Perbankan Syariah Sebagai Investment Banking
Ditulis : 20 Juni 2015
Oleh : Daryoko, Praktisi dan Akademisi Pasca Sarjana IUN Sunan Kalijaga Yogyakarta
Pembangunan ekonomi nasional merupakan suatu kegiatan mengatur dan memenuhi kebutuhan hidup penduduk sehingga merupakan proses menciptakan kesejahteraan umum dan mencerdaskan kehidupan bangsa sebagaimana dirumuskan oleh para pendiri Indonesia terdahuluyang kemudian dirumuskan dalam pembukaan UUD 1945 untuk memenuhi seluruh hajat hidup rakyat dan meningkatkan taraf kehidupan menuju suatu tatanan masyarakat adil dan makmur secara merata.
Data BPS pada tahun 2014 jumlah penduduk Indonesia mencapai 240 jutajiwa yang terus meningkat pada tahun 2015 akan mencapai jumlah 255 juta jiwa sampai dengan 300 juta jiwa sedang penduduk miskin mencapai 27 juta jiwa hal merupakan sebuah asset sekaligus tantangan besar. Diperlukan suatu perencanaan yang komprehensif dan terintegrarasikepadasuatu system produksi dan distribusi yang mantap dan menyeluruh terhadap pemenuhan kebutuhan primer yaitu persoalan PPSK (pangan papan sandang komunikasi).
Dari gambaran diatas, dapat disimpulkan bahwa kegiatan pembangunan dibidang ekonomi belum mampu mengatasi akar persoalan utama ekonomi yakni bagaimana memenuhi kesejahteraan seluruh penduduk dengan tetap mempertahankan kelestarian sumber daya alam, tanpa mengandalkan utang luar negari. Namun yang terjadi sampai dengan saaat ini ditahun 2015 adalah terjadinya ketimpangan ekonomi antara daerah satu dengan yang lainnya dimana kegiatan produksi dan distribusi terkonsentrasi pada sekelompok kecil masyarakat melalui penguasaan sumber daya alam, permodalan, dan teknologi dan infomasi menyebabkan terjadinya dominasi fungsi/tujuan ekonomi mereka (keuntungan) dalam pertumbuhan ekonomi.
Perkembangan sektor perbankan yang terlalu cepat yang tidak diikuti infrastruktur yang mendukungnya seperti kebijakan yang sempurna, arah kegiatan usaha yang jelas, sumber daya manusia yang tangguh dan perbankan. Bank bagi pemilik lebih berfungsi sebagai fasilitator memobilisasi dana masyarakat untuk kepentingan usahanya dan bank BUMN sekedar dijadikan sapi perah bagi pemegang kekuasaan sedang bank swasta dijadikan alat pengumpulan modal untuk membesarkan usaha pemilik bank mengakibatkan ketimpangan dalam distribusi financial sehingga menghambat untuk menumbuhkan iklim usaha yang sehat di Indonesia. Pembajakan karyawan perbankan menjadi cara cepat untuk memenuhi kebutuhan tenaga professional yang memunculkan permasalahan meningkatnya biaya tenaga kerja yang tinggi akibatnya para pemilik bank menuntut prestasi kerja yang tinggi untuk memberikan keuntungan atas biaya besar yang telah dikeluarkannya sehingga mengakibatkan tinnginya beban bunga yang disalurkan berupa kredit dan berakibat dalam proses produksi nasional yang mahal.
Akibat yang terjadi adalah tekanan kerja yang tinggi bagi karyawan perbankan sehingga menimbulkan sikap agresif dan terburu-buru sehingga cenderung mengabaikan aspek ketelitian dan kehati-hatian dalam bekerja. Di sisi lain banyak bank tidak memiliki strategi usaha yang focus dimana penyaluran kredit dilakukan serampangan tanpa melalui strategi segmentasi/distribusi dan diversifikasi yang jelas tanpa didukung struktur dan kemampuan sumber dana pendukung ekspansi sangatlah lemah sehingga menimbulkan gap yang cukup besar karena kredit cenderung disalurkan ke usaha group usaha yang terkait dengan bank sehingga analisa kreditnya cenderung subyektiv dan lemah sehingga berakibat banyak bank yang beroperasi dengan system dan prosedur operasi yang kurang memadai tanpa disertai mekanisme pengawasan yang memadai. Hal ini mengakibatkan kurangnya perhatian terhadap aspek manajemen perbankanyang menyebabkan pengelolaan risiko menjadi terabaikan.
Dari keadaan tersebut diatas maka dibutuhkan keberadaan sistem perbankan yang handal dan kenyal terhadap goncangan krisis ekonomi yang pilihanya ada pada perbankan yang berbasis pada konsep syariah Islam dan juga potensi pasar yang tinggi karena Indonesia mayoritas penduduknya beragama Islam. Secara filosofis bank syari’ah adalah bank yang aktivitasnya meninggalkan masalah riba. Dengan demikian, penghindaran bunga yang dianggap riba merupakan salah satu tantangan yang dihadapi dunia Islam dewasa ini. Suatu hal yang sangat menggembirakan bahwa belakangan ini para ekonom Muslim telah mencurahkan perhatian besar, guna menemukan cara untuk menggantikan system bunga dalam transaksi perbankan dan keuangan yang lebih sesuai dengan etika Islam. Upaya ini dilakukan dalam upaya untuk membangun model teori ekonomi yang bebas bunga dan pengujianya terhadap pertumbuhan ekonomi, alokasi dan distribusi pendapatan.
Perbankan syari’ah didirikan didasarkan pada alasan filosofis maupun praktik. Secara filosofis, karena dilarangnya pengambilan riba dalam transaksi keuangan maupun non keuangan. Kegiatan operasional perbankan syariah di Indonesia dimulai pada tahun 1992 sejak pendirian PT. Bank Muamalat Indonesia Tbk. (PT. BMI) atau 4 tahun setelah deregulasi Pakto 88. Perkembangan perbankan syariah berjalan lebih lambat dibandingkan dengan bank konvensional. Operasional perbankan syariah di Indonesia didasarkan pada Undang-undang No. 7 tahun 1992 tentang Perbankan yang selanjutnya diperbaharui dengan Undang-undang No. 10 tahun 1998. Pertimbangan perubahan Undang-undang tersebut dilakukan untuk mengantisipasi tantangan system keuangan yang semakin maju dan kompleks dan untuk mempersiapkan infrastruktur memasuki era globalisasi.
Munculnya perbankan syariah dalam system perbankan nasional bukanlah semata-mata mengakomodasi kepentingan penduduk Indonesia yang kebetulan sebagian besar muslim. Namun lebih kepada adanya factor keunggulan atau manfaat lebih dari perbankan syariah dalam menjembatani ekonomi.Dalam system perbankan konvensional, selain berperan sebagai jembatan antara pemilik dana dan dunia usaha, perbankan juga mesih menjadi penyekat antara keduanya karena tidak adanya transferability risk dan return. Dalam konteks makro, modus ini menghindarkan modus kesenjangan antara sumber dana dengan investasi (saving investment gap) sehingga menciptakan landasan pertumbuhan yang kuat.
Produk yang ada dalam perbankan syariah secara alamiah merujuk kepada dua kategori kegiatan ekonomi, yaitu produksi dan distribusi. Kategori pertama difasilitasi melalui skema profit sharing (mudharabah) atau bagi hasil dan partnership (musyarakah) atau syirkah,sedangkan kegiatan distribusi manfaat hasil-hasil produk dilakukan melalui skema jual beli (murabahah) dan sewa menyewa (ijaroh). Berdasarkan sifat tersebut maka kegiatan lembaga keuangan syariah (bank syariah) dapat dikategorikan sebagai investment banking dan merchant/commercial bankingsehingga sangat diharapkan sistem perbankan syariah dapat membawa bangsa Indonesia keluar dari krisis ekonomi yang terjadi sejak 1997sampai dengan saat ini, namun hal ini tidak bisa terlepas dari dukungan seluruh lapisan masyarakat, lembaga-lembaga negara yang ada di Indonesia baik pemerintah, DPR maupun seluruh elemen bangsa Indonesia.
Â
Prospek Dan Tantangan Perbankan Syariah Di Indonesia
Ditulis : 20 Juni 2015
Oleh : Daryoko, Praktisi dan Akademisi Pasca Sarjana IUN Sunan Kalijaga Yogyakarta
Kegiatan operasional perbankan syariah di Indonesia dimulai pada tahun 1992 dengan diawali pendirian PT. Bank Muamalat Indonesia Tbk. (PT. BMI) atau 4 tahun setelah deregulasi Pakto 88. Operasional perbankan syariah di Indonesia didasarkan pada Undang-undang No. 7 tahun 1992 tentang Perbankan yang selanjutnya diperbaharui dengan Undang-undang No. 10 tahun 1998 tentang perbankan. Pertimbangan perubahan Undang-undang tersebut dilakukan untuk mengantisipasi tantangan system keuangan yang semakin maju dan kompleks dan untuk mempersiapkan infrastruktur memasuki era globalisasi.
Undang-Undang (UU) Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perbankan dan UU No 23/1999 tentang Bank Indonesia (BI). Mengatur tentang pengembangan perbankan syariah di Indonesia. Indonesia memiliki penduduk mayoritas beragama Islam. Pengembangan perbankan syariah pada dasarnya bertujuan memenuhi kebutuhan masyarakat yang belum terlayani jasa perbankan konvensional karena keyakinan khususnya bahwa bunga bank haram. Disamping itu pengembangan perbankan syariah juga bertujuan dalam rangka restrukturisasi perbankan untuk peningkatan ketahanan sistem perbankan serta meningkatkan keragaman jasa dan produk perbankan yang sesuai dengan kebutuhan masyarakat.
Perkembangan perbankan syariah berjalan lebih lambat dibandingkan dengan bank konvensional hal ini terlihat dari pertumbuhan total aset perbankan syariah yang sampai tahun 2015 ini yang sudah berjalan 23 th dari perbankan syariah pertama kali berdiri di Indonesia namun pangsa pasar perbankan syariah baru mencapai 6% dari total aset perbankan nasional yang ideal pertumbuhannya adalah 30% kondisi tersebut berbanding terbalik dengan kondisi masyarakat Indonesia dimana potensi pangsa pasar perbankan syariah di Indonesia sangat besar mengingat jumlah penduduk yang beragama Islam adalah 80% dari total penduduk yang menurut data statistik BPS tahun 2015 diperkirakan sebanyak 250 juta sedangkan pangsa pasar perbankan syariah tidak terbatas kepada warga negara Indonesia yang beragama Islam saja namun pihak non muslim juga merupakan pangsa pasar bagi perbankan syariah.
Rendahnya pangsa pasar perbankan syariah pada saat ini merupakan prospek dan merupakan tantangan yang harus dijawab dan diwujudkan dengan tindakan yang nyatasehingga harus dicari solusi permasalahan olehpihak institusi perbankan syariah maupun lembaga yang menaunginya seperti OJK yang memiliki wewenang otoritas pengendalian dan pengawasan bagi lembaga perbankan dibawah menteri keuangan untuk meningkatkan pertumbuhan perbankan syariah secara nasional.
Faktor yang harus dicarikan solusi untuk menjawab permasalahan rendahnya pangsa pasar perbankan syariah antara lain apakah dari faktor persepsi masyarakat yang mengangapperbankan syariah sama dengan perbankan non syariah tetapi hanya diberi baju syariah pada hal keharaman bunga bank sudah jelas atau kurangnya jaringan perbankan syariah yang belum merata dan baru di buka di zona-zona yang dinilai potensial yang sosialisasi perbankan syariah ke masyarakat menjadi belum maksimal sehingga masyarakat belum paham keberadaan perbankan syariah.
Permasalahanlain misalnya produk-produk perbankan syariah yang belum bersaing terkesan lebih mahal dibanding perbankan non syariah untuk pembiayaan khususnya pembiayaan yang diberikan oleh BMT dan BPR Syariah atau dianggap asing oleh masyarakat sehingga manfaat dan keunggulanya dibanding produk perbankan non syariah belum dirasakan. Faktor lain menyangkut permodalan perbankan syariah yang masih lemah dan tehnologi informasi yang dipergunakan masih perlu ditingkatkan. Jika dilihat sejarah berdirinya perbankan syariah nasional pasca Bank Muamalat Indonesia (BMI) dan BPR sebagian besar merupakan UUS dari Bank induknya yang berasal dari perbankan konvesional yang selanjutnya menjadi anak perusahaan dari perbankan konvensional induknya sehingga kebijakannya sedikit atau banyak masih dipengaruhi campur tangan perbankan induknya.
Beberapa halsebagai mana tersebut di atas yang mempengarui persepsi masyarakat terhadap pengambilan keputusan mempergunakan produk-produk perbankan syariah harus segera dicari solusinya karena kemungkinan diluar masalah aspek keharaman bunga bank yang sudah jelas masih ada faktor lain yang mempengarui penerimaan perbankan syariah oleh masyarakat segera diketahui dan dipetakan sehingga dari permasalahan yang ada harus segera dicari solusiagar perbankan syariah tidak menjadi pemanis saja dalam kancah perekonomian namun harus bisa memberikan sumbangan yang optimal bagi keberkahan umat dan kesejahteraan bangsa Indonesia. Yang paling utama adalah melaksanakan amal sesuai dengan petunjuk dari agama Islam sehingga dengan sistem perbankan syariah, Insya Allah usaha lancar dan mendapat keberkahan serta tidak meragukan lagi bagi ummat Muslim di Indonesia. Insya Allah.
Â
Optimalisasi Wakaf Uang Bagi Pengembangan Perbakan Syariah dan Kemandirian Masjid Di Indonesia
Ditulis : 20 Juni 2015
Oleh : Daryoko, Praktisi dan Akademisi Pasca Sarjana IUN Sunan Kalijaga Yogyakarta
Manusia telah mengenal wakaf sejak terbentuknya tatanan kehidupan bermasyarakat di muka bumi.Sebagian umat Islam terbiasa mewakafkan harta bendanya yang tetap (tidak bergerak) misalnya berupa tanah, namun untuk mewakafkan harta bendanya yang tidak tetap (bergerak) tidak begitu terbiasa. Untuk harta tidak bergerak selama ini berupa dana atau uang untuk pembayaran infaq, zakat, sedekah yang penyerahnya berupa keseluruhan pokok kepada yang berhak menerima namum untuk wakaf uang belum lazim hal ini tidak lepas dari pemahaman tentang lebih afdholnya mewakafkan harta benda berupa benda tetap seperti tanah daripada benda lainnya..
Wakaf uang atau cash wakaf atau waqf al nuqud telah sejak lama dipraktekkan diberbagai negara seperti Malaysia, Bangladesh, Mesir, Kuwait dan di negara-negara Islam di Timur Tengah lainnya. Sedangkan di Indonesia penerapan wakaf uang dilaksanakan setelah Majelis Ulama Indonesia (MUI) mengeluarkan Fatwa MUI tanggal 11 Mei 2002 tentang kebolehan melakukan wakaf dalam bentuk uang. [1]
Pada tahun 2004, Pemerintah Indonesia telah mengeluarkan Undang-Undang Nomor.41 tahun 2004 Tentang Wakaf, yang di dalamnya menentukan bahwa benda yang dapat diwakafkan tidak hanya benda tetap (tidak bergerak) tetapi terdiri dari benda bergerak dan tidak bergerak yang pengelolaanya dibawah Badan Wakaf Indonesia (BWI). Menurut Undang-Undang ini Wakif dapat pula mewakafkan sebagian kekayaannya berupa hartabenda wakaf bergerak, baik berwujud atau tidak berwujud yaitu uang, logammulia, surat berharga, kendaraan, hak kekayaan intelektual, hak sewa, dan benda bergerak lainnya khususnya uang. Dalam hal benda bergerak berupa uang, wakif dapat mewakafkan barang bergerak misalnya uangdi lembaga yang di tunjuk yaitu Badan Wakaf Indonesia (BWI) melalui Lembaga Keuangan Syaria, misalnya perbankan syariah agar memudahkan Wakif untuk mewakafkanuang miliknya
Dimasukkannya wakaf tunai dalam perundangan-undangan Republik Indonesia melalui Undang-Undang No 41 tahun 2004, merupakan angin segar dan peluang baru bagi umat Islam Indonesia untuk mengelola dan mengembangkan suatu potensi dana umat yang cukup besar dalam meningkatkan kesejahteraan ekonomi kaum muslimin dan melepaskan umat Islam dari kemiskinan. Â Bahkan dimungkin, wakaf tunai bisa menjadi jalan alternatif untuk melepas ketergantungan bangsa ini dari lembaga-lembaga kreditor multilateral sekaligus menstimulasi pertumbuhan ekonomi Indonesia khususnya pengembangan sistem ekonomi syariah. Sebagai negara yang berpenduduk mayoritas muslim, eksistensi instrumen syariah ini memilki prospek yang baik dan cerah serta akan sangat acceptable sehingga wakaf tunai diperkirakan akan memberikan kontribusi besar bagi percepatan pembangunan di Indonesia.
Penerapan wakaf uang melalui  UU No. 41 tahun 2004 merupakan sarana rekayasa sosial (social engineering), untuk melakukan perubahan-perubahan pemikiran, sikap dan perilaku umat Islam agar senafas dengan semangat UU tersebut. Dengan pengundangan itu juga tidak ada gunanya lagi memperbanyak wacana khilafiyah tentang boleh tidaknya wakaf tunai.
Menurut dasar pertimbangan Fatwa MUI tentang wakaf tunai disebutkan bahwa wakaf uang memiliki fleksibilitas dan kemaslahatan besar yang tidak dimiliki oleh benda lain.Indonesia merupakan negara dengan mayoritas penduduknya 80% beragama Islam dari 255 juta jiwa penduduk Indonesia (Data BPS 2014) sehingga keadaan ini memiliki potensi wakaf uang yang sangat besar apabila dapat dioptimalkan untuk mengembangkan lembaga keuangan yaitu perbankan syariah dan sistem pada tahun ekonomi syariah berbasis masjid.
Berdasar data Ditjen Bimas Islam Kemenag pada 2013, terdapat 731.096 bangunan masjid dan mushola, sehingga dapat dijadikan sarana optimalisasi wakaf uang dalam rangka mengembangankan perbankan syariah serta pengembangan ekonomi syariah berbasis masjiddengan menjadikan masjid disamping menjadi tempat ibadah juga menjadi tempat pengembangan sistem ekonomi syariah dengan langkah sebagai berikut :
- Berdasar data BPS 2104jumlah penduduk Indonesia 252 juta jiwa, yang muslim 80% atau sekitar adalah 201 juta dan jika diasumsikan setiap tahun setiap jiwa menyisihkan hartanya untuk wakaf uang Rp.100.000 melalui Badan Wakaf Indonesia dengan berkerja sama dengan Majelis Ulama Indonesia (MUI), Kemenag melaui jaringan Kantor Urusan Agama (KUA) dan Perbankan Syariah akan terkumpul dana wakaf sebesar Rp.20 trilyun per tahun.
- Dana wakaf uang tersebut disimpan didepositokan atas nama Badan Wakaf Indonesia di perbankan syariahsehingga dana tersebut akan menjadi penguat perbankan syariah sebagai simpanan jangka panjang yang akan bertambah setiap tahunnya dan dapat disalurkan untuk membiayai pembiayaan yang disalurkan perbankan syariah.
- Penempatan deposito misalnya setiap memperoleh bagi hasil setara 5% pertahunmaka diperoleh Rp.1 Trilyun pertahun atau bulan Rp.84Milyar tiap bulan dan kepada Pengurus masjid dan jamaahnya selanjutnya diberikan pelatihan perbankan syariah atau perkoperasian syariah bersama lembaga terkait, data Kementrian Agama pada tahun 2013 terdapat 731.096 bangunan masjid dan mushala.
- Bagi pengurus atau takmir masjid yang sudah mendapatkan pelatihan selanjutnya membentuk koperasi masjid syariah dibawah naungan lembaga terkait, Misalnya pada tahap awal sebanyak 840 masjid diseluruh di Indonesia diberikan modal bergulir yang berasal dari bagi hasil wakaf uang di deposito misalnya sebesar Rp.100 juta setiap masjid untuk disalurkan ke anggota dalam bentuk pembiayaan qardhul hasan untuk keperluan modal usaha maupun kebutuhan jamaah yang dikelola secara profesional.
Untuk mengelola dan mengembangkan wakaf uang dengan baik dibutuhkan sumber daya insaniyang amanah, profesional, berwawsan ekonomi, tekun dan penuh komitmen yang kuat.Oleh karena keberadaan Badan Wakaf Indonesia (BWI) dan kewenanganya dalam pengelolaan wakaf barang bergerak salah satunya wakaf uangdiperlukan optimalisasi gerakan wakaf uang di Indonesia dan dibutuhkan sosialisasi yang terus menerus oleh para akademisi, ulama, praktisi ekonomi syariah, baik melalui seminar, training, ceramah mauputulisan di media massa. Sekian semoga bermanfaat.
Â
Meningkatkan Market SharePerbankan Syariah Nasional
Ditulis : 20 Juni 2015
Oleh : Daryoko, Praktisi dan Akademisi Pasca Sarjana IUN Sunan Kalijaga Yogyakarta
Â
Operasional perbankan syariah di Indonesia didasarkan pada Undang-undang No. 7 tahun 1992 tentang Perbankan yang kemudian diperbaharui dengan Undang-undang No. 10 tahun 1998. Pertimbangan perubahan Undang-undang tersebut dilakukan untuk mengantisipasi tantangan system keuangan yang semakin maju dan kompleks dan mempersiapkan infrastruktur memasuki era globalisasi. Jadi, adopsi perbankan syariah dalam system perbankan nasional bukanlah semata-mata mengakomodasi kepentingan penduduk Indonesia yang kebetulan sebagian besar muslim. Namun lebih kepada adanya factor keunggulan atau manfaat lebih dari perbankan syariah dalam menjembatani ekonomi.
Pendirian PT. Bank Muamalat Indonesia Tbk. (PT. BMI) pada tahun 1992 merupakan tonggak bersejarah bagi perbankan syariah nasional sebagai perbankan yang beroperasional berdasar prisip syariah atau 4 tahun setelah deregulasi Pakto 1988. Namun perkembangan perbankan syariah berjalan lebih lambat dibandingkan dengan bank konvensional hingga saat ini dimana Halim Alamsyah, Deputi Gubernur Bank Indonesia (BI) mengungkapkan ekspansi bisnis perbankan syariah akan terus tumbuh sampai lima tahun kedepan. "Sampai 2015 nanti diperkirakan market share bank syariah akan mencapai diatas 5%," kata Halim, dalam acara konferensi pers Bank Indonesia Annual Seminar International Islamic Finance.
Jika ditinjau dari sejarah berdirinya perbankan syariah di Indonesia dari tahun 1992 sampai dengan saat ini sudah memasuki usia ke 23 tahun namun market share yang di raih baru mencapai 4,9% dari markhet share perbankan nasional dan diperkirakan akan mencapai 5% dibanding dengan market share perbankan nasionalper Maret 2015, industri perbankan syariah terdiri dari 12 bank umum syariah, 22 Unit usaha syariah yang dimiliki oleh bank umum konvensional dan 163 nank perkreditan rakyat Syariah (BPRS) dengan total aset sebesar Rp264,81 triliun dengan pangsa pasar 4,88% yang keadaan ini berbanding terbalik dengan jumlah penduduk Indonesia yang mayoritas muslim diperkirakan 200 juta jiwa.
Berbeda dengan dengan Malaysia, Indonesia masih tertinggal. Pangsa pasar bank syariah di negeri Jiran tersebut jauh sudah mencapai 21%-23% sampai akhir 2010. Tingginya tingkat market share tersebut karena Pemerintah dan nasabah di Malaysia lebih lebih percaya terhadap bank syariah seperti untuk transaksi ibadah haji,
Masih rendahnya market share perbankan syariah terhadap perbankan secara nasional banyak dipengarui oleh berbagai faktor yang harus dicari solusi pemecahan masalahnya :
- Rendahnya kualitas pemahaman sumber daya insani perbankan syariah tentang pemahaman produk dan operasional perbankan syariah dimana sebagian besar berasal dari perbankan kovensional yang saat pindahnya baru diberikan training secara singkat tentang perbankan syariah. Untuk mengatasi hal ini harus selalu dilakukan up grade pengetahuan sumber daya insani yang terus menerus kaitanya dengan produk-produk perbankan syariah.
- Masih rendahnya kepercayaan masyarakat terhadap perbankan syariah dimana sebagaian masyarakat menganggap perbankan syariah sama dengan perbankan non syariah namun hanya diberi baju syariah. Hal ini disebabkan belum optimalisasi dari sosialisasi perbankan syariah tentang produk-produk perbankan syariah serta landasan hukum secara syariah berdasar Al Qur’an, Hadist, Fatwa DSN MUI kepada masyarakat dan kantor-kartor perbankan syariah masih terbatas dan beroperasional di kantong-kantong perekonomian sehingga perlu ditambah jaringannya.
Â
- Pendiriaan perbankan syariah sejak Pendirian PT. Bank Muamalat Indonesia Tbk. (PT. BMI) pada tahun 1992 namun perbankan syariah selanjutnya perdiriannya dengan waktu selang mulai tahun sejak PAKTO 1988 digulirkan maka Bank-Bank umum yang ada di Indonesia membentuk unit usaha syariah (UUS) dan secara operasional masih menginduk kepada Bank Umum konvensional yang menjadi induknya.
Â
Setelah berdiri sebagai bank umum syariah saham mayoritasnya masih didominasi oleh perbakan syariah induknya sehingga kebijakan yang ditempuh masih dipengaruhi oleh perbankan umum induknya. Perlunya suntikan modal dari luar atau sahan perbankan syariah dijual kepada pemodal yang bisa lebih mendorong pertumbuhan perbankan syariah. Atau perbankan umum induknya menambah setoran penempatan modal.
Â
- Pemilihan produk untuk strategi funding yang belum optimal dimana perbankan syariah memiliki produk unggulan yaitu tabungan berakad wadiah (titipan) yang merupakan sumber dana murah bagi perbankan syariah karena dalam tabungan berakad wadiah memiliki biaya operasional yang rendah karena bank tidak memberikan bagi hasil kepada nasabah penabung namun bank dapat menyalurkan kepada pembiayaan dengan margin pasar secara umum bahkan bisa lebih rendah dari perbankan konvensional sehingga menghasilkan keuntungan yang optimal bagi perbankan sehingga fitur dari keunggulan produk tabungan wadiah serta tehnologi yang mendukung harus terus ditingatkan sehingga menjadi pilihan masyarakat.
Â
- Keberadaan kantor-kantor perbankan syariah baik kantor cabang, kantor cabang pembantu, kantor layanan kas berdekatan dengan perbankan konvensional maupun perbankan induknya hal ini bisa menjadi sinergi positif maupun hambatan perbankan syariah ke depan.
Â
Hal ini karena konsumen yang dijadikan sasaran pangsa pasar adalah konsumen yang sama dengan perbankan umum induknya dan sudah menjadi konsumen sejak lama sehingga ketika dilaksanakan penetrasi pasar secara agresif terjadi benturan kepentingan antara perbankan syariah dengan perbankan umum konvensional yang menjadi induknya karena menggarap pangsa pasar di kantong-kantong perekonomian yang sama. Langkah yang dapat ditempuh adalah memasarkan perbankan syariah kepada personalnya sedang kepada istitusi harus dicari produk yang belum digarap oleh perbankan umum konvensional.
- Faktor tehnologi yang dipergunakan perbankan syariah ada yang masih menginduk dan terintegrasi dengan perbankan konvensional induknya dan ada juga yang terpisah. Bagi yang masih terintegrasi memiliki keunggulan dengan produk-produk fitur yang lebih lengkap namun ketika suatu saat dilepaskan mandiri maka akan terjadi biaya investasi tehnologi yang besar dan harus disiapkan dari sejak dini agar tidak terjadi kesenjangan tehnologi yang mengakibatkan kualitas dan kuantitas nasabah menurun. Sedangkan bagi perbankan syariah yang sejak berdirinya mempergunakan tehnologi investasi mamdiri maka kecanggihan tehnologinya belum secanggih dengan perbankan konvensional induknya sehingga harus terus melakukan up grade yang dibutuhkan biaya yang besar.
Dengan dipahami kondisi perbankan syariah diatas dan dijadikan acuan untuk pembenahan yang terus menerus diharapkan market share perbankan syariah nasional bisa meningkat lebih besar di kemudian hari dan kepercayaan masyarakat semakin meningkat.
Â
Peranan Perbankan Syariah Dalam Perekonomian Nasional
Ditulis : 20 Juni 2015
Oleh : Daryoko, Praktisi dan Akademisi Pasca Sarjana IUN Sunan Kalijaga Yogyakarta
Â
Pendirian perbankan syariah di Indonesia didasarkan pada Undang-undang No. 7 tahun 1992 tentang Perbankan yang kemudian diperbaharui dengan Undang-undang No. 10 tahun 1998. Pertimbangan perubahan Undang-undang tersebut dilakukan untuk mengantisipasi tantangan system keuangan yang semakin maju dan kompleks dan mempersiapkan infrastruktur memasuki era globalisasi.
Pendirian PT. Bank Muamalat Indonesia Tbk. (PT. BMI) pada tahun 1992 merupakan tonggak bersejarah bagi perbankan syariah nasional sebagai perbankan yang beroperasional berdasar prisip syariah atau 4 tahun setelah deregulasi Pakto 1988 selanjutnya berdiri menyusul perbankan syariah yang lain Indonesia yang keberadaannya ada yang berdiri sendiri namun ada juga yang merupakan anak perusahaan dari perbankan konvensional yang menjadi induk perusahaanya.
Â
Yang dimaksud perbankan syariah menurut Undang-undang No.10 tahun 1998 adalah perbankan yang melaksanakan kegiatan usahanya berdasarkan prinsip syariah yang dalam kegiatannya memberikan jasa dalam lalu lintas pembayaran.Prinsip syariah yang dilaksanan oleh perbankan syariah menurut Pasal 1 ayat 13 Undang-undang No.10 tahun 1998 adalah aturan perjanjian berdasarkan hukum Islam antara bank dengan pihak lain untuk penyimpanan dana atau pembiayaan kegiatan usaha, atau kegiatan lainnya yang dinyatakan sesuai dengan syariah antara lain pembiayaan berdasarkan prinsip bagi hasil (mudharabah), pembiayaan berdasarkan prinsip penyertaan modal (musyarakah), prinsip jual beli barang dengan keuntungan (murabahah), atau pembiayaan barang modal berdasarkan prinsip sewa murni tanpa pilihan (ijarah), atau dengan adanya pilihan pemindahan kepemilikan atas barang yang disewa dari pihak bank oleh pihak lain (ijarah wa iqtina).
Â
Dalam operasionalisi perbankan syariah memiliki prinsip dasar yang menghendaki semua dana yang diperoleh dalam sistem perbankan syariah dikelola dengan integritas tinggi dan dan disalurkan melalui pembiayaan dengan prinsip syariah secara hati-hati (prudent banking) dengan mengacu sifat-sifat atau akhlaq mulia dalam Islam sehingga dapat memberikan sumbangan yang positif dalam kancar perbankan nasional. Sifat-sifat berupa akhlaq mulia yang menjadi pedoman perbankan syariah adalah sebagai berikut :
- Shiddiq (jujur), akhlaqini memastikan bahwa pengelolaan bank syariah dilakukan dengan moralitas yang menjunjung tinggi nilai kejujuran. Sehingga dalam pengelolaan perbankan syariah diperkenankan (halal) serta wajib menjauhi yang meragukan (subhat) menolak yang bersifat dilarang (haram).
- Amanah (dapat dipercaya), dengan sifat amanah perbankan syariah menjaga dengan ketat prinsip kehati-hatian dalam pengelolaan kegiatan funding maupun pembiayaan dan kejujuran dalam mengelola dana yang diperoleh dari pemilik dana (shahibul maal) sehingga timbul rasa saling percaya antara pemilik dana dan pihak nasabah pembiayaan (mudharib).
- Fathanah (pandai), pihak perbankan dapat memastikan bahwa pegelolaan funding maupun pembiayaan bank dilakukan secara profesional dan kompetitif sehingga menghasilkan keuntungan optimal dengan tingkat resiko yang rendah dilaksanakan dengan standar layanan yang penuh dengan kecermatn dan kesantunan (ri’ayah) dan penuh rasa tanggung jawab (mas’uliyah)
- Tabligh (tekun) , pengelolaan perbankan syariah dilaksanakan dengan penuh ketekunan dan berkesinambungan dalam mengedukasi masyarakat mengenai prinsip-prinsip, produk dan jasa perbankan syariah.
Perbankan syariah memiliki fungsi yang mulia dalam perekonomian Indonesia karena sangat menjujung kode etik dalam berbisnis dan mengembangkan perekonomian nasional dengan dasar akhlaq yang mulia tidak diperkenankan menerima funding (simpanan dana) dari sumber yang haram dan menjahui yang samar-samar juga dalam memberikan pembiayaan diharamkan untuk ditempatkan pada pembiayaan yang dilarang oleh syariat (diharamkan) karena perbankan syariah  memandang harta yang dimiliki oleh manusia adalah titipan/amanah Allah SWT sehingga cara memperoleh, mengelola, dan memanfaatkannya harus sesuai ajaran Islam.
Â
Hal-hal yang harus dijadikan pedoman dalam operasional perbankan syariah dalam perekonomian nasional adalah perbankan syariah harus mampu mendorong nasabah untuk mengupayakan pengelolaan harta nasabah (simpanan) sesuai ajaran Islam, menempatkan karakter/sikap baik nasabah maupun pengelola bank pada posisi yang sangat penting dan menempatkan sikap akhlakul karimah sebagai sikap dasar hubungan antara nasabah dan bank. Pedoman lain yang harus dilaksanakan adalah adanya persamaan ikatan emosional yang kuat didasarkan prinsip keadilan, prinsip kesederajatan dan prinsip ketentraman antara pemegang saham, pengelola bank dan nasabah atas jalannya usaha bank syariah.
Fungsi perbankan syariah dalam perekonomian nasional sebagai mana tersebut diatas tidak didapatkan dalam prinsip perbankan konvensional dimana pada bank konvensional, kepentingan pemilik dana adalah memperoleh bunga simpanan yang tinggi, sedang kepentingan pemegang saham memperoleh spread yang optimal antara suku bunga simpanan dan suku bunga pinjaman (mengoptimalkan interest difference). Dilain pihak kepentingan pemakai dana (debitor) adalah memperoleh tingkat bunga yang rendah (biaya murah). Dengan demikian terhadap ketiga kepentingan dari tiga pihak tersebut terjadi antagonisme yang sulit diharmoniskan.
Dalam perbankan konvensional terjadi penentuan suku bunga dibuat pada waktu akad kredit dengan pedoman harus selalu untung untuk pihak bank, besarnya prosentase berdasarkan pada jumlah uang (modal) yang dipinjamkan, penentuan suku bunga dibuat pada waktu akad dengan pedoman harus selalu untung untuk pihak Bank, jumlah pembayaran bunga tidak mengikat meskipun jumlah keuntungan berlipat ganda saat keadaan ekonomi sedang baik, eksistensi bunga diharamkan oleh semua agama termasuk agama Islam, pembayaran bunga tetap seperti yang dijanjikan tanpa pertimbangan proyek yang dijalankan oleh pihak nasabah untung atau rugi. Disisi lain tidak ada ikatan emosional yang kuat antara Pemegang Saham, Pengelola Bank dan Nasabah karena masing-masing pihak mempunyai keinginan yang bertolak belakangÂ
Adapun fungsi yang utama perbankan syariah dalam perekonomian nasional adalah Intermediary agent (sama seperti bank konvensional), penyedia jasa perbankan pada umumnya (sama seperti bank konvensional) sepanjang tidak melanggar syariah,Fund atau investment manager, Alat transmisi kebijakan moneter (sama seperti bank Konvensional), Pengelola fungsi sosial (ZISWA).
Berdasar uraian di atas peranan perbankan syariah dalam perekonomian nasional memiliki peranan yang mulia dalam mewujudkan perekonomian yang berkeadilan sosial, makmur, sejahtera sebagai mana diamanatkan dalam UUD 45 serta mewujudkan keadilan sosial bagi rakyat Indonesia sebagai mana diamanahkan dalam Pancasila sila kelima, semoga dengan semakin membuminya perbankan syariah di Indonesia maka masyarakat yang adil makmur dapat terwujud.
Â
Â
Â
Top of Form
Â
[1] Abdul Ghafur Anshori, Payung Hukum Perbankan Syariah, 2007UII Press Yogyakarta, hlm.181-183
Â
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI