"Atau maafkan aku, berdiam di batas dan jarak yang membuatku tak pernah temuimu."
"Itu juga tak perlu. Kak Putri hanya tak tahu tentangku. Tapi, sekarang kita sudah bertemu begini. Tadinya kupikir kita akan bertemu biasa saja. Toh aku selalu mengenal kak Putri, dengan caraku sendiri. Jadi, tolong buat ini biasa saja, tak perlu meminta maaf terus begini."
"Iya kah?"
"Ya. Sekarang, aku bisa bebas menyapa kak Putri. Tapi..."
"Tapi apa?"
"Aku tak yakin bisa bebas temui kak Putri di rumah depan. Aku khawatir..."
"Khawatir?"
"Paman Muis dan Bibi Maryam selalu mengingatkanku setiap ke sini, tak perlu ke rumah depan. Mereka tak ingin aku dimarahi bude, manalagi sudah tua begini, kan nggak lucu kalau bude mengomeliku," kali ini wajah Galih dihiasi senyum lebar.
"Oh iya, kenalkan. Aku Lalu Galih Surya Dharma. Panggil saja Galih. Adik sepupu kak Putri."
Tak ragu, aku terima uluran tangan Galih, membalas aliran kehangatan yang diangsurkannya. Tersenyum sama lebar, pertemuan mendadak kami berubah seketika menjadi pertemuan saudara sedarah yang biasa. Hangat, tanpa pretensi.
"Well, karena sudah kamu sebutkan, aku tak perlu sebut namaku kan? Oh iya, seperti kubilang tadi, tadinya mau temuimu sore nanti. Jadi, karena sudah bertemu sekarang, bagaimana dengan ngopi bareng selepas tarawih nanti malam? Kamu juga harus temui anak-anakku dan mas Bagas..."