akan ketemu Galih. Yuk, balik ke depan saja. Anak-anak sudah teruskan tidur di kamar mereka sendiri.”
“Ya sudah,” kedikkan bahu, aku berbalik dan kembali ke rumah depan.
“Tanganku ndak diseret lagi nih?”
“Ish. Ndak lucu! Mmm, menurut mas, ibu kemana ya?”