Mas Bagas bergegas hampiriku. Wajahku telah basah dan masih tatapi tembok kamar bercat baru, biru langit.
“Aku kangen bapak mas. Aku juga kangen Aluy,” aku bahkan tak tahu, apakah tangisku wakili bahagia dapatkan kesempatan sholat berjemaah lagi bersama Bapak, juga Aluy. Meski hanya di dalam mimpi saat terang hari. Ataukah kesedihan, karena bahkan di mimpi sekali pun, masih saja tak ada ibu.
--Bersambung—
ALUY 37
Baiq, masih, tak menunda bahagia: Hari kemenangan selepas puasa sebulan penuh kurang dari sepekan lagi, tapi kemenangan cinta keluarga telah merajai hatinya.
(Epilog Aluy 36)
“Ssshhh, sudah ya. Nanti airmatamu ndak sengaja tertelan, puasanya bisa batal lo. Yuk, ambil wudhu bareng. Sudah ditunggu anak-anak di mushola tuh,” kelembutan usap di punggung dan bisikan mas Bagas cegah isak diamku berubah menggugu.
Hanya bisa berikan anggukan lemah, empat rakaat dzuhur diimami mas Bagas bersama tiga anak-anakku jenakkan efek mimpi. Selepas sholat berjemaah, anak-anak sibuk membantu bibi Maryam siapkan menu berbuka. Mereka berkeras inginkan ayam jago panggang dengan paduan sayur pelecing kangkung. Yang berbeda, sambal pelecing a la anak-anak harus diberikan beberapa irisan gula merah, peredam pedas pun penjaga selera Jawa lidah mereka. Di sela keriuhan mereka membakar sendiri dua tusukan utuh ayam jago, aku sempatkan cari tahu tentang ibu ke bibi Maryam.
“Ibu tak titip pesan pergi ke mana bi? Sampai sesiang ini masih tak ada di rumah…”
“Wah, bibi ndak tau Put. Taunya cuma selepas berjemaah subuh tadi pagi minta diantar Paman Muis ke Mataram.”
“Apa ke rumah Ranti ya?”