Mohon tunggu...
Muna Panggabean
Muna Panggabean Mohon Tunggu... -

seorang pengamat sastra sekaligus pelaku, esais, dan budayawan. tapi yang lebih penting daripada itu semua: seorang ibu rumah tangga, ibu dari 3 puteri dan 2 putera.

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

Aku Antar Kamu ke Sana

4 Juni 2014   14:07 Diperbarui: 20 Juni 2015   05:26 249
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

“Jangan kemana-mana, pastikan headset dari gadget Anda tetap menempel di telinga. Setelah klenengan beberapa pedagang berikut ini, kami akan kembali menemui tolan sekalian. Tetaplah di Kanal-7, radio internet.”

***

Chapin memarkir mobil. Jam 06:15. Tidak terlalu pagi. Perjalanan dari rumah ini hanya butuh waktu 40 menit untuk sampai kantor Kanal-7. Mudah-mudahan lelaki tua itu sudah bangun. Semalam dia menelpon, melaporkan hidungnya yang tersumbat. Badan saya meriang, katanya. Chapin menawarkan diri datang untuk membawa semangkuk sup panas, tapi lelaki itu menolak. Saya sudah minum air panas bercampur tetesan minyak angin, lanjut lelaki itu lagi.

Sudah sebulan lalu terbit pikiran untuk pindah ke rumah lelaki itu. Tapi Chapin kuatir, dunia bakal merutuk. Aku bukan istrinya, bukan pula tunangannya. Usia kami berbeda 42 tahun: aku 31, dia 73. Ini hubungan ganjil. Lebih ganjil lagi: aku perempuan Shona dari kelompok Zezuru di Zimbabwe; dia lelaki Batak.

Chapin tak tahu apa yang dia butuhkan dari hubungan semacam itu. Setiap malam dia hanya ingin menengok lelaki itu di kamarnya, bertanya apa ada yang akan mengganggu tidurnya, sebelum kemudian menyodorkan sesloki anggur, menarik selimut untuk menutupi tubuh lelaki itu dan menutupnya dengan kecupan tipis di pipi. Lalu: selamat malam.

Begitulah. Tadi malam, ketika Benjamin mengaku kepalanya pusing dan tenggorokannya kering, Chapin kepingin terbang untuk rebah di sebelah tubuh lelaki itu. Dia perlu memperhatikan kembang-kempis dada Benjamin untuk memastikan segala sesuatu akan baik-baik saja. Setelah itu, barulah dia bisa lega membiarkan dirinya dibawa rasa kantuk ke dalam buaian malam.

Chapin mengambil kunci dari dalam tas, membuka gembok pagar, berjalan 10 langkah untuk tiba di pintu rumah, mengambil kunci yang lain dan membuka pintu itu. Sepi. Tak ada suara. Jantungnya serasa berhenti berdetak. Dia melangkah cepat menuju ruang tidur yang berada di sisi kiri bagian tengah rumah. Dengan perlahan, dia buka pintu kamar. Ya Allah. Lelaki itu terbujur kaku. Handuk kecil yang tergulung berletak di keningnya. Dia sontak berlari dan duduk di ranjang, mengambil handuk kecil , meraba keningnya, dan…, lelaki itu membuka mata.

“Anda tidak apa-apa?”

“Pagi ini saya jauh lebih sehat.”

Chapin bangkit, melangkah ke kamar mandi untuk mengambil termometer di kabinet obat. Dia memasukkannya ke mulut Benjamin. Tiga menit kemudian: 37,2. Dia menarik napas lega.

“Anda menangis?”

HALAMAN :
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun