Mohon tunggu...
Muna Panggabean
Muna Panggabean Mohon Tunggu... -

seorang pengamat sastra sekaligus pelaku, esais, dan budayawan. tapi yang lebih penting daripada itu semua: seorang ibu rumah tangga, ibu dari 3 puteri dan 2 putera.

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

Aku Antar Kamu ke Sana

4 Juni 2014   14:07 Diperbarui: 20 Juni 2015   05:26 249
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

“Maryati.”

“Maryati yang peringkat satu di sekolahmu itu?”

“Dalem, bulik” selak Maryati.

“Brenda, Brigitta, Lita, dan Maryati. Empat kaki meja,” suara Dira terdengar riang.

Wajah Igor memerah. “Maksud loe?” Dia menjauh dari gerombolan itu sambil menekan-balik tombol speaker phone dan melanjutkan percakapan.

“Gila! Trus kita ngapain?” gerutu Nico sambil menendang kerikil di dekat kakinya.

Lita menjepit dada Nico di bagian kanan atas dengan jari telunjuk dan jari tengah lalu memuntir dan kemudian menariknya ke atas. “Maksud loe?”

“Lit, itu puting gue,” jerit Nico.

“Trus?”

“Sakit, gila! Barbarik banget loe.”

episode ke-2: singlet


Mbok Narti menyiapkan sisir dan seutas karet gelang. Dia menunggu di ruang tamu –entah apakah itu sebutan yang pas seakan rumah itu memiliki beranda, ruang keluarga, atau ruang makan. Kenyataannya, itu rumah petak berukuran 4 x 12 yang terbagi atas 4 ruang: ruang depan, kamar tidur, dapur dan meja makan, serta kamar mandi. Oleh standar kelayakan rumah versi WHO, rumah itu pas untuk dihuni oleh 2 orang. Kematian Pak Teguh lima tahun lalu agaknya memang dimaksudkan untuk membuat Mbok Narti dan Maryati berkesempatan menjalani hidup layak. Tengoklah, bersama bergulirnya waktu, kematian pun terasa baik.

“Aku sudah lulus SMA.”

“Mbok ngerti.”

“Rambutku ndak perlu dikuncir lagi.”

“Rambutmu juga lulus SMA ta?”

“Dua bulan lagi kita hidup terpisah, mBok. Aku minta diberi kesempatan untuk mulai bikin keputusan sendiri. Memang ndak mudah. Dua bulan ini mBok masih bisa urun pendapat kalau aku bikin pilihan ngawur. Setelah aku tinggal di Yogya, mBok ndak bakal tahu misalnya aku pakek…, rok mini…..—itu misalnya lho, mBok.”

“Kalau ndak dikuncir, apa ndak sebaiknya dipotong? Dibiarkan tergerai seperti itu bakal merepotkan.”

“Rencanaku begitu. Nanti sore aku mau potong rambut. Uangku banyak. Hadiah satu setengah juta rupiah dari kepala sekolah belum aku pakek sama sekali.”

“Ndak jadi beli telepon genggam?”

“Jadi, tapi yang bekas saja. Mugo-mugo harganya di bawah lima ratus ribu.”

“Karet gelang seplastik di dapur itu aku apakan?”

“Ya buat mbungkus dagangan mBok, to.”

Mbok Narti menyerahkan sisir kepada Maryati. “Kamu juga nyisir sendiri, kan?”

Maryati mengangguk. Dia lantas melangkah ke depan cermin. Mbok Narti menguntil dan  berdiri di belakang Maryati.

Di hadapannya terpampang wajah bulat telur dengan rambut keriting panjang berwarna hitam mengilat hingga dua puluh senti di atas pinggang. Sepasang mata yang sebentuk dengan kacang almond –sudut luar sedikit melengkung ke atas— tanpa  lipatan epikantik bertengger dengan indah. Hidungnya bangir, sedikit mancung, tidak tinggi, pirus; para perupa dan penata kecantikan menyebutnya sebagai hidung celestial.  Di bawahnya, sepasang bibir sedikit merekah dan dengan bibir bawah yang agak tebal memberi  aksen kepada seluruh keindahan itu.

Maryati mengumpulkan dan menarik seluruh rambutnya melewati bahu kanan. Dia menelengkan kepala ke kiri lalu mulai menyisir.

“Kamu cantik.”

“Aku tahu.”

“Sombong betul.”

“Piye to? Aku cuma membenarkan pernyataan mBok.”

Terdengar bunyi pintu diketuk.

“Itu pasti Brigitta.”

“Kamu numpak opo?”

“Numpak mobilnya Brigitta.”

“Baru kali ini ada orang menjemput kamu. Sudah lama mBok membayangkan itu: pemuda gagah yang menjemput kamu dengan kegilangan.”

“Igor?”

Mbok Narti menarik napas panjang sambil melangkah ke arah pintu. “Jangan terlalu berharap, nduk. Mimpi jangan ketinggian. Kalau jatuh, kakimu masih kuat menjejak…, ajeg.”

Dia membuka pintu. Wajah yang tak kalah cantik tersua di hadapan.

“Pagi, mBok.”

“Pagi, Gita. Kamu cantik hari ini.”

“Cuma hari ini?”

“Maksud mBok, hari ini kamu lebih cantik.”

Brigitta tertawa renyah. “Aku mau jemput Maryati, mBok.”

“Ya, mBok tahu. Dia sedang sisiran. Ayo masuk. Enggh…, anu…, kamu sekalian bantu mBok di dapur untuk ngangkat bakul-bakul.” Mbok Narti berjalan tergesa. Brigitta mengikuti perempuan itu dengan gagap.

“Mbok mau jualan?”

“Ndak. Ini sumbangan mBok buat relawan Pak Jokowi…, buat sarapan kalian di rumah Igor.”

“Lho kok jadi gini? Tante Maria pasti nyiapin sarapan buat kita-kita. Mana pernah ibunya Igor mengizinkan orang pulang dari rumahnya sebelum kenyang? Nanti makanannya mubazir.”

“Ini juga bakal mubazir, Git…, mBok siapkan untuk 25 orang.”

“Walah, walah, kalau gitu aku telepon Tante Mar dulu supaya gak usah nyiapin sarapan. Mudah-mudahan dia belum masak.”

“Masih jam 5 pagi, dia pasti belum masak.”

“Tante Mar bangun jam 4. Om Jerome juga. Mereka rutin lari pagi.”

“Ayo bawa bakul-bakul ini ke mobil kamu.”

“Bentar mBok. Aku nelpon dulu.”

Brigitta menggesek layar selpon.

Call. Contact. Scroll Down. M. Maria Tobing. Click.

“Pagi Tante Mar.”

“Ada apa, Git?” Suara di seberang terdengar terengah-engah.

“Tante belum masak sarapan kan?”

“Rencanaku, seperempat jam lagi.”

“Nggak usah.”

“Kenapa? Kamu bawa makanan?”

“Mbok Narti nyumbang pecal buat jatah 25 orang.”

Tak ada sahutan.

“Tante Mar…”

Diam.

“Tan…”

“Aku mau bicara sama mBok Narti.”

Brigitta melangkah cepat ke arah dapur dan menyerahkan selponnya kepada mBok Narti.

“Pagi, Git.”

Brigitta terperangah. Dia menutup mulutnya dengan dua telapak tangan.

“Kenapa?”

“Peluangku memang tipis.”

“Ngawur. Yuk kita angkat bakul-bakul ini ke mobil kamu.”

***

Mereka berjalan dengan kecepatan 2 km per jam. Udara masih gelap. Di sekitar mereka, orang-orang berlari kecil.

“Sudah berapa jauh kita berjalan?”

“Tebakan saya, satu setengah kilometer.”

“Anda belum merasa capek?”

“Saya masih sanggup satu kilometer lagi.”

“Jangan memaksa diri.”

“Saya mau hidup sepuluh tahun lagi.”

“Kenapa…”

“Dulu saya berdoa agar diberi usia tujuh puluh lebih sedikit. Sekarang saya berubah pikiran…, minta diberi bonus.”

“Sepuluh tahun terlalu singkat buat saya.”

Lelaki itu menghentikan langkah. Perempuan di sebelahnya ikut berhenti. Mereka bertatapan.

Perempuan itu tersenyum. “Masih kuat?”

“Semoga degup-degup ini bukan pertanda serangan jantung.”

“Itu mobil kita,” seru perempuan itu sambil tergelak. “Sebaiknya Anda tunggu di sana. Saya mau berlari selama setengah jam.” Dia menurunkan celana trainingnya dan meloloskan itu satu persatu melalui kaki dengan tangan kiri bersandar pada pundak lelaki tua di depannya. “Anda tidak berkeberatan untuk membawa ini ke mobil?”

Lelaki itu tak menjawab. Tangannya menerima apa yang diserahkan perempuan itu.

Sekarang, perempuan itu tampak hidup. Dia mengenakan pakaian para pelari: celana pendek ketat yang hanya sepanjang pangkal paha dan kaus ketat tanpa lengan. Warna kulitnya yang coklat pekat nyaris ditenggelamkan warna subuh. Dia ikat rambutnya sebelum mulai berlari. Mula-mula dalam tempo sedang. Berjarak seratus meter, dia naikkan tempo dan akhirnya meluncur untuk bersaing dengan kecepatan gelombang tsunami. Sejurus kemudian, tubuhnya lenyap ditelan kelokan velodrome bagian luar.

Lelaki tua itu terpana. Dia melangkah lambat ke arah mobil dan lalu membuka pintu untuk memasukkan celana training perempuan itu; melemparnya dan menutup pintu kembali. Dia berjalan balik ke lintasan lari di lingkaran luar velodrome. Berdiri di sana. Tegak. Dia ingin bernyanyi tapi sejenak kemudian sadar: pagi akan terluka oleh suaranya. Dia rentangkan tangannya ke samping sambil menarik napas perlahan dan panjang; menahannya selama 10 detik dan lalu menghembuskannya dalam tempo lambat sambil mengayunkan tangan hingga keduanya bertemu di depan membentuk garis yang tegak lurus dengan tubuhnya. Dia tekuk kepalanya dalam-dalam, berhenti selama 10 hitungan dan lalu melemparnya ke belakang, berhenti lagi selama 10 hitungan. Setelah itu dia tegak, merentangkan tangan ke samping dan mengulangi seluruh tahapan.

Dari sisi kiri, terdengar suara perempuan itu kembali. Berteriak. Dan berlari.

“Sesudah sarapan, kita pergi ke rumah Jerome.”

“Ada apa di sana?”

“Igor minta saya datang untuk menghadiri rapat.”

“Rapat apa?”

Perempuan itu menghilang.

Lelaki tua menarik napas panjang sambil merentangkan tangan ke samping. Dia serius ketika berkata ingin hidup hingga berusia 83 tahun. Tiba-tiba dia merasa kuatir: sampai kapan dia masih bisa bertahan mandiri tanpa menyusahkan orang lain? Perempuan itu bilang, dia ingin menemaninya. Bukankah itu sejenis penjara? Sepuluh tahun adalah separuh dari masa hukuman penjara seumur hidup. Itu terdengar kejam. Dan ngilu. Dia tak punya nyali untuk berlaku sesadis itu. Kalau untuk dua atau tiga tahun, bolehlah. Lalu? Setelah itu?

Sampai dengan Desember kemarin, dia sanggup hidup sendiri selama delapan tahun pasca-kematian Debora. Tak seluruhnya sendiri. Setiap Jumat malam, Jerome dan Jehezkie, dua anak lelakinya, bergantian datang untuk menantangnya main catur. Setiap hari Minggu, dia girang bercengkerama dengan tujuh cucunya. Setiap hari Senin, Kenisha, cucu istimewanya, datang untuk menginap sehari penuh.

“Rapat perencanaan relawan Jokowi.”

“Siapa mereka?”

“Cucu Anda dan teman-temannya. Juga Badru yang hari ini mendarat dari Granada.”

“Dia datang untuk membawa Anda pergi?”

Perempuan itu menghilang lagi.

***

Paimo bersandar di dinding Masjid. Lima orang santri duduk di sekitar dia.

“Apa buktinya kalo Jokowi cino?”

“Tabloid ini,” Sukron menyorongkan Tabloid Obor.

“Itu bukan bukti. Aku sudah baca. Mereka nggak nyebut sumber berita, nggak nunjukin foto-foto atau dokumen resmi. Kalau ada salinan akte kelahiran Jokowi yang mbuktikan dia Cino, baru aku percaya.”

“Mosok kita ndak percaya sama pers?”

“Pers opo? Kalau kamu punya modal, kamu juga bisa bikin tabloid, atau buletin, atau majalah. Kamu bisa nulis seenak kamu.”

“Kan bisa dituntut?”

“Betul.”

“Kenapa Jokowi ndak nuntut?”

“Siapa yang mau dituntut? Tabloid ini ndak jelas kantor redaksinya, siapa pemrednya, siapa penanggungjawabnya. Lha kok sampeyan percaya sama sumber yang nggak jelas?”

“Gini, Mo,” Syaiful angkat bicara. Dia bertubuh tinggi besar. Rahangnya kokoh, sorot matanya tajam. Suaranya ringan tapi tegas, mirip Maruli Sitompul, aktor jadul yang sudah modar. “Tabloid ini memang ndak jelas. Tapi, bagaimana kalau ternyata itu benar? Kita gak boleh berpikiran spekulatip membiarkan kemungkinan itu terjadi. Lima tahun kita bakal diapusi Zionis, Cino, Kristen.”

“Kon iki seru banget. Yang bener yang mana: Jokowi Cino atau Yahudi atau Kristen?”

“Tiga-tiganya.”

“Kok bisa?”

“Kata tabloid ini begitu.”

“Kalau dia Cino, ndak mungkin dia jadi agen Zionis. Kalau dia agen Zionis, ndak mungkin dia Kristen. Kok ngawurmu kebangeten?”

“Kalau salah satunya bener?”

“Buktimu opo?”

“Ndak perlu bukti. Kita hanya berjaga-jaga?”

“Halah. Ruwet. Kalo ada tabloid lain yang omong bahwa Prabowo iku agen iluminati, piye?”

“Ndak mungkin.”

“Lho, kata sampeyan kita kudu jaga-jaga? Siapa tahu itu bener.”

“Yang pasti tabloid itu ndak ada; tabloid obor ini ada.”

“Tabloid itu memang ndak ada karena Mas Jokowi ngelarang relawannya untuk melakukan kampanye hitam. Padahal kubu lawannya tegel, Ibunya Mas Jokowi dibawa-bawa, difitnah, dirasani. Aku yo miris, Pul.”

Diam. Masing-masing terpekur. Kokok ayam terdengar dari kejauhan.

“Sampeyan yakin Jokowi ku Islam tulen?”

“Paling nggak, aku punya bukti.” Paimo mengambil gulungan kertas di balik tubuhnya: berlembar-lembar poster, lalu membagikan mereka satu per satu.

“Ayo diteliti. Di poster ini ada foto-foto Mas Jokowi waktu menunaikan ibadah haji sama keluarganya. Kalau sampeyan ndak percoyo, sampeyan boleh manggil Mas Roy Suryo ntuk mbuktikan apa foto-foto ini hasil rekayasa, apa gambar-gambar ini hasil montage.”

“Roy Suryo ndak punya waktu, Mo. Dia lagi sibuk ngurusi sepakbola Indonesia yang ndak genah-genah; juga bulutangkis yang terengah-engah.

“Ya cari orang lain. Aku bisa minta temenku di Jakarta untuk menyelidiki poster ini. Dia pasti punya temen yang bisa diminta tolong. Bapakku sama almarhum bapaknya konco apik.”

“Sopo?”

“Maksudmu?”

“Temenmu iku sopo? Maksudku, jenenge sopo?”

“Maryati.”

“Yang fotonya ada di dompetmu terus itu?”

Hari masih remang. Tapi muka Paimo jelas memerah.

***

Mereka bersarapan di cabana dekat kolam renang. Taruli, adik Igor yang berusia 11 tahun, menyuguhi semua orang dengan susu kedelai resep Amanda Wilde. Maryati menuang sambal pecel ke piring orang-orang yang berbaris antri. Di punggung kolam renang yang berbentuk badan gitar, Lita memainkan gitarnya: Mood For A Day. Dia menyita perhatian semua orang. Ketukan pada badan gitar yang menyelingi kocokan di bagian pembuka menghadirkan derap kegirangan hidup. Seluruh nada terdengar bersih. Jemarinya lincah berlarian dari kiri ke kanan. Jerome terusik. Permainan Lita sampai pada sebuah bagian: melodi bass menjelujur pepat terbunyikan jernih. Itu komposisi lawas ketika idealisme dan sukacita masih jadi modal utama dalam berkarya.

Jerome berdiri sepuluh langkah dari gadis itu, memandang ke kejauhan, berusaha menemukan 32 tahun yang hilang.

Igor mengunyah nasi pecel sambil memejamkan mata. Ini sarapan sempurna: jam 6 pagi berteman susu kedelai. Sejenak kemudian dia teringat sesuatu lalu meraih gadget koreanya, memilih aplikasi kamera, mengarahkan bidikan ke nasi pecel di piring, dan menjalankan aplikasi kirim-pesan. Ia cari sebuah nama dan melampirkan hasil bidikan ke pesan yang ingin dikirim. Lima detik kemudian, pesan itu sudah terbang menyeberang benua.

Di seberang meja, ayahnya memperhatikan apa yang dia lakukan.

Terdengar buzz dari selponnya.

What’s that?

Igor mengetik cepat: Pecel rice.

I don’t get it.

The one that you ate a year ago when you picked me up at school. You said: this is the most delicious Indonesian food beside rendang.

Tiga puluh detik kemudian selponnya berdering. Igor tersenyum, menggesek tombol hijau dan menekan tombol speaker phone.

“Nasi Pecel yang lezat itu?”

“Ya.”

“Kamu sedang berada di mana?”

“Di rumah.”

“Ini jam 6 pagi di Jakarta, bukan? Bagaimana kamu bisa mendapatkan nasi pecel dari sekolahmu?

“Dibawa oleh puteri dari penjualnya ke rumah ini.”

“Apa yang sedang terjadi?”

“Kami punya Obama: orang yang berangkat sebagai rakyat untuk maju ke depan memimpin Indonesia. Obama tinggal di Jakarta dan berjalan kaki ke sekolah, lelaki ini menghabiskan masa kecilnya di bantar sungai. Obama tekun belajar hingga meraih pendidikan tinggi, lelaki ini pun demikian namun memilih untuk jadi pengusaha kecil hingga kemudian jadi besar. Obama memasuki dunia politik dengan menjadi senator, lelaki ini memulai karir politiknya sebagai walikota di kota kecil sebelum kemudian menjadi gubernur Jakarta. Obama mencalonkan diri sebagai presiden dengan sokongan rakyat, lelaki ini didorong rakyat untuk bertarung dalam pemilihan presiden. Obama mengandalkan dana kampanyenya kepada sumbangan rakyat, demikian pula dengan lelaki ini. Obama cerdas dan berkekayaan sejuta elokuensi, lelaki kami ini berkekayaan hati. Dia bernama Joko Widodo. Kami memanggilnya Jokowi, mirip nama petenis Jokovich.

Lelaki ini bertarung dengan seorang mantan jendral yang punya modal ratusan juta dolar. Jokowi tak bisa dan tak mau mengandalkan siapapun kecuali rakyat Indonesia. Sekarang kami berkumpul, merencanakan banyak hal dalam mendukung dia. Om Anto dan teman-temannya sebentar lagi datang. 7-Sekawan sudah hadir lengkap. Pesawat yang membawa Om Badru dari Spanyol bakal mendarat dalam 1-2 jam lagi. Arief, Brenda, Yono dan Bayu mungkin sedang berkemas dan bersiap untuk terbang ke Indonesia. Ini pertarungan terbesar buat kami. Akan kami pastikan: Indonesia milik rakyat, bukan kepunyaan para cukong dan tukang tadah.

Dia orang baik, Mommy. Dia berpihak kepada orang-orang tersingkir, memeluk mereka yang kalah, menyantuni orang terbuang, dan tertawa riang bersama orang-orang miskin. Sejak negeri ini berdiri, kami belum pernah punya calon pemimpin seperti dia.”

“Kamu terdengar bersemangat.”

“Aku marah.”

“Itu bukan awal yang baik. Kemarahan akan mengisap tenagamu. Saat memasuki gelanggang, kamu sudah tak punya apa-apa karena seluruh tenaga telah dikonsumsi oleh kemarahan.”

“Dalam segala hal, sang jendral itu kalah dengan Jokowi. Aku ulangi: dalam segala hal. Jokowi punya prestasi gemilang; jendral itu punya kenaikan pangkat beruntun dalam satu setengah tahun karena mertuanya adalah presiden kedua Indonesia. Jokowi mengangkat orang kecil untuk hidup lebih baik, jendral itu menculik suara-suara kebebasan untuk dibungkam di liang keji. Jokowi melayani rakyat, masuk ke lorong dan gorong kemiskinan, jendral itu dilayani oleh para punggawa dan memamerkan kedigdayaan dengan berkuda seharga satu milyar sembari hilir-mudik naik helikopter. Jokowi punya semua yang dibutuhkan untuk jadi pemimpin, jendral itu tak punya apa-apa untuk ditawarkan kepada rakyat Indonesia. Jendral itu lalu bertarung secara licik: dia lucuti kegemilangan Jokowi melalui fitnah dan kabar dusta yang diwartakan ke seluruh negeri oleh mesin-mesin kebohongannya.”

“Kamu belum jawab pertanyaanku.”

“Yang mana?”

“Apa yang membuat puteri penjual nasi pecel membawa dagangannya ke rumah kamu.”

“Ini sumbangan Ibunya untuk perjuangan kami.”

“Wow! Apa yang bisa kulakukan untukmembantu kalian?”

“Jangan. Kamu orang Amerika. Nanti seisi negeri ini menduga Jokowi didukung mesin kapitalisme.”

“Aku tak boleh melakukan apapun untuk mendukung perjuangan orang baik?”

“Setidaknya kamu bisa berdoa.”

“Itu upaya yang sangat lemah…, malah murahan. Doa seringkali dijadikan alat untuk menyingkir dari pelibatan moral kepada sesuatu yang baik namun berisiko.”

“Kamu terdengar seperti Kenisha.”

“Dia puteriku. Bagaimana tidak?”

“Kapan kamu tiba di sini?”

“11 Juli.”

“Kamu bakal melewatkan pesta besar.”

“Aku tahu. Tapi aku dan Tirza sudah berjanji untuk untuk hadir di rumah pemilik Virgin Air di Los Cabos.”

“Itu cuma perayaan, yang ini perjuangan.”

“Ya, tapi katamu, aku tak boleh melakukan apa-apa di sana.”

“Setidaknya hadirlah sebagai pemberi semangat.”

“Kehadiranku berguna untuk menyemangati kamu?”

“Lebih dari yang kamu kira.”

Sela. Hening. Semua yang berada di Cabana berdebar-debar.

“Aku akan timbang-ulang rencana kepergianku ke Los Cabos. Besok aku kabari.”

“Ada yang menunggumu dengan cemas di sini,” selak Lita sambil mengerling pada Jerome.

Hening lagi.

“Kamu tak mau kehilangan Nasi Pecel mBok Narti, ‘kan?” Maria meningkahi.

“Juga ketupat ketan buatan Surti dan sop ikan Kalimantan buatanmu,” sahut Amanda dengan nada lemah. “Ya, aku tak mau kehilangan itu semua.”

“Jadi?” Stephan cenderung menjerit.

“Aku harus hubungi produserku untuk menggeser jadwal shooting tiga bulan ke belakang. Itu tak mudah. Kalian tahu, setiap kali berkunjung ke Indonesia, aku selalu cedera janji kepada pekerjaanku di sini. Negeri kalian adalah candu bagiku.”

“Indonesia… atau salah seorang dari Indonesia?” goda Raymond.

“Kalian semua dan Indonesia. Yang satu itu…, cuma masa lalu.”

“Kamu keliru,” selak Maria, “Kenisha bukan masa lalu.”

Lita memetik gitar. Birama tiga ketuk. Sebuah chord terdengar berulang, menunggu seseorang—entah siapa—memulai nyanyian. Jerome tersenyum. Mereka bertatapan. Selpon Igor tetap aktif. Lita menggerakkan kepala, meminta Jerome bernyanyi. Sebentar kemudian suara lelaki berusia 49 tahun itu terdengar. Lita membarengi. Brigitta menimpali. Dengan phrasering yang prima mereka bertrio: ( klik tautan lagu ini )

HALAMAN :
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun