Dua mata mas Bagas membulat besar.
“Galih? Galih adik sepupumu? Keponakan ibu? Ya ampun. Untung hari ini kita masih puasa ya. Sepagian sudah terkaget-kaget begini…”
“Ish, jangan lebay deh. Mas kan rajin general check up. Blas ndak ada bakat jantungan.”
“Trus? Galih ndak marah sama kamu? Trus ini, kamu bener ndak kaget dengan warna cat baru rumah? Oh, tadi aku sudah cek garasi, mobil ibu tak ada. Jadi aku juga batal ketuk kamar ibu. Kita belum sungkem ibu lo sejak datang pagi tadi…”
“Haduh, jadi lupa deh. Ndak bakat jantung, tapi hobi merepet kek beo kelaparan. Satu-satu dong mas,” aku pindah dan jejeri duduk mas Bagas.
“Tapi mas benar. Untung kita sedang puasa. Oh, mumpung kita mau tanyakan ibu kemana, kita langsung ke belakang lagi saja yuk. Minimal ada yang kita ketahui, ndak penasaran begini,” seketika aku raih lagi tangan mas Bagas dan menyeretnya keluar.
“Huwwooo, berasa kerbau bener dah ni. Diseret ke sana ke mari.”
Letakkan telunjuk di tengah bibirku, tangan mas Bagas tak kulepaskan. Tak lama, kami sudah berdiri di depan pintu rumah Paman Muis.
--Bersambung--
Aluy 36
Baiq tak menunda bahagia: Hari kemenangan selepas puasa sebulan penuh kurang dari sepekan lagi, tapi kemenangan cinta keluarga telah merajai hatinya.