“Ya ndaklah. Aku lega. Apalagi pas dia bilang: nanti, kalau waktunya sudah tiba, Maryati ada di urutan paling atas dari semua kemungkinan.”
“Yang itu pasti kamu bohong…, lebay…, ngarang.”
“Aku mau buktikan: kemiskinan ndak boleh membatasi apa yang aku impikan. Aku harus berani melangkah ke mana saja. Batas-batas itu dusta.”
“Balik ke iPad. Ada perlu apa kamu sama Igor?”
“Aku mau ngajak dia mimpin sebuah gerakan. Tadi, dalam perjalanan menuju sekolah, aku lihat gambar seorang lelaki ceking nempel di tiang-tiang kayu. Aku tercenung. Dia berasal dari keluarga susah, masa kecilnya susah, mukim di bantaran kali, anak tukang kayu, buka usaha dari dasar banget, lalu membesar, membesar lagi, trus jadi wali, dipilih jadi gubernur, dan sekarang dicalonkan jadi presiden. Kok kayak ngimpi?
Maksudku, cerita-cerita seperti itu kan cuma ada dalam dongeng. Tapi ini kenyataan lho, diajeng. Aku betul-betul ngarep dia yang menang dadi presiden. Alasan pertama, itu kenyataan yang sehat. Kemarin-kemarin kan kita percaya: cuma orang yang punya koneksi yang bisa naik pangkat, yang lolos dari saringan, yang diangkat jadi pejabat. Di luar itu, jangan ngarep, ngimpi boleh. Kalau ketemu anak kecil yang ngomong banter tentang cita-citanya mau jadi menteri, jadi jendral, jadi presiden, kita ketawa kecil sambil ngebathin: nanti kalau kamu sudah besar, nduk, kamu bakal sadar kalo itu cuma khayalan masa kanak-kanak. Mimpi jadi ndak laku di negeri ini.
Hatiku berontak. Mimpi adalah kekayaan bagi orang miskin. Kalau itu sudah ndak dianggap layak, apalagi yang masih tersisa buat kami? Tapi kalau lelaki ceking itu menang dan jadi presiden, dia mengembalikan kepada orang miskin satu-satunya harta berharga yang selama ini dijarah oleh para penggede. Keadilan kembali hadir. Mudah-mudahan ndak ada lagi orang berani menganggap remeh orang miskin karena sadar: masih ada mimpi yang memungkinkan kami pada suatu saat duduk di singgasana. Dari sudut sastra, dari teropong agama, itu bagus banget.”
“Alasan kedua?”
“Dia orang yang tepat. Sebagai mantan orang miskin, dia gak bakal mengkhianati kami. Sebagai mantan orang terpinggir, dia juga gak mungkin mengelabui kamu. Dia kan ndak nyogok orang-orang besar untuk dikenalkan ke Bu Mega supaya dicalonkan jadi Gubernur Jakarta. Dia dibawa ke sini karena kita semua memilihnya, karena kita tahu: dia orang yang pas untuk mewakili sekaligus memimpin kita.
Hampir dua tahun mimpin Jakarta, dia membuktiin sekali lagi: dia ndak mengkhianati orang susah. Aku nangis ndenger kabar: Parti, sepupuku, tinggal di rumah susun deket Pluit. Dulu, saat berkunjung ke rumah mereka, aku ndak tahan oleh bau busuk, oleh udara sumuk. Sekarang Parti hidup nyaman di rumah yang sehat.
Rumah-rumah susun sudah dari dulu ada untuk rakyat. Masalahnya, orang-orang jahat ngerampas itu untuk disewakan ke orang-orang yang hidupnya gak susah. Kebangeten. Pemerintah ndak berbuat apa-apa. Mungkin mereka dapet bagian, mungkin mereka ngeri sama preman, mungkin mereka memang ndak punya waktu buat rakyat, aku ndak ngerti.