“Oh. Syukurlah…,” kali ini, dua tangan Paman Muis reflex elus dadanya sendiri. Ekspresi kelegaan luar biasa.
“Kenapa tidak mengobrol di dalam saja? Kasihan kakinya lo, berdiri begini. Ayok, masuk ke dalam saja,” kali ini, gerakan tangan Paman Muis mendorong kami masuk ke rumahnya. Tampaknya, Paman Muis masih begitu gugup.
“Tidak usah paman. Aku kembali ke depan dulu. Galih, ingat ya, miskol no HP yang kusebutkan tadi. Jangan sampai tak datang karena aku pasti akan menjemput kalian sendiri. Aku tinggal dulu ya…”
Tak enak hati saksikan sikap gugup Paman Muis, aku memilih kembali ke rumah depan. Kuabaikan dulu pertanyaan tentang perubahan besar-besaran warna interior rumah. Melintas di samping kolam, memaksaku mengingat bapak. Senyumku semakin lebar. Bapak memang telah pergi. Namun kehangatan cintanya mampu menjaga rekat yang dipaksa regang oleh ibu. Penantian Ranti yang telah berjawab dan kini Galih. Hari kemenangan selepas puasa sebulan penuh kurang dari sepekan lagi, tapi kemenangan cinta keluarga telah merajai hatiku.
Tepat di samping ruang baca aku berpapasan dengan mas Bagas.
“Astaga Put. Bikin kaget saja. Kupikir masih di kamar depan.”
“Maaf mas. Tadi aku ke belakang cari Paman Muis. Oh iya, sini, ikut aku. Ada yang harus mas Bagas tahu,” sigap kuraih tangannya dan memaksanya mengekorku kembali ke kamar.
“Apa? Cat rumah yang baru? Iya. Sejak datang tadi, aku sampai harus bolak-balik ke semua ruangan, memastikan mataku tak salah lihat…,” kali ini pun, mas Bagas masih melihat sekeliling ruangan tengah. Sepertiku, terasa sangat tak biasa pandangi bukan warna hijau yang tutupi semua arah pandang di dalam rumah besar ini.
“Bukan. Itu juga, tapi masalah warna cat baru jadi kurang penting. Nah, duduk,” sampai di kamar, kududukkan mas Bagas di atas tempat tidur.
“Eh? Kurang penting? Tapi lihat deh, di kamar ini juga semua berubah. Sudut-sudut eternity warna ungu semua. Tembok biru….”
“Sssst. Lihat mataku. Barusan di rumah Paman Muis aku bertemu Galih. Adik sepupuku. Kalau mas mau, aku antar sekarang ke belakang dan kenalan sebentar. Sepertinya tadi ia belum mau pulang koq.”